Syariah

Paylater dan Praktik Jual Beli Kredit dalam Kajian Fiqih Muamalah

Kam, 4 Agustus 2022 | 16:00 WIB

Paylater dan Praktik Jual Beli Kredit dalam Kajian Fiqih Muamalah

Paylater adalah kartu kredit online yang terindikasi di dalamnya mengandung unsur ribawi.

Paylater adalah kartu kredit online. Di dalam produk ini ada kecenderungan berlaku sebagai transaksi ribawi, sebagaimana diungkap pada tulisan terdahulu. 


Terjadinya praktik ribawi akan tampak kuat apabila cara pandang kita terhadap produk tersebut dibangun di atas landasan akad qardh (utang-piutang) dan akad jual beli secara tempo atau kredit. 


Berdasarkan akad qardh, maka seolah terjadi transaksi antara pihak penerbit paylater dengan konsumennya: saya akan hutangi kamu dengan syarat kamu harus mengembalikan utang tersebut dengan tambahan (ziyadah) sebesar 10% yang diangsur selama 3 bulan. Alhasil tambahan itu merupakan riba qardhy.


Sementara itu, berdasarkan akad jual beli tempo dan kredit, maka riba bisa terjadi apabila berlangsung pola akad semacam ini: saya jual barang yang kamu butuhkan ini ke kamu dengan syarat kamu harus memberi tambahan pada harga pokoknya sebagai labaku. Setiap bulannya kamu harus mencicil sebesar harga pokok, ditambah bunga sebesar 2% dan diangsur selama 3 bulan. Apabila terjadi keterlambatan cicilan, kamu harus membayar 2 kali lipat dari bunga itu yaitu 4% per bulannya. 


Nah, akad sebagaimana di maksud di atas, adalah termasuk akad riba al-yad bila memakai akad jual beli tempo (bai’ bi al-ajal), dan riba al-nasiah apabila menggunakan akad jual beli kredit (bai’ taqsith).


Permasalahannya, adalah:


1. Hukum jual beli secara online adalah boleh dan sah selama terpenuhi syarat dan rukunnya


2. Era sekarang adalah era revolusi digital. Hampir seluruh produk dipasarkan dalam suatu marketplace dan hanya bisa diakses lewat digital


3. Hukum utang piutang dan memberlakukan produk pembiayaan (talangan) adalah boleh selagi tidak menerjang larangan menjalankan praktik riba. 


Tiga hal di atas, merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu dibutuhkan solusi agar keluar dari akad yang dilarang. 


Salah satu solusi yang memungkinkan untuk menjalankan paylater, adalah apabila memasukkan akad al-wakalah fi al-murabahah li al-amiri bi al-syira, atau yang biasa diringkas sebagai akad al-wakalah fi al-murabahah. Bagaimana gambaran dari akad ini? Simak penjelasan berikut!


Al-Wakalah fi al-Murabahah pada Paylater

Secara umum, alur pelaksanaan akad al-wakalah fi al-murabahah adalah berlaku sebagai berikut:


1. Nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembelian barang kepada penerbit paylater sembari menyodorkan daftar barang yang dibutuhkan. 


2. Penerbit Paylater bernegosiasi dengan nasabah bahwa bila barang sudah didapatkan dan dibeli oleh Penerbit, maka barang itu akan dijual kepada nasabah dan harus dibeli. Karena ada keharusan barang itu dibeli oleh nasabah, maka akad ini - dalam konteks Mazhab Hanafi - dikenal sebagai akad bai’ al-murabahah li al-amiri bi al-syira’. 


3. Penerbit paylater menyerahkan uang yang dibutuhkan oleh nasabah dan meminta nasabah agar membeli sendiri barang tersebut atas nama Penerbit Paylater. Alhasil, nasabah kedudukannya adalah wakil Penerbit dalam membeli barang


4. Nasabah membeli barang dan selanjutnya menyerahkan kepada Penerbit


5. Penerbit selanjutnya menjual barang itu kepada nasabah secara angsuran kredit (bai’ taqsith) atau tempo (bai’ bi al-ajal) 


Para fuqaha kontemporer menyatakan sahnya akad dengan rangkaian sebagaimana uraian di atas. Salah satu alasannya, adalah seperti ungkapan berikut ini:


بيع المرابحة بأجل وتقسيط إن الطريق المذكور في السؤال لبيع المرابحة لا مانع منه شرعا لأنه يكون بيعا بعد القبض بواسطة الوكيل الذي جعله البنك وكيلا له


Artinya,“Jual Beli Murabahah secara tempo dan angsuran kredit. Sesungguhnya mekanisme sebagaimana telah disampaikan di muka untuk jual bei murabahah adalah berlaku sah tiada penghalang syara’ sedikitpun. Alasannya, karena transaksi murabahah itu terjadi pasca diterimanya barang oleh bank dengan perantara pihak wakil yang telah diangkatnya.”


Sahnya akad perwakilan dapat berpengaruh terhadap sahnya akad secara keseluruhan. Akad wakalah ini terjadi ketika pihak Paylater mengucurkan dana kepada nasabah sesuai dengan nilai harga yang dibutuhkan oleh nasabah. Barang yang dibutuhkan itu selanjutnya dieksekusi oleh nasabah. Status barang ini, selanjutnya menjadi milik Penerbit Paylater. Harga yang terpampang dalam marketplace menempati derajatnya ra’su al-maal (harga pokok) dari bai’ murabahah.


Selanjutnya, pihak penerbit paylater menjual barang itu kepada nasabah, dengan perjanjian tambahan berupa keuntungan yang diketahui dan diangsur secara kredit. 


المرابحة هي البيع بمثل رأس مال المبيع (الذي يشمل ثمن السلعة وما تكبد فيها من مصروفات) مع زيادة ربح معلوم. [فقه المعاملات ١/‏٤٦٢ — مجموعة من المؤلفين - الأبحاث←المرابحة←تعريف المرابحة]


Artinya, “Murabahah adalah jual beli dengan harga setara dengan nilai ra’su al-maal (harga beli) (termasuk didalamnya adalah harga sil’ah plus biaya-biaya yang dibutuhkan untuk mendatangkan) ditambah dengan keuntungan ma’lum.” (Fiqhu al-Muamalat, Juz 1, halaman 462).


Misalnya, jika harga magiccom adalah 200 ribu di marketplace dan telah selesai dibeli oleh penerbit Paylater, maka magiccom itu selanjutnya dijual kepada nasabahnya dengan tambahan sebesar 100 ribu dan dicicil selama 3 bulan. Alhasil, nilai 100 ribu itu berlaku sebagai ribhun (laba) yang ma’lum dan hukumnya adalah boleh. Nah, akad inilah yang dimaksud sebagai murabahah dalam rangkaian akad al-wakalah fi al-murabahah.


Paylater menyatakan Keuntungan dengan Persentase Bunga

Di dalam Paylater, pihak penerbit menyediakan istilah bunga terhadap kucuran dana yang diisalurkannya. Tujuan sebenarnya dari penggunaan istilah ini adalah agar memudahkan pihak penerbit dalam menyampaikan keuntungan yang diinginkan. 


Secara fiqih, penggunaan istilah ini dapat dibaca sebagai 2, yaitu:


Pertama, bunga dipandang sebagai ribhun (laba jual beli) yang tidak maklum sehingga berlaku praktik gharar dan jahalah. 


Indikasi ini terjadi seiring barang yang dibeli oleh konsumen adalah barang yang sifatnya tidak parsial atau tegas terdiri atas satu barang. Alhasil, persentase itu seolah muncul dari akad qardh-nya, dan bukan timbul dari akad bai’-nya. Itu sebabnya, bunga tersebut dipandang sebagai riba qardhy (riba utang).


Kedua, bunga itu hanya berlaku sebagai angka kisaran keuntungan yang dikehendaki oleh Penerbit Paylater dari praktik jual beli secara mujazafah (borongan). Alhasil bunga itu lahir dari prinsiip ju’alah. 


Gambaran dari akad mujazafah adalah sebagai berikut:


الجزاف ….. وهو بيع الشيء بلا كيل ولا وزن ولا عدد، وإنما بالحزر والتخمين بعد المشاهدة أو الرؤية له …… ومرجعه إلى المساهلة


Artinya,“Jizaf, adalah jual beli sesuatu dengan tanpa takaran, timbangan atau hitungan. Akad ini dilakukan dengan jalan taksiran atau perkiraan setelah melihat barang (secara umum)....Tujuan dasar dari akad ini adalah saling memudahkan penyelesaian.” (Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu li al-Zuhaily. Juz 5, halaman 367)


Akad borongan ini dipandang sebagai boleh oleh fuqaha Hanafiyah, sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Wahbah Al-Zuhaily di atas.  


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur