Syariah

Penjelasan Boleh Tidaknya Jual Beli Utang dengan Utang

Rab, 25 November 2020 | 16:30 WIB

Penjelasan Boleh Tidaknya Jual Beli Utang dengan Utang

Dalil asal jual beli utang dengan utang menunjukkan bahwa praktik tersebut merupakan yang dilarang. Namun, di kitab-kitab ada juga indikasi kebolehan.

Anda pernah melakukan pengoperan utang kepada pihak lain yang punya tanggungan ke Anda? Atau justru Anda menerima operan utang dari pihak lain yang sebelumnya tidak punya tanggungan ke Anda?

 

Suatu misal, Anda memiliki piutang ke Pak Blangkon sebesar 100 ribu. Pak Blangkon punya piutang ke Pak Cecep sebesar 100 ribu. Karena besaran piutangnya sama, dan Pak Blangkon punya hajat hendak bepergian dalam waktu tak dapat dipastikan kembalinya, maka Pak Blangkon punya inisiatif mengalihkan piutang Anda ke Pak Cecep, sebab Pak Cecep punya utang ke Pak Blangkon sebesar 100 ribu juga. Di dalam fiqih, pola pengalihan tanggungan semacam ini adalah masuk pasal Hiwalah.

 

Aslinya, mekanisme di atas merupakan mekanisme jual beli utang dengan utang, yaitu utangnya Pak Blangkon ke Anda, dibeli dengan utangnya Pak Cecep ke Pak Blangkon. Walhasil, praktik itu adalah praktik jual beli utang dengan utang (bai al-dain bi al-dain). Inilah yang akan kita gali dalam kesempatan tulisan ini.

 

Pada dasarnya, dalil asal jual beli utang dengan utang merupakan yang dilarang oleh syara’, sebagaimana tertuang dalam hadits riwayat al-Daruquthny bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli utang dengan utang. Imam asy-Syafi’i juga menegaskan di dalam kitab beliau, al-Umm, bahwa:

 

والمسلمون ينهون عن بيع الدين بالدين‎

 

“Orang Islam dilarang jual beli utang dengan utang.” (Imam asy-Syafi’I, al-Umm, Juz 4, halaman 30)

 

Namun benarkah bahwa praktik ini berlaku secara mutlak? Di sini para ulama sebenarnya sepakat dalam memerincinya, namun terjadi perbedaan pemahaman di kalangan masyarakat saat akad itu masuk dalam ruang praktik keseharian.

 

Di antara para ulama ada yang mengambil dasar hadits di atas secara literal, bahwa hal tersebut berlaku mutlak. Pokoknya jika dalam jual beli melibatkan sesuatu yang masih disifati (ada dalam status utang), maka langsung diputus tidak boleh. Demikian, kira-kira pengejawantahannya.

 

Imbasnya, jika Anda memesan sesuatu ke teman Anda yang kebetulan ada di Jakarta (misalnya) - padahal teman Anda ini seorang pedagang dan sedang kulakan - gara-gara Anda memesan duluan ini, akhirnya ia tidak bisa mengambil untung. Alhasil, Anda seolah menjadi penghalang penghasilan bagi dirinya.

 

Namun, di sisi lain, para ulama juga menyatakan bahwa inti dari dilarangnya jual beli utang dengan utang adalah bilamana tidak ada unsur keterjaminan barang dan harga yang diperjualbelikan. Untuk lahirnya keterjaminan, maka dibutuhkan kesepakatan. Untuk memahami pandangan kelompok kedua ini, mari kita kembali flashback ke dasar utama dari praktik jual beli.

 

Barter dan Unsur Penyusun Jual Beli

Dalam banyak teks fiqih disebutkan bahwa jual beli merupakan akad mu’awadlah (pertukaran/barter). Anda tahu bukan, apa itu barter? Ya, barter itu adalah suatu praktik pertukaran antara 2 barang.

 

Pertukaran dalam barter, bisa terjadi pada unsur harga dan barang yang berlaku sebagai sesama barang ribawi atau bukan barang ribawi. Terkadang pertukaran juga terjadi pada dua harga dan barang sesama sejenis atau tidak sejenis.

 

Jelasnya, di dalam barter meniscayakan adanya dua produk yang dipertukarkan. Dan setiap produk yang ditukar, masing-masing harus ada yang menempati maqam harga dan barang, bisa dibolak-balik. Namun, yang jelas, wujud fisik keduanya adalah tidak berupa uang, melainkan merupakan sama-sama terdiri dari barang (sebab “barter”).

 

Karena fungsi masing-masing barang bisa bolak-balik, bisa sebagai harga dan sekaligus bisa sebagai mabi’, maka secara tidak langsung, pada keduanya memungkinkan kondisinya ada dalam tiga ciri, yaitu:

 

  1. Berupa ‘ain musyahadah, yaitu fisik yang langsung bisa disaksikan di tempat
  2. Berupa syaiin maushuf fi al-dzimmah, yaitu sesuatu yang bisa disifati besarannya, kadarnya, ukurannya, dan lain sebagainya
  3. Berupa syaiin maushuf fi al-dzimmah syaiin maushuf fi al-dzimmah ma’a imkan al-ijad, yaitu sesuatu yang karakteristiknya jelas beserta bisanya diwujudkan.

 

Karena ketiga hal itu bisa berlaku pada barang yang berperan sebagai mabi’ (objek yang dijual), atau sebaliknya juga bisa berlaku pada barang yang berperan sebagai tsaman (harga), maka sudah pasti praktik barter itu juga memungkinkan terjadi dalam bentuk praktik 9 relasi.

 

Jika tiga kategori di atas diskemakan, seolah akan lahir relasi sesuai sebagai (1) 1-1, (2) 1-2, (3) 1-3, (4) 2-1, (5) 2-2, (6) 2-3, (7) 3-1, (8) 3-2, (9) 3-3. Anda masih sulit membayangkan? Begini penjelasannya!

 

Istiqra’ terhadap Skema Relasi Jual Beli Berdasarkan Unsur Penyusunnya

Istiqra’ merupakan teknik pengambilan kesimpulan induktif berbekal relasi-relasi yang terjadi. Kali ini kita akan coba melakukan istiqra’ terhadap sebagian dari 9 relasi yang terjadi antara harga dan barang di atas.

 

Anggap bahwa dalam skema itu kita ambil relasi 1-2. Maka, relasi ini bisa dibaca sebagai kelompok 1 merupakan harga, dan kelompok 2 menyatakan barang. Relasi ini, jika dilakukan istiqra’, maka akan lahir pengertian bahwa:

  • Barang (1) menyatakan harga yang saat ini sudah diserahkan, dan
  • Barang (2) merupakan barang yang masih dalam tanggungan pengadaannya.
  • Kesimpulan: Praktik jual beli semacam ini, merupakan ciri dari praktek jual beli dengan akad salam, sebab harga sifatnya adalah hadlir, sementara barang sifatnya adalah masih dalam tanggungan (utang).

 

Dengan mengikut pemodelan di atas, maka pada kejadian yang mengikut relasi 3-1, dapat dianalisis dengan cara yang sama, yaitu:

  • angka 3 menunjukkan sebagai harga, dan
  • angka 1 menunjukkan sebagai barang.
  • angka 3 menunjukkan harga yang bisa diwujudkan, dan 1 menunjukkan barang yang sifatnya fisik langsung ada di tempat.
  • Kesimpulan: Karena harga sifatnya terutang, sementara barang sifatnya sudah diserahkan duluan, maka parktik jual beli jenis ini masuk kategori jual beli tempo (bai’ bi al-ajal).

 

Sementara itu pada jual beli utang dengan utang, maka dengan mengacu pada keterhubungan relasi di atas pada harga dan barang, maka secara tidak langsung praktik jual beli utang dengan utang adalah berlaku pada 4 kelompok skema relasi, yaitu: a) relasi 2-2, b) relasi 2-3, c) relasi 3-2 dan d) relasi 3-3.

 

Analisis dari relasi 2-2, dapat dibaca sebagai berikut:

  • angka (2) merupakan harga barang yang bersifat diketahui namun dalam bentuk utang,
  • angka (2) berikutnya merupakan barang yang diketahui, namun dalam bentuk utang juga.
  • Kesimpulan: Akad semacam ini, secara tidak langsung merupakan akad bai’ ma fi al-dzimmah (harga terutang) bi ma fi al-dzimmah (barang terutang).

 

Sederhananya, maka relasi di atas merupakan relasi pertukaran antara harga yang bisa dijamin pengadaannya (harga terutang) dengan mabi (barang) yang juga dijamin pengadaannya (barang terutang). Akad sedemikian ini kemudian dianotasikan (dilabeli) dalam fiqih, sebagai akad hawalah, yaitu akad pengalihan tanggungan (utang) dari pihak pengalih, ke pihak yang menerima pengalihan (mustahiq utang).

 

Selanjutnya, kita lihat dalam keterangan turats (misalnya dalam Kitab Fathu al-Qarib), yang di sana dapat kita temui, bahwa akad hawalah ini sifatnya adalah dibolehkan, namun dengan illat yaitu dlarurah li hajati al-nas (darurat kebutuhan manusia).

 

Sifat darurat ini berlaku karena masyarakat membutuhkan untuk dibolehkannya akad tersebut. Jika akad hawalah ini tidak dibolehkan, maka faedah dari ditetapkannya syariat jual beli dan ta’awun (tolong menolong) untuk tujuan memberi kemudahan pihak lain, akan berubah menjadi sesuatu yang mulgha (sia-sia).

 

Dan jika hal ini terjadi, maka justru bertentangan dengan maksud utama dari diaturnya syariat jual beli dan ta’awun serta berbuat baik kepada sesama manusia. Di sinilah letak nilai penting itu untuk kita garis bawahi.

 

Alhasil, dalam praktik jual beli, yang paling utama untuk dijaga adalah faktor keterjaminan pengadaan kedua harga atau barang. Tolok ukur penjaminan itu kemudian dirumuskan oleh para ulama sebagai berikut :

  1. Bisanya harga atau barang untuk bisa saling diserahterimakan (imkan al-qabdli)
  2. Masing-masing kategorinya adalah bersifat diketahui, setidaknya adalah karakteristik barangnya (maushuf fi al-dzimmah)
  3. Besaran harganya diketahui, sebagai landasan penentuan unsur tsaman mitsil (harga umum yang ditemui di pasaran).

 

Dengan berpedoman pada tiga batasan ini, maka praktik jual beli utang dengan utang, dalam perkembangannya dinyatakan hukumnya adalah boleh karena faktor kebutuhan pembolehan akad tersebut. Namun, pembolehan ini disertai dengan sejumlahh batasan yaitu selagi tidak melanggar ketiga illat sebagaimana disebutkan terakhir di atas. Pelanggaran terhadap salah satu dari ketiga illat di atas, dapat menarik seseorang jatuh ke dalam praktik riba atau praktik gharar (spekulatif). Sampai di sini, fafham!!

 

Untuk lebih sederhanya lagi mungkin kita membutuhkan teladan praktiknya. Insyaallah, kita akan sampaikan dalam kesempatan tulisan berikutnya.

 

Kesimpulan Bahasan Jual Beli Utang dengan Utang

Dalil asal jual beli utang dengan utang menunjukkan bahwa praktik tersebut merupakan yang dilarang. Namun, dalam banyak teks turats disebutkan beberapa praktik yang menggambarkan dibolehkannya praktik tersebut. Sebagai contoh adalah praktik hawalah.

 

Tentu praktik pembolehan ini mendorong pada timbulnya tanda tanya sejumlah pihak, yaitu apakah para ulama mujtahid tidak paham akan larangan tersebut?

 

Di sinilah pentingnya kita menelaah unsur-unsur dari diterapkannya praktik jual beli dengan melihat asal-usul dari jual beli barter.

 

Jual beli barter (pertukaran barang dengan barang) meniscayakan salah satu barang yang dipertukarkan berperan selaku harga (tsaman) dan barang lainnya selaku objek yang dijualbelikan (mabi’).

 

Karena keduanya merupakan yang sama-sama menduduki posisi barang, maka pada keduanya juga berlaku tiga karakteristik yaitu sebagai ain musyahadah, syaiin maushuf fi al-dzimmah, dan syaiin maushuf fi al-dzimmah ma’a imkani al-ijad.

 

Dengan menyematkan ketiga hal ini ke dalam harga dan barang, secara tidak langsung menjadi dapat diketahui, bagaimana relasi jual beli utang dengan utang dihukumi sebagai yang dibolehkan dan yang dilarang. Wallahu a’lam bi al-shawab..

 

 

Muhammad Syamsudin, M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim