Syariah

Pabrik Wajib Ganti Rugi atas Polusi Suara yang Ditimbulkannya

Ahad, 18 Agustus 2019 | 13:30 WIB

Pabrik Wajib Ganti Rugi atas Polusi Suara yang Ditimbulkannya

Ilustrasi (Wikipedia)

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa “bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.” Secara tidak langsung pasal ini seolah menunjukkan bahwa segala aspek yang berkaitan pemanfaatan 3 matra wilayah dan kekayaan alam di tanah air Indonesia, adalah menjadi hak dan wewenang negara untuk mengelolanya. Itu sebabnya kemudian banyak peraturan dan undang-undang yang diterbitkan oleh negara sebagai upaya mengejawantahkan pasal tersebut dalam praktik kehidupan sehari-hari. 
 
Salah satu undang-undang yang berkaitan dengan aspek pengejawantahan dari penguasaan matra di atas adalah undang-undang tentang polusi. Setiap orang yang hendak mendirikan sebuah pabrik, biasanya diperintah terlebih dahulu untuk melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Salah satu butir hasil analisa AMDAL adalah menyikapi soal izin gangguan yang potensial akan terjadi dan akan ditimbulkan akibat sebuah proyek/industrialisasi.
 
Kebisingan menjadi bagian dari polusi suara. Kebisingan dapat berakibat timbulnya stress bagi manusia, ternak atau hewan yang ada di sekitar lingkungan pabrik atau mesin pembangkit. Ayam petelur terbukti mengalami stress sehingga berakibat penurunan jumlah produksi telurnya bilamana di sekitar kandang ayam terdapat stress lingkungan berupa kebisingan. Demikian pula dengan ternak ayam pedaging dan ternak potong lainnya, nyatanya merasakan dampak yang signifikan terhadap produksinya, seiring terjadinya stress lingkungan. Itu semua memiliki korelasi dengan sumber pembuat gangguan/bising. Lantas, bagaimana syariat memandang akan hal ini? Apakah ada hak tanggung jawab yang harus dibayarkan oleh sumber pembuat kebisingan tersebut? 
 
Menjawab akan hal ini kita bisa kembali ingat bahwa ada kaidah:
 
الأصل برآءة الذمة
 
Artinya: “Hukum asal sesuatu adalah bebas dari tanggungan” 
 
Maksud dari kaidah ini, adalah bahwa hukum asal mendirikan usaha itu sah dan boleh-boleh saja. Sebagaimana hal ini juga berlaku atas kepemilikan. Namun, konsekuensinya jika kaidah ini dipertahankan dan diberlakukan secara mutlak, maka ikhbar tentang kerugian yang disampaikan oleh para ahli di bidangnya adalah sesuatu yang mubazir dan tidak ada nilainya. Berikutnya, keluhan dari masyarakat sekitar lokasi pabrik tidak akan pernah menemukan titik temu penyampaian. Akibatnya, masyarakat kecil akan menjadi korban hidup dalam ketertindasan dan keterpaksaan dalam menerima gangguan. 
 
Tentu syariat sangat membenci sebuah tindakan yang sia-sia dan merugikan ini. Bagaimanapun juga, setiap gangguan yang tidak pernah berupaya mencari solusi pemecahannya adalah sebuah kezaliman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 
اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمة يوم القيامة
 
Artinya: “Takutlah kalian berbuat menindas karena sesungguhnya penindasan itu kelak akan menjadi kegelapan di hari kiamat” (HR Imam Muslim).
 
Informasi yang disampaikan oleh para ahli ini merupakan bukti dan fakta ilmiah. Ia berangkat dari sebuah pembacaan realitas. Maka dari itulah, kemudian para fuqaha’ sangat menghargai kedudukan ikhbar dari ahli ini untuk dijadikan sebagai bagian dari solusi yang berimbang (ta’assuf) dalam semua kasus fiqih sosial. Maka dari itu, muncullah kemudian beberapa kaidah dasar yang menyatakan soal batasan hak kebebasan pemakaian kepemilikan dan usaha, yaitu: 
 
1. Bahwa dalam melakukan usaha, tidak boleh menyebabkan timbulnya kerugian pada orang lain.
 
لاضرر ولاضرار
 
Artinya: “Tidak boleh merugikan atau saling menimbulkan kerugian dengan orang lain.”
 
2. Hukum asal pengelolaan hak kepemilikan yang ada kaitannya dengan masalah sosial adalah dicegah dan menahan diri
 
الأصل في تصرفات المالك في ملكه التي يتعلق بها حق الغير هو المنع والحظر فلايباح له إلا ما يتيقن فيه عدم الضرر ويتوقف ما عداه على إذن صاحب الحق ورضاه 
 
Artinya: “Hukum asal pemanfaatan pemilik terhadap barang yang dimilikinya yang memiliki keterikatan dengan hak orang lain yang harus dijaga adalah mencegah dan menahan diri. Tidak boleh bagi pemilik menggunakan haknya kecuali setelah yakin dengan ketiadaan dlarar (kerugian) bagi pihak lain. Pemanfaatan harus berhenti kecuali jika mendapatkan idzin dari pemiliki hak dan ridla pihak terkait dimaksud.” (al-Zuhaily, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâmi al-Masûliyyati al-Madaniyah wa al-Jinâiyah fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 27)
 
3. Yang dimaksud tindakan dlarâr, adalah adanya niat menyebabkan kerusakan pada orang lain.
 
الضرر فهو إلحاق مفسدة بالآخرين أو هو كل إيذاء يلحق الشخص سواء أكان في ماله أم جسمه أم عرضه أم عاطفته فهو يشمل الضرر المادي كتلف المال والضرر الأدبي كالإهانة التي تمس كرامة الإنسان أو تلحق به سمعة سيئة سواظ أكان ذلك بالقول القذف أم بالسعاية من دون حق إلى الحاكم والرجوع عن الشهادة بعد صدور الحكم على المتهم أم بالفعل الإيجابي كالضرب والإحراق والإغراق والترويع والتهديد وإتلاف الزروع والأشجار وهدم المباني إم بالفعل السلبي كالإمتناع من ترميم الحائط إو إغاثة الملهوف أو عن إطعام المضطر أو عن تسليم الوديعة بعد طلب صاحبها لها أو كضياع مصلحة محققة لعدم قيام المتعهد بتورد السلعة في الوقت المحدد أو الوفاء بالإلتزام بشحن وتصدير البضاعة في زمان معين
 
Artinya: "[Yang dimaksud dlarar] adalah timbulnya kerusakan bagi pihak lain atau timbulnya sesuatu yang menyakitkan bagi orang lain, baik itu terhadap hartanya, badannya atau kehormatannya atau sesuatu yang berhubungan dengannya, mencakup kerugian materiil seperti rusaknya harta, atau kerugian moril seperti penghinaan atas kehormatan seseorang, atau mencakup pendengaran yang tidak baik (mis: polusi suara), baik itu berupa tuduhan zina, umpatan, atau mengadukan ke pengadilan secara tidak benar, mencari-cari kesaksian setelah putusan hukum yang mengadili perkara ambigu. Mengambil sikap mendukung terhadap tindakan pemukulan, pembakaran, penenggelaman, tindakan intimidasi dan subversif, merusak tanaman dan hutan, menghancurkan bangunan, atau sebaliknya mengambil sikap penolakan terhadap upaya merestorasi bangunan, menolong pihak yang sedang berduka, memberi makan orang yang terpaksa, atau menyerahkan barang titipan setelah pemiliknya memintanya, menyianyiakan maslahat yang nyata karena ketiadaan orang yang berikatan hadir dengan menyampaikan barang pada batas waktu yang ditentukan, menolak menepati keharusan menyerahkan barang atau memproduksi suatu barang pada waktu yang telah ditentukan." (al-Zuhaili, Nadhâriyatu al-Dlammân aw Ahkâmi al-Masûliyyati al-Madaniyah wa al-Jinâiyah fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2012: 29)
 
Semua poin yang disampaikan oleh Syekh Wahbah di atas merupakan objek yang bisa dituntut pertanggungan kerugian bilamana hal itu terjadi di masyarakat. Polusi suara bisa disamakan dengan kerugian akibat mendengar sesuatu yang buruk (sam'ah sayyiah). Hal yang sama juga bisa berlaku untuk pencemaran-pencemaran yang lain, semacam pencemaran air, laut, udara atau tanah, bahkan bisa disamakan dengan kasus pencemaran nama baik, karena bagaimanapun kehormatan ('irdli) adalah bagian dari maqashid syarî'ah, yaitu tujuan yang hendak dicapai oleh syariah Islam. Wallâhu a'lam bish shawâb
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur