Syariah

Pajak Karbon sebagai Ganti Rugi Kerusakan Alam

Sen, 27 September 2021 | 16:00 WIB

Pajak Karbon sebagai Ganti Rugi Kerusakan Alam

Pajak karbon bisa dimaknai sebagai ganti rugi akibat emisi karbon yang dilepaskan di alam.

Di dalam Islam, setiap pengambilan harta orang lain senantiasa menghendaki ganti berupa jasa atau barang lewat akad jual beli. Penguasaan atas harta pihak lain tanpa ada imbal balik ganti, hanya boleh bilamana jalan penguasaannya dilakukan lewat sedekah, hibah, wakaf, waris, atau wasiat. Itu semua disebabkan karena perolehan harta dalam Islam wajib memenuhi dua syarat, yaitu halal (benar akadnya) dan thayyib (tidak ada paksaan).

 

Berangkat dari sini, maka dapat diketahui bahwa hukum pungutan liar (al-maksu) adalah haram adalah karena tidak memenuhi kriteria thayyib. Hal ini, khususnya berlaku apabila pemungutnya adalah bukan pihak yang bertindak selaku orang tua, wali, hakim, atau pemerintah yang sah.

 

Lantas Bagaimana dengan Pajak Karbon?

Karbon merupakan buah dari kehidupan. Seluruh elemen makhluk hidup senantiasa terangkai oleh karbon. Karbon yang lepas di alam bergabung dengan oksigen, bersenyawa menjadi karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), atau karbon trioksida (CO3).

 

CO2 bersifat dapat diserap oleh vegetasi dan tanaman. Sementara CO dan CO3 lepas ke alam dan mempengaruhi suhu udara, iklim, serta lapisan ozon. Akibat tidak langsungnya, es kutub mencair, permukaan laut naik, dan ujungnya adalah merugikan makhluk hidup, termasuk manusia.

 

Terakumulasinya karbon di alam yang disumbang oleh mesin pengguna bahan bakar fosil ini selanjutnya dikenal dengan istilah emisi. Jadi, emisi karbon merupakan sebab tidak langsung terjadinya kerugian (dlarar). Setiap kerugian meniscayakan ganti rugi (dlaman).

 

 

Di dalam Islam, besaran ganti rugi menyesuaikan dengan tingkat kerugian yang diakibatkan. Sebab, ganti rugi adalah ibarat imbas langsung dari akad jual beli yang rusak (bai' fasid) diakibatkan adanya kerugian di satu pihak. Besaran ganti kerugian inilah yang merupakan wasilah pemungutan pajak tersebut. Jadi, pajak karbon bisa dimaknai sebagai ganti rugi akibat emisi karbon yang dilepaskan di alam.

 

Siapakah Subjek Pajak Karbon?

Karena mayoritas emisi karbon yang merugikan diakibatkan kerja penggunaan bahan bakar fosil, maka subjek wajib pajak secara tidak langsung mencakup semua skala industri dan pengguna kendaraan berbahan bakar fosil.

 

Alasan dasarnya adalah mereka merupakan penyokong utama lepasnya karbon yang tidak mampu diserap oleh vegetasi secara langsung sehingga berpengaruh terhadap kondisi lapisan ozon.

 

Dalam konteks fiqih Islam, penyebab langsung suatu kerugian merupakan pihak yang wajib menanggung ganti rugi (subjek dan objek pajak).

 

Risiko Pemberlakuan Pajak Karbon

Indonesia merupakan negara berkembang. Jenis mesin industri dan kendaraan bermotor penyokong roda ekonomi negara masih dalam tahap menengah dan memiliki konsep yang maju.

 

Tidak banyak kita temui adanya lokasi pengecekan emisi karbon yang dihasilkan oleh mesin kendaraan. Bahkan, jika kita pergi ke kantor polisi untuk cek fisik kendaraan, selama ini tidak ada pengendalian baku mutu emisi yang diperiksa. Asalkan perlengkapan kendaraan itu sudah lengkap, dan surat-suratnya itu sudah clear, kita sudah bebas dari tanggungan dan sudah bisa mengantongi izin.

 

Selama ini, objek pajak hanya didasarkan pada tahun keluaran mobil atau kendaraan. Padahal, sejatinya pungutan semacam ini tidak ada imbas langsung terhadap lingkungan. Yang semestinya diperhatikan memang adalah emisi yang dihasilkannya.

 

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, anggota Tim Pakar Bidang Ekonomi Syariah PWNU Jawa Timur