Syariah

Mengupas Praktik Money Game Warung Cashback (2)

Sen, 8 Februari 2021 | 05:00 WIB

Mengupas Praktik Money Game Warung Cashback (2)

Warung Cashback dilihat dari skema bisnisnya tampak bahwa cashback hanyalah bungkus untuk menutup praktik money game di dalamnya.

Penting disampaikan oleh peneliti dalam hal ini, bahwa ruang lingkup pembahasan ini adalah berlaku pada produk yang mengatasnamakan cashback, akan tetapi produk tersebut tidak memiliki jaminan aset penukaran sebagaimana yang sudah kita kaji, meliputi jaminan pemenuhan atas barang, utang, dan pekerjaan. Komisi yang dihasilkan dari promo adalah bagian dari cashback yang bisa dijadikan aset penjamin.

 

Untuk beberapa cashback yang sudah teruji memiliki dukungan berupa aset penjamin, sudah barang tentu bukan menjadi pangkal topik dari pengkajian. Anda bisa membaca kembali bagian satu dari tulisan ini untuk mengetahui cakupan pengkajian yang disampaikan oleh penulis.

 

Ciri Utama Cashback Tipu-tipu

Beberapa ciri umum cashback tipu-tipu adalah:

  1. Aset penjaminnya terdiri dari barang, utang, dan pekerjaan yang diperoleh secara tidak sah. Misalnya, barang, utang, dan pekerjaan itu diperoleh dari hasil transaksi fasidah (rusak) atau jual beli yang haram; atau
  2. Aset penjaminnya terdiri dari barang, utang, dan pekerjaan yang bersifat fiktif, sehingga transaksinya berubah menjadi transaksi fiktif (bai’ ma’dum) yang diharamkan.

 

Cashback Hanya sebagai Bungkus

Sebuah aplikasi yang mengatasnamakan Warung Cashback (warungcashback.com [arsip]) telah melakukan praktik perekrutan anggota untuk mengikuti sebuah program warung berbasis cashback. Untuk anggota kategori Silver dikenakan tarif 1 juta plus biaya pendaftaran sebesar 50 ribu. Pihak member (anggota) yang mendaftar mendapatkan paket produk propolis senilai 1 juta. Jika pihak member tidak mengambil, maka pihak agen Warung Cashback membelinya dengan sebuah harga yang diserahkan dalam bentuk bonus Voucher Belanja Awal, senilai 10% dari harga. Alhasil, nilai tukar dari produk 1 juta tersebut, di agen hanya berlaku sekitar 100 ribu saja.

 

Apakah uang 1 juta itu tidak bisa kembali? Jawabnya adalah dijanjikan sebagai akan kembali setelah melewati masa 40 kali putaran selama 40 hari. Setiap harinya, pihak member yang sudah menyetorkan harta senilai 1 juta tersebut, akan mendapatkan pemasukan passive income sebesar 2,5% dalam bentuk Voucher Cashback yang akan masuk dalam akunnya, ditambah 1% dalam bentuk Voucher Belanja. Selebihnya mengenai rincian proses ini, Anda bisa mengikuti di tulisan sebelumnya!

 

Member diberi beban untuk menjaring anggota, dengan leader utama terdiri dari pihak agen atau sub agensi yang ada di setiap wilayah. Produk barang yang dijadikan wasilah perdagangan, diambil dari setiap agen tempat member tersebut mensubkan diri. Alhasil, pola terakhir ini adalah serujuk dengan pola jaringan MLM (Multi Level Marketing), apalagi dengan didukung adanya komisi perekrutan anggota senilai 100 ribu rupiah secara langsung.

 

 

Objek Permasalahan Fiqih

Pangkal permasalahan fiqih yang terjadi dalam konteks bisnis warung atas nama bagi-bagi cashback ini adalah:

  1. Apa hukum membeli barang yang harganya 1 juta, dibeli dengan harga 100 ribu rupiah dalam bentuk Voucher Belanja Awal ini?
  2. Apa akad pembagian Voucher Cashback sebesar 2.5% terhadap modal dan Voucher Belanja senilai 1% terhadap modal tersebut?
  3. Apa hukum komisi/reward penjaringan anggota sebagaimana dalam deskripsi terakhir?
  4. Bagaimana hukum mengikuti program Warung Cashback sebagaimana deskripsi di atas?

 

Apa hukum membeli barang yang harganya 1 juta dengan voucher belanja awal senilai 10%?

 

Dengan mencermati pada deskripsi di atas, sekaligus tulisan sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa praktik jual beli produk tersebut memuat adanya unsur taghrir (penipuan) dan tadlis (pengelabuan). Ada beberapa bukti yang mendasari praktik ini, yaitu:

 

  1. Taghrir terjadi karena barang yang dijual untuk menggantikan harga senilai 1 juta, terdiri dari barang yang tidak laku untuk dijual. Apalagi, bila biaya pendaftaran itu mencapai harga 5, 10, atau 20 juta rupiah. Uang sebesar itu, umumnya dipergunakan oleh masyarakat untuk melakukan aksi belanja beraneka ragam kebutuhan. Jika itu hanya digunakan untuk menyetok 1 jenis produk yang tidak mungkin untuk dijual kembali, maka itu artinya produk tersebut hanya berlaku sebagai pengaburan semata.
  2. Bukti lain bahwa produk yang dijadikan instrumen itu hanya sebatas pengaburan adalah pihak member merupakan pihak yang berperan selaku member pasif. Alhasil, semakin menambah ketidaknormalannya untuk memborong produk propolis untuk dijual kembali agar mendapatkan keuntungan.
  3. Karena muqtadla al-’aqdi-nya (tujuan utama) member mengikuti aktivitas tersebut tidak untuk mencari keuntungan dalam praktik jual beli, sehingga hanya fokus pada perolehan reward Voucher Cashback, Voucher Belanja dan Voucher Belanja Awal yang kemudian disederhanakan dalam jargon mereka sebagai “Barang Dibawa Pulang, Uang Tidak Berkurang”, maka secara jelas telah terjadi praktik ighra’, yaitu lalainya pihak member dari tugas seharusnya melakukan praktik jual beli menjadi hanya fokus pada pendapatan pasif.
  4. Tujuan utama dari pihak inisiator/pengembang bisnis Warung Cashback adalah semata-mata money game, dengan objek uang yang dibagi-bagikan adalah uang pendaftaran ditambah 90% sisa dari harga produk awal setelah dipotong 10% Voucher Belanja Awal. Alhasil, untuk kategori silver, maka uang yang diputar-putar adalah senilai 900 ribu. Untuk kategori Gold, senilai 4,5 juta rupiah. Untuk Kategori 10 juta-an, maka yang diputar-putar adalah senilai 9 juta. Untuk kelas 20 juta, maka senilai 18 juta rupiah.
  5. Karena adanya indikasi yang menguatkan sebagaimana di atas, maka hukum membeli barang senilai 100 ribu untuk barang senilai 1 juta adalah termasuk kategori jual beli mukrah (terpaksa). Pihak yang terpaksa harus menjual adalah member. Pihak yang memaksa penjualan adalah subagensi, agensi, dan seterusnya ke atas. Alhasil, hukumnya adalah haram karena unsur gharar (penipuan) dan ghabn (kecurangan)

 

Apa akad pembagian Voucher Cashback sebesar 2.5% terhadap modal dan Voucher Belanja senilai 1% terhadap modal?

 

Akad jual beli mukrah merupakan jenis akad jual beli yang bathil disebabkan adanya illat gharar dan ghabn. Artinya, ketika terjadi praktik jual beli mukrah ini, maka barang yang diperjualbelikan tersebut berstatus wajib dikembalikan kepada pihak penjualnya, dan pihak pembeli harus menerima kembali harga yang sudah diserahkan.

 

Pemakaian uang yang diserahkan oleh pembeli kepada penjual termasuk ghashab. Ghashab merupakan salah satu dosa besar dalam Islam.

 

Penggunaan harta yang di-ghashab) sehingga menyebabkan terjadinya itlaf (musnahnya barang yang di-ghashab), menjadikan status barang tersebut menjadi harta utang (dain). Jadi, 90% selisih nilai harta belanja awal dengan potongan 10% berupa Voucher Belanja Awal ini adalah berstatus sebagai harta utang, yaitu utangnya pihak sub agen, agensi hingga pusat agen, kepada member.

 

Alhasil, pengembalian 2.5% Voucher Cashback dan 1% Voucher Belanja dari modal yang disertakan termasuk akad riba qardli yang terlarang. Alhasil, hukumnya adalah haram syar’an jaliyyan.

 

Apa hukum komisi/reward penjaringan anggota dalam bisnis ini?

 

Islam mengajarkan bahwa dalam setiap penyerahan harta atau barang adalah melazimkan keharusan adanya ganti. Bahkan, andaikata terjadi perusakan barang, juga melazimkan adanya ganti rugi (ta’widl/dlaman).

 

Adanya reward/komisi, menandakan wajib adanya kerja/kulfah/aktivitas produksi yang pantas untuk diberi. Ada 2 basis pekerjaan dalam Islam dan pantas untuk diberikan upah, yaitu jual beli dengan keuntungan, dan kerja lewat relasi akad ijarah/ju’alah (sewa jasa/capaian prestasi). Ketiadaan dua relasi tersebut menjadikan upah yang diterima, berasal dari dua sumber muamalah yang fasidah (muamalah yang rusak). Jika upah itu dari jual beli, maka jual beli yang fasid. Jika upah itu muncul dari jasa, maka ijarahnya fasidah. Jika berasal dari ju’alah, maka ju’alahnya fasidah (rusak).

 

Penjaringan anggota adalah bagian dari akad ijarah/ju’alah fasidah. Alhasil, reward/komisi yang berasal dari usaha penjaringan anggota adalah termasuk akad ju’alah fasidah.

 

Apa hukum mengikuti program Warung Cashback?

 

Dengan mencermati adanya banyak relasi yang tidak memiliki dasar cantolan hukum dalam syara’, maka mengikuti program sebagaimana yang penulis dan rekan-rekan peneliti sampaikan di atas, hukumnya adalah haram syar’an jaliyyan.

 

Sudah barang tentu, apa yang disampaikan di atas adalah tidak berlaku umum pada basis program warung cashback. Hukum ini, hanya berlaku bila di dalam program itu mengindikasikan hal-hal sebagaimana yang dideskripsikan oleh penulis bersama Tim Peneliti el-Samsi sebagaimana yang tertuang dalam tulisan pertama dan kedua. Akhiran, semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua dan menjauhkan kita dari melakukan muamalah yang diharamkan oleh syara’. Sebab, setiap daging yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka adalah tempat balasannya. Semoga keberkahan senantiasa menaungi rezeki kita semua! Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Dirktur eL-Samsi (Lembaga Studi Akad Muamalah Syariah Indonesia) dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim