Syariah

Nalar Fiqih tentang Trading Efek

Sab, 27 Juni 2020 | 14:45 WIB

Nalar Fiqih tentang Trading Efek

Perdagangan efek di pasar bursa dikenal juga dengan istilah trading.

Masyarakat milenial akrab dengan dunia gadget. Jumlah kepemilikan sarana telekomunikasi oleh masyarakat Indonesia diprediksi melebihi jumlah penduduk Indonesia sendiri. Dan realitas ini tidak hanya terjadi di negeri ini, melainkan juga masyarakat belahan dunia lain. Imbasnya, banyak harta yang dibuang dan hilang percuma akibat penggunaan pesawat tersebut, baik karena faktor membeli pulsa, kuota internet, membeli ponsel atau gawai terbaru, bahkan ada yang sampai membeli kuota untuk bermain game lewat gadget yang dimilikinya. 


Memang yang digunakan untuk membeli adalah harta mereka sendiri. Tapi, jika ditilik dari sudut untung ruginya dalam jangka panjang, hal ini cukup mengkhawatirkan sebab secara perlahan, para generasi tersebut menjadi kurang memiliki rasa sayang terhadap harta. Mereka menjadi boros dan sering melakukan aktivitas tidak perlu yang membakar harta.


Menyikapi hal itu, maka dibutuhkan langkah solutif bagi mereka untuk memiliki sikap: (1) tidak boros, (2) kemampuan menyalurkan barang yang dimilikinya sehingga bermanfaat untuknya di masa mendatang, (3) pendidikan kepada mereka agar tidak berorientasi pada kebutuhan jangka pendek dan aksi sosialita, melainkan perlu disediakan ruang aktualisasi mereka dalam dunia usaha lewat jalur investasi. Selain itu perlu adanya upaya (4) menumbuhkan kesadaran pada mereka bahwa dunia investasi itu tidak selalu untung, akan tetapi membekali mereka bagaimana mampu mengelola keuangannya sehingga langkah investasi itu dapat bermanfaat bagi mereka. Selanjutnya langkah yang diperlukan adalah (5) memberikan pengetahuan kepada mereka bahwa langkah investasi itu harus disalurkan ke ruang yang halal dan menganjurkan kepada mereka untuk pentingnya waspada terhadap (1) maisir (spekulatif), (2) riba, dan (3) penyaluran ke ruang yang diharamkan. Ini adalah batasan syara’ yang disepakati.

 


Dan yang perlu dititiktekankan lagi adalah bahwa setiap ruang penyaluran finansial untuk kepentingan jalur investasi, adalah mutlak wajib adanya: 1) beban kerja, dan/atau 2) ada ruang/bidang usaha. Ketiadaan dua hal tersebut, secara yakin bisa disepakati bahwa investasi itu pasti investasi bodong. Sekalipun, mereka membungkusnya dengan kalimat “tolong menolong”. 


Sebuah catatan, bahwa pihak investor generasi milenial membutuhkan ruang yang tidak harus ikut andil dalam kerja dan kemampuan menganalisis kinerja modalnya. Oleh karenanya, investasi yang berbasis demikian itu senantiasa membutuhkan kinerja orang yang bisa dipercayai oleh para generasi milenial ini. Di dalam fiqih, kedudukan pihak yang dipercayai itu ada 2, yaitu jika bukan wakil, berarti makelar (samsarah) atau orang yang disewa untuk menjalankan modal yang diberikan (ijarah). 


Fokus Kajian

Salah satu hal penting dalam muamalah dewasa ini yang menggunakan peran gadget, dan dipandang bisa menampung kiprah muda-mudi milenial adalah trading dan investasi berupa “efek”. Efek yang dimaksud di sini adalah saham, obligasi, indeks, forex, dan sejenisnya yang dilakukan berbasis online. Namun, kendala yang dihadapi adalah transaksi efek melalui trading ini, diputuskan haram oleh Fatwa DSN MUI, kecuali jika dilakukan secara spot (yaitu perdagangan satu titik antara penjual dan pembeli secara langsung). Adapun binary, option, forward, dan future, kesemuanya dihukumi haram, karena illat adanya maisir/spekulatif. 


Uniknya, sistem perdagangan ini secara online dilakukan melalui perantara broker/pialang, yang dalam maqam fiqihnya disepakati sebagai peran samsarah (makelar). Belum lagi, ada Manajer investasi, yang dalam fiqihnya menduduki peran orang yang diupah, baik lewat akad ju’alah (prestasi) atau akad ijarah (kinerja). Bahkan dalam transaksi langsung, peran Manajer Investasi (MI) ini menduduki peran wakil pedagang “efek”. Permasalahannya, jika ada peran samsarah, atau peran wakil yang bisa langsung melakukan transaksi spot dengan penjual “efek”, mengapa masih perlu adanya fatwa keharaman itu?


Nalar Fiqih Kedudukan Wakil dan Makelar dalam Perdagangan Efek

Perdagangan efek di pasar bursa dikenal juga dengan istilah trading. Bahasan ini menjadi menarik untuk dikupas, karena dalam ruang trading (bai’u al-umulatu/jual beli efek), syarat adanya beban kerja (kulfah) dan ruang penyaluran bidang usaha ini sudah terpenuhi. Demikian pula, setiap efek yang dinyatakan dalam bentuk obligasi, saham atau indeks, adalah memiliki nominal underlying. Nilai underlying ini bisa kita sebut sebagai barang nominal (mutaqawwam). Dengan kata lain, ada barang fisik yang diperjualbelikan, sekalipun dinyatakan dalam bentuk hitam di atas putih yang kemudian kita kenal sebagai efek ini.


Ibarat jual beli sepeda motor, surat kepemilikan sepeda motor ini adalah “efek”, sementara nilai underlying asetnya diperankan oleh “fisik sepeda motor” itu. Alhasil, setiap efek yang diperdagangkan menyatakan suatu aset. Dan aset ini dalam maqamnya mabi’ (barang yang diperjualbelikan), adalah menduduki barang yang bisa disifati (maushuf fi al-dzimmah). Dengan demikian, barang tersebut sudah masuk kategori sah untuk diperjualbelikan. Dan akad menjualbelikan barang maushuf fi al-dzimmah ini dalam fiqih adalah menduduki akad bai’ maushuf fi al-dzimmah atau sering dikenal sebagai jual beli salam (pesan).


Lantas, bagaimana dengan sifat kepemilikan? Salah satu syarat dalam jual beli, adalah bahwa suatu barang boleh dijualbelikan manakala barang itu sudah menjadi milik sempurna pihak penjual, atau yang diwakilkan kepadanya (wakalah), atau yang diberikan izin untuk menjualbelikannya oleh pemilik asli (kasus makelar). 


Dan salah satu syarat bahwa suatu barang dinyatakan sudah menjadi milik sempurna, manakala barang itu sudah diterima oleh pembeli (sudah terjadi qabdlu) dan pembeli sudah bisa memanfaatkannya secara bebas (muthlaqi al-tasharruf). Sifat qabdlu “efek” ini, adalah masyhur dinyatakan dalam bentuk qabdlu hukmi, yang bila terlaksana trading, maka membeli efek adalah bisa dimaknai sebagai terjadinya perpindahan “catatan” hak milik berupa “efek” dari pedagang ke pembeli efek. Alhasil, sifat diterimanya barang oleh pembeli juga sudah memenuhi unsur taqabudl (saling serah terima barang) disebabkan unsur “tercatat” itu. 


Karena setiap “efek” menyatakan adanya ruang usaha dan aset, menandakan bahwa melakukan jual beli efek, pada dasarnya tidak masuk dalam kategori larangan jual beli yang masyru’ sebagaimana layaknya jual beli utang dengan utang (bai’ dain bi al-dain), sekalipun bentuk efek itu berupa obligasi (surat pengakuan utang). 


Logikanya, setiap “obligasi” yang dimiliki oleh pihak pertama, sifatnya adalah bisa dijamin akan kepemilikannya dan dilindungi oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku. Oleh karenanya, memiliki “efek” berupa obligasi, pada dasarnya sama artinya dengan pengakuan bahwa pihak pembeli memiliki andil berupa “penyertaan modal” ke suatu bidang usaha lewat jalur “investasi”. Menyimak bisanya “efek obligasi sebagai barang yang dijamin” ini, menandakan bahwa “efek berupa obligasi” juga sebagai barang yang sah untuk ditransaksikan guna mengais keuntungan (ribhun). Sebab, yang dilarang dijadikan obyek transaksi adalah barang yang tidak bisa dijamin wujud fisiknya (ma lam yudlman). 


Dengan demikian, tugas kita selaku pengkaji adalah butuh untuk melakukan peran istiqra’ii (analisis) yang membaca obligasi sebagai penyertaan modal itu. Sekalipun bunyi definisi dari efek obligasi adalah pernyataan pengakuan utangnya pengusaha terhadap investor. Bagaimana peran istiqra’i itu kita lakukan? Mari kita renungkan sejenak!


Ustadz Muhammad Syamsuddin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.