Syariah

Apakah Hukuman Penjara Menggugurkan Kewajiban Melunasi Utang?

Sel, 14 September 2021 | 16:15 WIB

Apakah Hukuman Penjara Menggugurkan Kewajiban Melunasi Utang?

Apakah Hukuman Penjara Menggugurkan Kewajiban Melunasi Utang?

Gerak cepat pemerintah dalam melakukan penanganan hak tagih negara terhadap dana bantuan likuiditas Bank Indonesia melalui Satgas BLBI mendapat sorotan banyak pihak.

 

Beberapa kalangan membandingkannya dengan sejumlah perilaku koruptor yang merugikan negara. Apakah kewajiban-kewajiban mereka yang berhubungan dengan harta yang dikorupsinya, baik lewat jalan menjadi obligor atau debitur sudah bisa dipandang lunas meskipun mereka menyatakan diri sebagai pailit?

 

Demikian halnya dengan harta hasil korupsi, masihkah harus dikembalikan ke negara sementara pelakunya sudah dipenjara? Berikut ini merupakan hasil tinjauan penuliis berdasarkan sudut pandang hukum Islam.

 

Utang karena Kasus Pailit

Utang para pelaku usaha yang mengaku telah mengalami pailit, tidaklah gugur begitu saja. Secara hukum Islam, utang pada dasarnya merupakan bagian dari amanah yang tetap wajib dikembalikan kepada pihak kreditur ketika telah jatuh tempo.

 

Baginda Nabi Muhammad saw bersabda bahwa menunda-nunda pelunasan utang oleh seorang yang mampu melunasinya merupakan sebuah bentuk kezaliman (mathlu al-ghaniyyi dhulmun). Istilah lain dari kezaliman ini adalah moral hazard.

 

 

Dalam tuntunan agama Islam, seorang kreditur (pemilik piutang) ketika menghadapi kasus adanya pihak debitur (pemilik utang) dianjurkan agar memberi relaksasi hingga seseorang menjadi mampu (QS Al-Baqarah [2]: 182).

 

Namun, ketika menghadapi adanya kasus moral hazard berupa upaya untuk mengulur-ulur waktu sehingga merugikan kreditur atau negara, maka pihak pemerintah berwenang untuk melakukan ta’dib (pendidikan moral) terhadap mereka.

 

Ada beberapa cara memberikan ta’dib terhadap debitur atau obligor yang nakal semaca ini, antara lain dengan jalan dipenjara (habsun), diambil hartanya secara paksa (disita) (bi al-qahri), atau bahkan dengan jalan ditahan penyaluran hartanya (hajr).

 

Debitur seperti ini dikenal dengan istilah debitur yang muflis (bangkrut). Cirinya, total aset yang dimilikinya lebih kecil dari jumlah kewajibannya. Oleh karenanya, aset yang dimilikinya berhak untuk disita.

 

Pemberian sanksi berupa ta’dib berlaku selama mereka masih ada i’tikad baik untuk melunasi, atau mengembalikan harta utang mereka.

 

Akan tetapi, bila tidak ada niatan melunasi, maka pihak negara boleh untuk melakukan penyitaan aset yang dimiliki debitur tersebut, dan melelangnya guna menutupi kewajiban-kewajibannya.

 

Demikian ini dapat kita temukan pada banyak keterangan fiqih Mazhab Empat, yang sudah cukup populer di Indonesia.

 

Sanksi bagi Pelaku dan Penanganan Harta Korupsi

Korupsi dalam pandangan Islam setara dengan tindakan atau upaya mengamuflasekan asal-usul harta kekayaan. Tindakan ini dikenal sebagai perilaku al-ghisy (pengaburan) atau al-ghabn (kecurangan).

 

Ibn Yunus al-Shaqli (w. 451 H), salah satu ulama otoritatif dari kalangan Malikiyah menyampaikan bahwa:

 

نهى الرسول ﷺ عن الغش والخلابة، وقال: من غشنا فليس منا

 

“Rasul saw telah melarang berbuat pengaburan dan penipuan. Beliau bersabda: “Barang siapa berbuat koruptif, maka ia bukan termasuk golongan kita.” (Al-Jami’ li Masail al-Mudawwanah, juz 14, halaman 199).

 

Selanjutnya, dalam penjelasannya, Ibnu Yunus al-Shaqli (w. 451 H) menukil sebuah pandangan menarik dari Ibnu Habib rahimahullah bahwa:

 

ويعاقب من غش بسجن وضرب، وإخراجه من السوق إن كان معتادًا للغش والفجور

 

"Orang yang melakukan kecurangan/pengaburann (korupsi) hendaknya diberi sanksi dengan jalan dipenjara dan didera. [Puncaknya] ia hendaknya dikeluarkan dari pentas pasar bila kecurangan dan perilaku suka melanggar hukum (fajir) itu sudah menjadi tabiat dasarnya” (Al-Jami’ li Masail al-Mudawwanah, juz 14, halaman 199).

 

Itulah beberapa sanksi bagi para pelaku korupsi dan melakukan pengaburan sumber asal harta. Untuk mereka ada tahapan-tahapan dalam pemberian ta’zir (sanksi). Bentuk sanksi itu tidak hanya terfokus pada pengembalian harta semata, melainkan juga pada upaya mengatasi rusaknya moral pelaku. Puncaknya, pelaku tersebut dikeluarkan dari panggung tempat ia melakukan perilaku hina itu. Artinya, meskipun sanksi penjara dilewati secara penuh, kewajiban mengembalikan harta utangan tidak lantas gugur begitu saja. Debitur nakal atau maling uang rakyat tetap wajib mengembalikan uang yang menjadi tanggungannya.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Pakar Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur