Syariah

Penerapan Mazhab Maliki dan Syafi’i dalam Jual-Beli di Era Kontemporer

Sab, 27 Juni 2020 | 09:00 WIB

Penerapan Mazhab Maliki dan Syafi’i dalam Jual-Beli di Era Kontemporer

Baik mazhab Maliki maupun Syafi'i, masing-masing punya argumentasi yang kuat dan bisa diterapkan menurut kebutuhan.

Kiranya sudah lumrah di dalam kebiasaan masyarakat Indonesia bahwa ketika membeli sesuatu, seperti membeli kue atau makanan, mereka mengambil atau menikmati terlebih dahulu makanan tersebut. Tidak jarang juga bahwa mereka menikmati makanan atau membeli barang (seperti di swalayan) lebih dari satu. Mereka baru membayarnya kepada penjual setelah beberapa saat, bahkan sering sambil ngobrol selama berjam-jam.


Saat belanja di swalayan, setelah memilih barang-barang yang diinginkan, mereka lalu menyerahkannya ke kasir untuk dihitung. Pembelanjaan online yang sudah sedemikian lumrah saat ini juga menunjukkan hal yang hampir sama dengan kenyataan di atas, meskipun ada beberapa aspek yang berbeda.


Jika diamati, setidaknya ada tiga tahapan dalam kebiasaan jual beli semacam ini: lihat, pilih, dan bayar. Hal yang berbeda dengan kenyataan jual beli online adalah bahwa dalam jual beli online barang ditunjukkan dengan diwakili gambar dan deskripsi. Juga bahwa dalam banyak kasus penjual dan pembeli tidak bertemu kecuali jika melakukan (apa yang secara salah kaprah disebut dengan) COD (cash on delivery). Serta pembayaran dilakukan dengan metode transfer melalui rekening bank.


Membaca pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i di satu sisi, dan kenyataan masyarakat sebagaimana telah diuraikan di atas di sisi lain, kita akan menemukan sisi-sisi hikmah dan kekaguman akan intelektualitas keduanya. Kedua Imam tersebut memiliki pendapat yang berbeda akan kenyataan masyarakat yang demikian. Secara umum bisa dikatakan bahwa Imam Malik membolehkan model jual beli sebagaimana berlaku dalam masyarakat Indonesia itu. Di sisi lain Imam Syafi’i tidak membolehkannya. Meskipun terdapat ulama di kalangan Syafi’iyyah (pengikut Imam Syafi’i) yang membolehkannya dengan suatu atau beberapa ketentuan.


Dari kitab fiqih Syafi’iyyah seperti dalam Kifayataul Akhyar karya Al-Imam Taqyuddin Abi Bakr bin Muhammad Al-Hasany Al-Hishny Ad-Dimasyqi (beliau merujuk kepada kitab Syarh Muhadzab yang ditulis oleh Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi), kita melihat bahwa rukun dari akad (transaksi) jual beli ada 3 (tiga) yaitu: (1) orang yang bertransaksi (al-‘aqid), yakni penjual dan pembeli; (2) sighat (redaksi) ijab-qabul; dan (3) barang yang dijual (ma’qud alaih). Dalam kitab Kifayah Al-Akhyar halaman 239 disebutkan: 


وأما العقد فأركانه ثلاثة، قاله النووى فى شرح المهذب: العاقد، ويشمل البائع والمشترى، والصيغة وهي الإيجاب والقبول، والمعقود عليه


Artinya: “Adapun aqad (transaksi) maka rukunnya ada 3 (tiga), (sebagaimana) dikatakan An-Nawawi di dalam Syarh Muhadzab (yaitu): (1) kedua belah pihak yang bertransaksi, meliputi penjual dan pembeli; (2) sighat transaksi; yaitu redaksi ijab-qabul; dan (3) barang yang diperjualbelikan” (Kifayah Al-Akhyar: 239)


Dari pernyataan di atas kita bisa mengetahui bahwa redaksi transaksi (sighat) jual beli adalah menjadi rukun bagi mazhab Syafi’i. Sebagai rukun, maka ia harus dipenuhi, jika tidak maka jual beli tersebut tidak sah. Kita melihat bahwa di dalam kitab-kitab Syafi’iyyah bahkan lafadz-lafadz redaksi yang benar dalam ijab-qabul jual beli telah dicontohkan. Seperti perkataan pembeli yang mengatakan: “Aku beli barang ini dengan harga segini!” dan jawaban penjual yang mengatakan: “Ya, aku jual barang itu dengan harga demikian!” Demikian pula perkataan penjual yang mengatakan terlebih dahulu kata: “Aku jual barang ini dengan harga sekian!”, dan jawaban pembeli yang mengatakan: “Ya, aku beli barang itu dengan harga sebagaimana kamu katakan baru saja.”


Perbedaan pendapat terjadi ketika (sebagaimana dideskripsikan di dalam Kifayatul Akhyar) jual beli tidak dilaksanakan dengan menggunakan redaksi sama sekali. Yakni terjadi sebagaimana dideskripsikan dalam awal wacana tulisan ini. Yaitu, pembeli mengambil terlebih dahulu barang yang ia diinginkan atau menikmati dahulu makanan yang dihidangkan kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada penjual. Apakah itu cukup?


Mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat yang dapat dijelaskan. Pertama, pendapat mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hal demikian ini adalah tidak cukup. Dalam arti bahwa itu tidak sah. Kedua, pendapat Ibnu Suraij (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa hal tersebut cukup (sah) dalam jual-beli yang kecil (seperti kue dan sebagainya). Ketiga, pendapat Imam Malik bahwa hal ini sah. Keempat, pendapat Imam Nawawi (dari kalangan Syafi’iyyah) yang menyatakan bahwa hal ini adalah sah hukumnya. Adalah menarik untuk menjelaskan alasan dari berbagai pendapat tersebut. Di dalam Kifayatul Akhyar halaman 240 dikatakan demikian: 


ـ .... المذهب فى أصل الروضة أنه لا يكفى لعدم وجود الصيغة، وخرج ابن سريج قولا أن ذلك يكفى فى المحقرات، وبه أفتى الرويانى وغيره، والمحقر كرطل خبز ونحوه مما يعتاد فيه المعاطاة، وقال مالك رحمه الله تعالى ووسع عليه: ينعقد البيع بكل ما يعده الناس بيعا، واستحسنه الإمام البارع ابن الصباغ، وقال الشيخ الإمام الزاهد أبو زكريا محي الدين النووى قلت: هذا الذى استحسنه ابن صباغ هو الراجح دليلا، وهو المختار، لأنه لم يصح فى الشرع اشتراط اللفظ فوجب الرجوع إلى العرف كغيره 


Artinya: “... Mazhab ini (mazhab Syafi’i) dalam landasan kitab Raudlah bahwasanya (demikian itu) tidaklah cukup (tidak sah) karena tidak adanya redaksi transaksi, kecuali pendapat Ibnu Suraij yang mengatakan bahwa hal itu (jual beli tanpa redaksi) adalah cukup dalam jual beli perkara yang kecil. Dengan pendapat ini Imam Rauyani dan yang lain berfatwa. Sesuatu yang kecil sebagaimana dimaksud adalah seperti satu rihtl roti sebagaimana apa yang telah dibiasakan masyarakat serah terima (tanpa redaksi jual beli). Sedangkan Imam Malik (kasih sayang Allah selalu untuknya) (mengatakan): “transaksi dengan sendirinya terjadi berdasarkan setiap bentuk transaksi yang dianggap masyarakat (secara kolektif) sebagai jual beli. Imam Al-Bari’ Ibnu Shabbagh mengambil (pendapat ini) berdasarkan istihsan. Imam Az-Zahid Abu Zakariya Muhyiddin An-Nawawi berkata: ‘saya berpendapat: bahwa pendapat yang di-istihsan-kan oleh Ibnu Shabbagh adalah pendapat yang unggul dalilnya, dan pendapat ini adalah yang terpilih (oleh saya), karena penyaratan lafadz (redaksi) tidak disahkan (diputuskan) oleh (nash) syariat maka dalam hal ini wajib merujuk pada tradisi sebagaimana juga yang lain (dalam ketentuan mazhab Syafi’i) .... (Kifayatul Akhyar: 240).


Berdasarkan kutipan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagaimana berikut ini: (Pertama) bahwa pendapat asal mazhab Syafi’i mengatakan bahwa jual-beli tanpa menggunakan redaksi sighat adalah tidak sah. (Kedua) Ibnu Suraij sebagai pengikut Syafi’iyyah berpendapat bahwa jual-beli tanpa menggunakan redaksi sighat adalah sah adanya dalam jual-beli barang yang kecil (remeh-temeh). (Ketiga) bahwa Imam Malik mengatakan jual-beli tanpa redaksi ijab-kabul adalah sah karena masalah redaksi ijab-qabul ini tidak ditentukan oleh syariat, sehingga hukumnya dikembalikan kepada tradisi masyarakat setempat. (Keempat) Imam Nawawi sebagai ulama Syafi’iyyah lebih memilih pendapat yang sama dengan Imam Malik dan dengan alasan yang sama pula. Yakni Imam Nawawi berpendapat bahwa karena masalah sighat ini tidak diatur di dalam nash syariat, maka hukumnya dikembalikan kepada adat masyarakat setempat tempat jual beli itu dilangsungkan.


Perlu diketahui sebelumnya, bahwa mazhab Syafi’i pun juga menerima adat atau tradisi (‘urf) sebagai dsar hukum. Dalam hal ini seperti dikatakan dalam kitab Kifayatul Akhyar halaman 249 berikut ini: 


 لأن الشيء إذا لم يكن محدودا فى الشرع كان الرجوع فيه إلى العادة


Artinya: “.... karena sesuatu yang tidak diatur di dalam (nash) syariat maka landasannya dalam masalah tersebut kembali kepada tradisi.”


Adalah menarik bagi kita untuk melihat perspektif mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i dalam hal ini. Kita melihat bahwa mazhab Maliki secara faktual melihat kenyataan bahwa memang tidak ada nash yang mengatur masalah redaksi dalam jual beli. Dan dengan demikian beliau beralih pada dalil tradisi (‘urf). 


Di sisi lain, Mazhab Syafi’i menetapkan kewajiban sighat berdasarkan sebuah hadits nabi yang mengatakan bahwa jual beli harus berlandaskan saling rela (‘an taradlin). Dalam pandangan mazhab Syafi’i, masalah kerelaan hati ini adalah masalah yang samar ada di dalam hati dan bisa dikata sebagai tidak bisa dilihat atau diukur. Karenanya, maka sesuatu yang samar dan tidak terukur harus ditampakkan supaya terukur. Dalam perkataan lain bahwa masalah kerelaan hati ini adalah variabel kualitatif yang perlu dikuantitatifkan. Walhasil, redaksi ijab-qabul dalam jual beli itu merupakan indikator kerelaan pihak yang melaksanakan jual beli. Yang dalam hal ini adalah penjual dan pembeli.

Di dalam kitab Fathul Mu’in halaman 67, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari mengatakan: 


ـ.... وذلك لتتم الصيغة الدال على اشتراطها قوله صلى الله عليه وسلم إنما البيع عن تراض. والرضا خفي فاعتبر ما يدل عليه من اللفظ فلا ينعقد بالمعاطة


Artinya: “... dan (contoh redaksi) itu adalah supaya menyempurnakan redaksi yang ditunjukkan pensyaratannya oleh sabda Rasulullah SAW: ‘hanya dengan asas saling rela-lah jual beli bisa terjadi.’ Dan (variabel) ‘rela’ ini adalah sesuatu yang samar (bersifat kualitatif) maka (harus) diukur dengan lafadz apa yang menunjukkan hal tersebut. Maka transaksi tidak bisa terjadi dengan sendirinya hanya dengan proses serah-terima ....(Fathul Mu’in: 67)


Kita menemukan kenyataan unik dalam kaitannya dengan perbedaan dua mazhab ini. Di satu sisi pendapat mazhab Syafi’i ini kiranya juga didukung oleh 2 (dua) mazhab yang lain yaitu mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali. Namun di sisi lain juga terdapat sekumpulan ulama dari kalangan pengikut mazhab Syafi’i yang juga mengambil pendapat Imam Malik tersebut sebelumnya. Di dalam kitab Al-Mizan Al-Kubra juz 2 halaman 63 Imam Abil Mawahib Abdil Wahhab bin Ahmad bin Ali Al-Anshari yang dikenal juga sebagai As-Sya’rani mengatakan demikian: 


ومن ذلك قول الشافعى فى أرجح قوليه وأبى حنيفة وأحمد فى إحدى الروايتين عنهما إنه لا ينعقد البيع بالمعاطاة مع قول مالك إن البيع ينعقد بها واختاره ابن صباغ والنووى وجماعة من الشافعية وهو قول الشافعى الأخر وقول أبى حنيفة وأحمد فى الرواية الأخرى عنهما


Artinya: “Dan di antara (perbedaan pendapat) itu, adalah pendapat As-Syafi’i dalam pendapat yang lebih unggulnya dan juga pendapat Abi Hanifah dan Ahmad di dalam salah satu periwayatan dari mereka, bahwa transaksi jual beli tidak otomatis terjadi hanya dengan proses serah-terima (bertentangan) dengan pendapat Imam Malik bahwa transaksi jual beli secara otomatis terjadi dengan proses tersebut. Dan pendapat ini diambil oleh Ibnu Shabbagh dan An-Nawawi serta sekumpulan ulama Syafi’iyyah dan itu adalah pendapat imam Syafi’i yang lain dan juga pendapat Abu Hanifah dan Ahmad di dalam salah satu riwayat dari keduanya” (Al-Mizan Al-Kubra: 63).


Dari perbedaan pendapat di atas kita mengerti bahwa pemberlakuan redaksi (sighat) ijab-qabul dalam mazhab Syafi’i adalah bentuk usaha untuk menjadikan variabel kualitatif kepada variabel kuantitatif. Dengan demikian maka variabel yang semula tidak dapat diukur menjadi dapat diukur. Pengukuran ini kiranya dilakukan dalam mengambil keputusan akan keabsahan jual beli.


Terlepas dari itu semua setidaknya dapat mengambil hikmah berikut ini: di satu sisi kita melihat bahwa mazhab Maliki menjadi lebih fleksibel untuk diterapkan dalam kondisi maraknya e-commerce saat ini. Di sisi lain, jual-beli perkara yang besar seperti tanah, rumah, perusahaan, dan sebagainya tetap memerlukan kehati-hatian melalui redaksi konkret dalam transaksi sebagaimana pendapat mazhab Syafi’i di atas. Di masa sekarang, aturan tersebut  dapat dirupakan ke dalam pernyataan tertulis ‘hitam di atas putih’. As-Sya’rani dalam Al-Mizan Al-Kubra juga mengatakan bahwa keduanya dapat digunakan (bergantian) berdasarkan pertimbangan dengan menyesuaikan konteks yang mengitarinya. 


Selanjutnya, As-Sya’rani mengatakan bahwa pendapat Imam Syafi’i sangat penting digunakan terutama ketika terjadi persengketaan (tanazu’) antara penjual dan pembeli yang kemudian diajukan kasusnya ke depan hakim (pengadilan). Hal demikian tentu saja tidak cukup hanya dengan kesaksian orang yang melihat peristiwa jual-beli itu. Melainkan persaksian akan orang yang bersaksi menyaksikan dan ‘mendengarkan’ redaksi akad tersebut.


Di sisi lain, pendapat Imam Malik dapat dijadikan sebagai bukti petunjuk (dalalah iqtiran) terhadap kasus hukum sebagaimana dicontohkan di sini. Di mana persaksian seseorang yang menyaksikan bahwa si-A menyerahkan sejumlah uang kepada si-B dan si-B sebaliknya menyerahkan sebuah barang kepada si-A. Ini tentu saja merupakan bukti petunjuk (dalalah iqtiran) bagi hakim untuk menelusuri bukti-bukti selanjutnya. Demikian sejauh dapat dipahami dari kitab Al-Mizan Al-Kubra juz 2 halaman 63.


Demikian barakallahu lana walakum jami’an...


R. Ahmad Nur Kholis, Sekretaris LBM NU Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang; Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al Fithriyah Kepanjen Malang; Anggota Pebelajar di Haraka Institute Junrejo Kota Batu