Syariah

Problematika Akad Sewa-Menyewa dalam Fiqih Bencana

Sel, 30 Oktober 2018 | 08:00 WIB

Ijarah diartikan sebagai akad sewa menyewa antara orang yang memiliki jasa dengan orang yang butuh jasa dengan besaran harga sewa tertentu dan jangka waktu tertentu. Dalam proses sewa menyewa terdapat beberapa unsur yang terlibat antara lain barang yang disewakan, waktu jatuh tempo sewa, dan solusi purna akad. Keberadaan solusi purna akad ini yang kelak membedakan antara akad ijarah antar individu, dengan ijarah antara individu dan perbankan. Insyaallah keduanya akan menjadi obyek kajian kita ke depan.

Saat seorang individu menyewa sebuah rumah, maka ketika telah sampai masa jatuh tempo persewaan, pihak yang menyewa wajib mengembalikan rumah kepada orang yang menyewakan tanpa adanya cacat sedikitpun. Jika terdapat cacat akibat pemakaian penyewa terhadap barang, maka pihak penyewa wajib memberikan arsyun (ganti rugi)  kepada pemilik. Ketika penyewa diminta untuk mengembalikan barang yang disewa sebelum masa jatuh tempo, maka pihak yang menyewakan harus memberikan kembalian (‘aud) atau ganti rugi kepada penyewa dengan jalan menghitung nisbah waktu atas harga ketika jatuh tempo kontrak. 

Solusi problem sewa-menyewa untuk kasus pribadi saat kondisi normal, tanpa adanya sebab dalam yang bisa merusak akad sudah digariskan oleh para ulama’ dan mudah diselesaikan. Yang sulit adalah ketika harus ada akibat yang berada di luar akad yang menjadi penyebab. Misalnya, di tengah masa perjalanan sewa, tiba-tiba ada bencana yang menyebabkan rusaknya barang tanpa adanya kesalahan penyewa dan yang menyewakan. Apakah penyewa atau orang yang menyewakan wajib dikenai membayar ganti rugi atau sebaliknya berhak menerima ganti rugi?

Problem yang sama juga dihadapi oleh perbankan. Kasus kredit mobil lewat Lembaga Perkreditan Syariah, sering menerapkan akad ijarah pada produk ijarah muntahiyah bi al-tamlik (IMBT), yaitu akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan. Di sisi lain, untuk kasus istishna’, ada juga penerapan pengembangan dari IMBT ini dengan akad syirkah musyahamah bi nihayati al-tamlik, yaitu akad kemitraan dengan purna akad berupa 100 persen kepemilikan menjadi hak pengelola. Akad ini sebenarnya merupakan modifikasi dari akad kredit mobil pada lembaga perkreditan konvensional, yang menekankan akad jual beli secara kreditnya. Apabila terjadi kasus dlarurat kemacetan nasabah dalam membayar cicilan, maka akad berubah menjadi akad ijarah (sewa-menyewa). Dan apabila nasabah mampu melunasi cicilannya sesuai dengan waktu yang ditentukan, maka akad mengikut pada bai’ taqshith atau bai’ bi al-thamani al-ājil. Pelelangan barang merupakan solusi akhir penyelesaian kredit. Intinya bahwa, kedua praktik perkreditan konvensional dan syariah ini memiliki mekanisme yang sama apabila terjadi kemacetan barang yang dikredit, yaitu pelelangan. 

Nah, yang jadi soal kemudian adalah ketika terjadi kasus bencana, sementara barang belum selesai dilunasi oleh peserta (nasabah). Objek transaksi sendiri sudah lenyap dan hilang. Kendala terjadi pada solusi akad, apakah akad diputus dengan jalan ijarah, ataukah diputus dengan jalan jual beli? Jika diputus sebagai akad ijarah, maka pihak yang menyewakan bisa berlaku sebagai penanggung ganti rugi. Dan apabila diputus sebagai akad jual beli, maka nasabah debitur berperan sebagai pihak yang terbebani ganti rugi. Ambiguitas ini muncul seiring akad IMBT dan syirkah musyahamah, kedua-duanya memiliki akad ganda, yaitu antara jual beli dan sewa-menyewa. Tentu dalam hal ini, dibutuhkan sebuah solusi yang adil bagi nasabah dan perbankan. 

Masalah yang lain muncul bilamana objek transaksi berasal dari luar daerah. Daerah asal kedua pihak yang bertransaksi berada di luar daerah terimbas bencana. Hanya faktor kebetulan, objek transaksi dibawa ke lokasi bencana saat itu, sehingga termasuk salah satu korban bencana. Apakah dibenarkan apabila nasabah debitur mengajukan klaim bencana? 

Banyak problem terkait dengan bencana ini khususnya pada penerapan praktik ijarah di masyarakat. Solusi fiqih dibutuhkan dengan tidak memberatkan salah satu pihak. Bagaimanapun juga, bencana adalah kejadian yang berada di luar kendali manusia. Semuanya datang dari Allah subhānahu wa ta’āla dan manusia hanya bisa berencana dan menjalaninya. 

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya: “Tiada ditimpakan suatu musibah kecuali seidzin Allah. Barang siapa beriman kepada Allah maka Allah tunjukkan hartinya. Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Thaghābun: 11)

Wallahu a’lam bish shawab.


Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua