Syariah

Proses Penetapan Ganti Rugi Menurut Hukum Islam (1)

Sel, 3 September 2019 | 06:30 WIB

Proses Penetapan Ganti Rugi Menurut Hukum Islam (1)

Ganti rugi tak selalu sesuai dengan harga asal barang, melainkan juga harga mitsil. Apa itu? (Ilustrasi: NU Online)

Para ulama telah sepakat bahwa menggasab harta orang lain hukumnya adalah haram. Demikian juga keharaman niat menimbulkan kerusakan pada harta dan jiwa orang lain. Semua itu disebabkan karena adanya illat penggunaan yang tidak dibenarkan oleh syariat (i’tida’) atas harta orang lain. Allah ﷻ berfirman:
 
يآأيها الذين آمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل
 
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta di antara kalian dengan jalan bathil” (QS. Al-Nisa [4]: 29).
 
Rasulullah ﷺ, dalam suatu khutbah Idul Adlha pernah bersabda:
 
إن دمآئكم وأموالكم حرام عليكم…. من أخذ شبرا من الأرض طوقه الله من سبع أرضين
 
Artinya: “Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah dimulyakan atas kalian (haram dilanggar).... Barangsiapa yang mengambil secuil tanah (secara dlalim), maka kelak Allah ﷻ akan mengalungkan ke lehernya hingga bumi lapis tujuh.” Hadits riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha. Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalur sanad Sa’id ibn Zaid. Imam Ahmad dan Bukhari juga memiliki riwayat lain dari jalur sanad Ibn Umar. Imam Ahmad menambahkan dukungan riwayat lain dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu” (Al-Syaukani, Nailu al-Authar, Damaskus: Dar al-Ma’rifah, tt.: 5/317).
 
Nabi ﷺ juga bersabda:
 
لايحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه
 
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang harta seorang muslim lainnya melainkan dengan cara yang baik (diridhainya)..” Hadits Riwayat Al-Daruquthny dari jalur sanad Anas. Al-Baihaqi, Ibn Hibban dan al-Hakim meriwayatkan dalam dua kitab shahihnya dengan jalur sanad dari Abu Hamid al-Sa’idi dengan lafadh: 
 
لايحل لامرئ أن يأخذ عصا أخيه بغير طيب نفس منه
 
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya kecuali dengan jalan yang baik (diridhai)” (Al-Syaukani, Nailu al-Authar, Damaskus: Dar al-Ma’rifah, tt.: 5/316).
 
Hal yang bisa dipahami dari beberapa dalil di atas adalah bahwasanya hukum asal yang ditetapkan oleh syariat dalam kasus pertanggungjawaban risiko kerusakan akibat perbuatan seseorang adalah: 
 
رد الحقوق بأعيانها عند الإمكان فأن ردها كامل الأوصاف بريئ من المسؤولية وإن ردها ناقصة الأوصاف جبر الضامن أوصافها بالقيمة لأن الأوصاف ليست من ذوات الأمثال  ولكن لايضمن أوصافها بسبب انخفاض الأسعار في الأسواق إلا الفقيه أبو ثور فإنه يوجب ضمان القبمة النقص بسبب ذلك وكذلك الشافعية كما سيأتي
 
Artinya: “Mengembalikan “hak yang dimiliki barang” (al-huquq bi a’ayan) bila memungkinkan. Jika mengembalikan dengan spesifikasi barang yang sempurna (sesuai dengan sebelumnya) maka ia bebas dari tanggungjawab risiko itu. Akan tetapi, bila pengembalian ternyata kurang dari spesifikasi awalnya maka layak baginya dimintai pertanggungan risiko atas kekurangan spesifikasi tersebut dengan mengganti rugi berupa nilai (qimah). Hal ini dikarenakan spesifikasi adalah bukan merupakan sesuatu yang memiliki padanan. Risiko kekurangan spesifikasi pengembalian tidak ditanggung dengan menyesuaikan harga pasar, kecuali pendapatnya al-Faqih Abu Tsaur. Beliau berpendapat bahwa pertanggungan nilai risiko berkurangnya spek dapat ditentukan berdasarkan pasar. Pendapat ini juga didukung oleh kalangan ulama Syafiiyah.” (Al-Zuhaili, Nadlariyatu al-Dlamman aw Ahkam al-Mas-uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqh al-Islamy, Damaskus: Dar al-Fikr, 1998: 85)
 
Adapun pendapat kalangan Hanafiyah, pertanggungan risiko atas barang yang rusak disebabkan karena tindakan ghashab, sebab amanat atau perwakilan, adalah mengembalikan barang apa adanya berupa wujud sifat barang ('ain dan dzatnya). 
 
Jadi, bentuk pertama pertanggungan risiko yang disepakati oleh para ulama’, bilamana ada seseorang yang menggasab barang orang lain, adalah mengembalikan wujud barang itu selagi memungkinkan. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi ﷺ: 
 
على اليد ما أخذت حتي تؤديه
 
Artinya: “Wajib berlaku atas tangan, berupa barang yang diambil sehingga ia menunaikannya.” 
 
Kondisi kedua, bilamana barang yang dighashab mengalami kerusakan parah, baik sebab penggunaan yang tidak dibenarkan oleh syariat atau sebab keteledoran, atau memang sengaja sebab dirusak, maka berlaku pertanggungan risiko sebagai berikut, yaitu: 
 
1. Bila barang memiliki harga standar di pasaran, maka wajib mengembalikan sesuai standar pasar tersebut. Dasar yang dipergunakan dalam hal ini adalah Firman Allah ﷻ: 
 
فمن اعتدي عليكم فاعتدوا عليه بمثل ما اعتدى عليكم
 
Artinya: “Barangsiapa memusuhi kalian, maka musuhilah ia sepadan (standar) dengan bagaimana ia memusuhi kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 194)
 
Allah ﷻ juga berfirman: 
 
وجزاؤا سيئة سيئة مثلها
 
Artinya: “Balasan atas suatu keburukan adalah keburukan yang sepadan (mitsil).” (QS. Al-Syura [42]: 40)
 
Dua ayat di atas sepintas kilas menyinggung bahwa kewajiban pertanggungan risiko bagi seorang yang telah berbuat kerugian adalah sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Bagaimanapun juga, kerusakan yang terjadi pada materi yang dighashab, pasti berhubungan dengan dua hal, yaitu jenis materi dan sekaligus sifat dari materi itu sendiri. Bilamana kedua hal yang menyangkut unsur barang ini harus diikutsertakan dalam pertanggungan risiko, maka sudah barang tentu mengupayakan standarnya adalah merupakan jalan yang paling adil karena mampu mendekati pada asal sifat barang. Jadi, pencarian standar ini seolah merupakan jalan pendekatan. Sifat kurangnya sudah pasti ada karena berganti dengan barang lain, dan hal itu bisa mudah mengundang toleransi oleh kedua pihak. 
 
2. Barang yang tidak memiliki standar harga di pasaran.. 
 
Untuk barang yang tidak memiliki standar harga di pasar disebabkan langkanya barang, atau sulitnya barang ditemui oleh kedua pihak, maka mengganti adalah jalan terbaik. Sebagaimana qaidah:
 
إذا تعذر الأصل يصادر البدل
 
Artinya: “Bila sulit mewujudkan asal, maka bisa diupayakan gantinya.”
 
Kaidah ini seolah memberikan gambaran bahwa bilamana wujud padanan susah untuk ditemui, maka hal yang wajib dilakukan oleh pihak pelaku perusak, adalah menggantinya dengan harga asalnya. 
 
Perlu dicatat bahwa mengganti harga asal itu tidak sama dengan harga mitsil. Harga asal merupakan harga beli barang. Sementara harga mitsil adalah harga standar setelah masa pemakaian tertentu. Jadi, bila pelaku merusakkan mobil hasil modifikasi misalnya, maka kewajiban pelaku adalah mengganti biaya mobil lengkap dengan biaya modifikasinya sehingga wujud barang. Tidak cukup bagi pelaku hanya sekedar menaksir harga standar barang bila dijual.. 
 
Bersambung…
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur