Syariah

Prinsip-prinsip Periklanan dalam Islam

Jum, 4 September 2020 | 08:00 WIB

Prinsip-prinsip Periklanan dalam Islam

Inti dasar dari akad muamalah adalah ketiadaan unsur spekulatif (gharar) dan kecurangan (ghabn) dalam jual beli.

Berbicara mengenai dunia advertising (periklanan) adalah sama artinya dengan berbicara mengenai strategi komunikasi produsen kepada konsumen atau calon konsumennya atas suatu produk atau merek tertentu. Oleh karena itu, beriklan dalam ruang bauran pemasaran (marketing mix) hanyalah menempati satu bagian dari 4P (price, product, place, promotion), yaitu promosi.

 

Kegiatan promosi merupakan kegiatan menawarkan barang kepada pihak lain/calon konsumen. Karena calon konsumen dipisahkan oleh ruang dan waktu dengan produsen barang atau jasa yang beriklan, maka pada hakikatnya aktivitas beriklan ini dalam fikih adallah menempati rumpun bai’ maushufin fi al-dzimmah, yaitu aktivitas (1) pemasaran barang yang bisa disifati dan (2) sifat barang musti ada dalam tanggungan (jaminan) dari produsen. Dengan demikian, hukum asalnya, adalah jaiz, yaitu boleh (mubah).

 

Idealnya, suatu aktivitas jual beli/pemasaran, adalah mengikuti ketentuan jual beli barang yang bisa disaksikan (bai’ ainin musyahadah). Oleh karenanya, barang yang diperdagangkan semestinya memenuhi syarat ketentuan jual beli, yaitu:

 

(البيوع ثلاثة أشياء): أحدها (بيع عين مشاهدة) أي حاضرة (فجائز) إذا وجدت الشروط من كون المبيع طاهرا منتفعا به، مقدورا على تسليمه، للعاقد عليه ولاية

 

“Jual beli ada tiga macam. Pertama, jual beli barang yang bisa disaksikan dan ada di tempat. Hukumnya adalah jaiz, bila ditemukan beberapa syarat berikut: (1) obyek yang diperdagangkan adalah suci dan (2) bisa dimanfaatkan, (3) bisa diserahterimakan, dan (4) milik pihak yang berakad atau yang diberi kuasa.” (Fathu al-Qarib al-Mujib, halaman 162).

 

Mafhumnya, berdasarkan penjelasan Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi di atas, maka  suatu barang bisa memenuhi kriteria musyahadah (bisa disaksikan), adalah bilamana barang itu dilihat  sendiri (ru’yah) oleh pihak yang sedang berakad.

 

Tujuan dasar dari melihat barang (rukyatu al-mabi’) adalah hadirnya pengetahuan terhadap barang (maklum), hilangnya ketidaktahuan (jahalah), hilangnya sifat ketidakpastian (gharar), hilangnya sifat untung-untungan (maisir), hilangnya kecurangan (ghabn), dan merasa dirugikan (dlarar). Tujuan utama dari dari semua kriteria ini adalah terbitnya rasa saling ridla (taradlin). Dengan terpenuhinya semua unsur ini, selanjutnya pilihan diserahkan kepada pembeli/konsumen, apakah dia hendak melanjutkan akad, atau membatalkannya. Opsi ini kemudian dikenal dengan istilah khiyar majlis.

 

Nah, dalam aktivitas periklanan, tujuan dasar dari beriklan ini pada hakikatnya adalah (1) menutupi peluang tidak bisa disaksikannya barang secara langsung lewat melihat (rukyatu al-mabi’) oleh konsumen ini, atau (2) memberi informasi terkait dengan hal yang tidak mungkin dijelaskan secara detail oleh para penjual retail yang memperdagangkan produk yang dipasarkannya.

 

Semakin luas jangkauan pemasaran produk, dan semakin lentur ruang pemasarannya, maka pihak pengiklan semestinya berkewajiban menjelaskan detail (spesifikasi) produknya itu kepada masyarakat.

 

Lain halnya dengan produk yang tidak bisa dijual secara lentur dan harus dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten atau memiliki keahlian khusus. Dalam kondisi terakhir ini, penjelasan spesifikasi produk bisa dilimpahkan kepada tenaga pemasaran lokal.

 

Pemasaran dengan menjelaskan detail/spesifikasi produk ini, dikenal dalam Islam sebagai bai’ syai-in maushuf fi al-dzimmah (jual beli barang degan spesifikasi tertentu dan bisa dijamin). Orientasi (muqtadlla al-aqdi) dari menjelaskan spesifikasi adalah linafyi al-jahalah (menghilangkan sifat ketidaktahuan) sehingga terhindar dari illat  gharar (ketidakpastian). Proses jual belinya, dikenal dengan istilah jual beli salam (pesan).

 

Dengan demikian, syarat khusus yang musti dipenuhi dalam beriklan adalah musti mengikuti syarat dan ketentuan jual beli salam.

 

Ada 5 ketentuan dalam jual beli salam dalam Madzhab Syafii, khususnya bila dilihat dari obyek barang yang dijual, yaitu:

 

ويصح السلم حالا ومؤجلا فيما تكامل فيه خمس شرائط أن يكون مضبوطا بالصفة وأن يكون جنسا لم يختلط به غيره ولم تدخله النار لإحالته وأن لا يكون معينا ولا من معين

 

"Akad salam adalah sah dilakukan secara kontan maupun harga tunda dengan obyek barang yang memenuhi 5 syarat, yaitu: (a) barang itu bisa dijelaskan detail spesifikasinya, (b) terdiri atas jenis barang yang dicampur dengan jenis lainnya, (c) terdiri atas jenis barang yang tidak mempergunakan api untuk mengubahnya, (d) (barang yang dijual) bukan merupakan barang yang sudah ditunjuk ain-nya oleh pembeli, dan (e) barang yang dijual bukan bagian dari barang yang dijelaskan spesifikasinya.” (Matan Ghayat al-Taqrib li Abi Syuja’, halaman: 21-22)

 

Penjelasan secara umum dari kelima hal ini bisa kita temui pada kitab Syarah Fathu al-Qarib li Ibn al-Qasim al-Ghazi.

 

Secara khusus bila disematkan pada kasus periklanan, maka seolah kelima syarat itu bisa bermakna sebagai berikut:

 

  1. Iklan hendaknya berisi penjelasan karakteristik dan spesifikasi dari barang yang dipromosikan. Tujuan dari penjelasan ini adalah memberi gambaran (informasi) mengenai barang kepada calon konsumen, sehingga hilang unsur ketidaktahuan (jahalah).
     
  2. Batas penjelasan rinci adalah hingga bisa dibedakan antara produk satu dengan produk lainnya.
     
  3. Barang yang diiklankan harus memenuhi unsur tidak mudah berubah (rusak) saat dipesan hingga waktu sampai ke tangan konsumen, misalnya berupa makanan. Jika makanan itu mudah berubah, maka barang itu menjadi tanggung jawab penjual (fi dzimmat al-bai’) bilamana rusak dalam pengiriman sebelum terjadinya perpindahan hak milik (qabdli).
     
  4. Barang yang diiklankan bukan objek sebenarnya dari barang yang dijual dan ditentukan (di-ta’yin) oleh pembeli.

Membeli barang yang sudah di-ta’yin, akadnya bukan lagi akad jual beli salam, atau bai’ syaiin maushuf fi al-dzimmah, melainkan sama artinya dengan bai’ ainin musyahadah.
 

Oleh karenanya, bila jual beli itu tidak disertai dengan penyerahan harga secara kontan di majelis akad, maka barang itu sudah masuk kategori bai’ ainin muajjalan (jual beli barang fisik secara tempo).
 

Adapun jika harga barang belum disepakati pada saat terjadinya penyerahan barang di majelis akad, maka akad itu termasuk akad qardlu mutaqawwam (utang barang). Setiap utang barang, wajib kembali berupa barang yang serupa (mitsli).
 

  1. Barang yang diiklankan tidak bersifat beda jauh dengan barang yang dijual sehingga sampai kepada konsumen.

Bila di dalam iklan menyajikan adanya kemungkinan perubahan barang yang jauh, maka menjadikan adanya unsur gharar (ketidakpastian) dalam jual beli itu.

 

Inti dasar dari akad muamalah adalah ketiadaan unsur spekulatif (gharar) dan kecurangan (ghabn) dalam jual beli. Dengan demikian, suatu iklan bisa disebut mendukung secara syara’ terhadap praktik muamalah ini, bila memenuhi kaidah periklanan dalam hukum Islam.

 

Ketiadaan suatu iklan tidak memenuhi unsur yang tertuang dalam syara’, menandakan bahwa periklanan itu lebih mengedepankan nuansa informasi di luar produk. Bila informasi itu bersifat merugikan terhadap konsumen, maka praktik iklan itu termasuk tindakan khadi’ah (kamuflase). Imbas terhadap akad muamalah adalah praktik jual belinya sah, namun pelakunya kelak akan dituntut di akhirat disebabkan ia telah berlaku sebagai berbuat maksiat atau dosa (‘ashin). Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, S.Si., M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jawa Timur