Syariah

Penanggung Jawab Kerugian karena Salah Kebijakan Publik pada Kajian Muamalah

Sel, 6 September 2022 | 21:30 WIB

Penanggung Jawab Kerugian karena Salah Kebijakan Publik pada Kajian Muamalah

Pemerintah dapat salah dalam memutuskan kebijakan publik. Lalu siapa yang harus menanggung kerugian atas kesalahan kebijakan tersebut?

Adakalanya suatu kerugian diakibatkan oleh penyalahgunaan kekuasaan yang diamanahkan secara langsung (al-yad ghairu mu’taminah), namun adakalanya juga disebabkan karena kealpaan di dalam menggunakan kekuasaan itu (al-yad mu’taminah). Ta’rif dari al-yad ghairu mu’taminah adalah


واليد غير المؤتمنة : إما أن تكون بغير إذن المال كيد السارق والغاصب أو بإذن المالك كيد البيع قبل القبض والمشتري بعد قبض المبيع سواء أكان البيع صحيحا أم فاسدا ومقترض الأعيان بعد قبضها والقابض على سوم الشراء ومستأجر الدابة المعتدي المخالف للشرط أو للمعتاد ونحو ذلك فإن هؤلاء يد ضمان يضمنون الشيء مهما كان سبب التلف ولو بآفة سماوية أي بقوة قاهرة


Artinya: Penyalahgunaan kekuasaan yang tidak diamanahkan itu adakalanya sebab tanpa keberadaan izin pemilik harta, seolah seperti pencuri dan pengghashab barang, atau adakalanya juga dengan seizin pemilik harta (namun salah penggunaannya) seperti kuasa dalam menjualbelikan barang sebelum penerimaannya, atau kuasa pembeli setelah menerima barang baik jual belinya shahih atau fasid. Contoh lain orang yang utang barang dan menerima barang itu, sementara di lain sisi pihak yang menerima itu sedang dalam proses menawarnya. Contoh lain orag yang menyewa kendaraan, namun mengggunakannya di luar batas syarat yang telah ditentukan atau menggunakannya tidak sebagaimana umumnya peruntukan barang yang disewa, dan lain-lain masih banyak lagi. Mereka semua ini merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam kuasa menanggung risiko, yang mana beban pertanggungan risiko kerugian tersebut bisa diberlakukan seiring kerusakan yang diakibatkannya meskipun kerusakan itu berbangsa samawi (akibat faktor alam) atau karena paksaan atas  peruntukannya.” (Wahbah Al-Zuhaily, Nadhariyatu al-Dlamân aw Ahkâm al-Mas’uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhi al-Islâmy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998: 63).


Berdasarkan keterangan di atas, yang dimaksud sebagai kerugian karena penyalahgunaan kekuasaan itu dibagi menjadi 2, yaitu: 1) adakalanya tanpa seizin pihak yang menguasakan/pemberi mandat, dan 2) adakalanya dengan seizin pihak pemberi mandat kekuasaan. Untuk contoh kasus pertama, diqiyaskan dengan pencuri atau pengghashab, sementara untuk pihak yang kedua diqiyaskan dengan orang yang menyewa barang namun tidak menggunakan barang sebagaimana lazimnya ia diperuntukkan. Contoh sewa mobil keluarga, namun diperuntukkan untuk mengangkut pasir. Ini semua adalah bagian dari contoh penyalahgunaan kekuasaan (al-yadu ghairu al-mu’taminah). 


Kerugian akibat Penyalahgunaan Kekuasaan

Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang menyalahgunakan kekuasaan sebagaimana disinggung di atas, adalah berlaku terhadap qaidah fiqhiyyah sebagai berikut: 


المعروف عرفا كالمشروط شرطا


Artinya: “Sesuatu yang dikenal sebagai adat kebiasaan yang masyhur adalah seperti syarat yang disyaratkan.”


‘Urf sewa menyewa merupakan syarat yang harus dipatuhi oleh penyewa, kendati tidak disebutkan dalam aqad. Jadi, tidak boleh bagi pihak penyewa kemudian beralasan bahwa penggunaan mobil sewaan tidak dibatasi oleh pihak yang menyewa sehingga berlaku mutlak akan penggunaannya. Alasan yang demikian ini adalah alasan yang bathil. 


المطلق يجري على إطلاقه إذا لم يقم دليل التقييد نصا أو دلالة


Artinya: “Kemutlakan hanya dapat berjalan sesuai dengan sifat kemutlakannya manakala tidak dijumpai adanya nash atau dilalah (petunjuk dalil) yang membatasinya.”


Sementara dalam kasus sewa menyewa di atas, batasan itu terjadi seiring dengan urf yang berlaku. Oleh karena itu berlaku qaidah:


التعيين بالعرف كالتعيين بالنص 


Artinya: “Batas ketentuan yang ditetapkan berdasar urf menduduki hal yang sama dengan ketentuan yang ditetapkan secara nash.”


Itulah sebabnya tidak boleh berlaku melanggar ketentuan yang sudah berlaku pada ‘urf bagi pihak penyewa atas barang sewaannya. Pelanggaran yang sengaja dilakukan atas kekuasaan yang telah dimandatkan sehingga berujung pada kerugian yang diderita pihak lain merupakan alasan wajibnya tempuh risiko bagi pemegang kuasa tersebut.


Kerugian yang timbul akibat menjalankan kekuasaan

Adapun kerugian yang ditimbulkan akibat risiko kebijakan dari suatu kekuasaan (al-yadu al-mu’taminah) didefinisikan sebagai berikut: 


اليد المؤتمنة كيد الوديع في الودائع وعامل المضاربة والمساقاة والأجير الخاص وكأيدي الأوصياء على أموال اليتامى والجكام على تلك الأموال وعلى الأموال الغائبين والمجانين ونحوهم فهؤلاء لايضمنون هلاك الشيئ إلا بالتعدي أو بالتقصير لأن الأيدي هنا مؤتمنة


Artinya: “Kerugian akibat kekuasaan yang diamanahkan menyerupai kekuasaan orang yang menerima titipan atas harta-harta yang dititipkan padanya, dan pengelola harta mudlarabah, atau musaqah, atau orang yang diupah pada pekerjaan khusus, atau seperti kekuasaan orang penyampai wasiyat atas harta anak yatim, atau para hakim atas semua harta yang telah disebutkan, atau atas harta yang tidak diketahui rimbanya, atau hartanya orang yang gila dan yang semisal dengannya. Mereka semua ini tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi pada harta yang dikuasakan padanya kecuali sebab kesembronoan yang dilakukannya atas harta tersebut. Karena bagaimanapun, kekuasaan yang diterimanya merupakan kekuasaan yang diamanahkan / dimandatkan.” (Wahbah Al-Zuhaily, Nadhariyatu al-Dlamân aw Ahkâm al-Mas’uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhi al-Islâmy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998: 63).


Berdasarkan ibarat ini, pada hakikatnya kerugian yang timbul akibat kebijakan suatu pemegang hak kuasa adakalanya 1) wajib tempuh risiko dan 2) adakalanya tidak wajib tempuh risiko. Untuk yang tidak wajib tempuh risiko adalah bilamana kerugian tersebut akibat pengelolaan tanpa adanya unsur al-ta’addy (melampaui batas) dan al-taqshir (sembrono). Pihak yang menerima kuasa hanya menjalankan sesuai dengan yang diamanahkan padanya, meskipun tanpa izin pihak yang memberi kuasa. 


Adapun untuk pihak yang wajib tempuh risiko kerugian adalah bila pihak itu menjalankan kuasa yang dimilikinya tidak sebagaimana mestinya dan condong kepada unsur al-ta’addy dan al-taqshir. 


Kunci utama pembedaan, apakah tindakan penguasa tersebut telah masuk dalam unsur ta’addy dan taqshir atau tidak, bergantung pada adanya faedah atau tidaknya penggunaan kekuasaannya itu pada harta yang dikuasakan. Bila ada faedah, maka kerugian yang timbul karena pengelolaan, tidak mewajibkan tempuh risiko (dlaman). Contoh: penguasaan bapak terhadap harta anaknya. Bagaimanapun juga hak pengelolaan harta milik anak adalah merupakan kuasa bapak. Sehingga bila terjadi kerugian atasnya, bapak tidak bisa dikenai tempuh risiko (ganti rugi). 


Contoh lain adalah penguasaan orang kafir harbi terhadap harta orang muslim dalam situasi perang. Bagaimanapun juga, dalam perang, penguasaan atas harta orang lain adalah dibenarkan. Jadi, seandainya hal itu terjadi pada kaum muslimin sekalipun, pihak kafir harbi tidak dikenai wajib tempuh risiko atas harta yang dikuasainya dari kalangan muslimin. Hal yang sama juga berlaku atas kaum muslimin ketika menguasai harta kafir harbi. Perang, merupakan alasan tidak adanya unsur ta’addy dan taqshir. Lain halnya bila dalam situasi damai, maka wajib berlaku tempuh kerugian akibat perusakan harta orang lain, sekalipun ia kafir dzimmy. 


Hal yang menyerupai dengan contoh di atas, adalah penguasaan orang muslimin atas harta kaum muslimin yang lain yang melakukan bughat (pemberontakan). Syeikh Wahbah al-Zuhaily mengatakan:


البغاة: وهم الطائفة الممتنعة عن حكم الإمام الحاكم, لايضمنون على الأصح ما يتلفونه لجماعة المسلمين حال الحرب وكذالك لا يضمن المسلمون لهم ما يتلفون لهم حال الحرب أيضا


Artinya: “Bughat”, yaitu kelompok yang tidak mau tunduk terhadap hukum imam pemegang hukum, maka tidak ada hak mengganti rugi bagi kaum muslimin - menurut qaul yang paling shahih - atas kerusakan yang ditimbulkannya terhadap sekelompok muslim lainnya di tengah situasi perang. Hal yang sama juga berlku atas kaum musimin yang bughat ini terhadap kaum muslimin lainnya (yang tidak bughat) bila perusakan itu terjadi dalam situasi perang.” (Wahbah Al-Zuhaily, Nadhariyatu al-Dlamân aw Ahkâm al-Mas’uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhi al-Islâmy, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998: 65).


Semua contoh di atas, adalah kerusakan yang ditimbulkan akibat kebijakan penguasa, namun tidak dalam kondisi al-ta’addy atau taqshir (sembrono), melainkan karena menjalankan hukum. Untuk itu tidak ada kewajiban tempuh risiko baginya. Termasuk di dalamnya kerusakan yang timbul akibat memerangi sekelompok oang yang murtad dari agama Islam, sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh sahabat Abu Bakar al-Shiddiq. 


Bagaimana bila kerusakan itu timbul akibat pencegahan huru hara atau pengendalian masa demonstran? Sudah pasti hal tersebut dikembalikan pada faidah dari menjalankan kekuasaan sang pemimpin. Bila faedahnya adalah menjaga ketentraman penduduk yang lebih besar, maka tidak ada tempuh kerugian. Namun, bila sebaliknya, maka berlaku wajib tempuh ganti kerugian. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah - PW Lembaga Bahtsul Masail NU Jawa Timur