Syariah

Qabdlu Haqiqi dan Qabdlu Hukmi dalam Fiqih Transaksi Modern

Sel, 2 Januari 2018 | 04:18 WIB

Akad jual beli merupakan sebuah akad yang berujung pada perpindahan status kepemilikan dan kuasa atas barang/aset dari seorang penjual kepada pembeli. Dalam literatur fiqih klasik, salah satu syarat jual beli yang wajib ada adalah al-qabdlu (penerimaan aset). Tanpa al-qabdlu, maka ulama kalangan Syafi’iyah sepakat bahwa jual beli tersebut tidak sah. 

Namun seiring perkembangan zaman, dengan objek material barang yang dijual berbeda-beda segi intensitas dan kuantitasnya, maka para ulama berbeda pendapat terkait dengan status kepemilikan barang sebelum atau sesudah qabdlu.

Menurut madzhab Maliki, perpindahan hak milik terjadi apabila pembeli sudah memiliki hak kuasa dalam memanfaatkan barang/aset meskipun belum ada unsur qabdlu. Masih menurut Malikiyyah, barang atau aset di sini bersifat tidak terbatas mencakup ‘aqar (barang tak bergerak, seperti sawah, tanah, kebun, dll), atau manqul (barang bergerak). Namun, madzhab Hanbali, mensyaratkan secara mutlak bahwa terjadinya perpindahan kepemilikan dimulai saat pembeli sudah qabdlu (menerima aset) sebelum ia memanfaatkannya. Perbedaan ini membawa imbas terhadap persoalan furu’ nantinya. Di kalangan Syafi’iyah sendiri, al-qabdlu ini menjadi salah satu syarat mutlak sahnya jual beli. 

Apa sih qabdlu itu?

Dari sudut terminologi bahasanya, qabdlu bermakna memegang atau menggenggam. Sinonim dari qabdlu dalam istilah fiqih adalah naqd, munajazah, hiyazah, yadd, yadd bi yadd, haq wa haq, qada’ wa iqtida’. Namun menurut istilah, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu al-Jauzi dalam al-Qawanînu al-Fiqhiyyah: 328, al-qabdlu adalah:

حيازة الشيء والتمكن منه سواء كان التمكن باليد، أو بعدم المانع من الاستيلاء عليه، وهو ما يسمى بالتخلية أو القبض الحكمي

Artinya: “Kepemilikan atas aset atau hak pakai atas suatu aset, yang diterima baik dengan jalan langsung serah terima tangan, atau dengan ketiadaan penghalang untuk menguasainya.”

Dengan kata lain, bahwa al-qabdlu adalah penguasaan atas aset oleh pembeli yang menyebabkan ia berhak untuk melakukan tindakan hukum terhadap aset tersebut, seperti tasharruf, menjual, dan lain-lain, serta menerima manfaat atau menanggung risiko akibat dari kepemilikannya.

Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, praktik jual beli juga turut mengalami pengaruh. Semula praktik jual beli hanya bisa dilakukan dengan jalan bertemu langsung antara penjual dan pembeli, atau melalui perantara wakil penjual atau wakil pembeli, namun saat ini media jual beli sudah berkembang melalui media online, atau media lain yang sejenis, seperti misalnya Bursa Efek Indonesia, yang di dalamnya objek jual beli mengalami perubahan.

Jika pada masa awal disampaikannya risalah kenabian, praktik jual beli langsung bisa dilakukan dengan media uang dan barang, atau melalui praktik barter dengan objek barang berupa barang konkret (dhahir). Namun di era sekarang, jual beli dilakukan melalui objek berupa surat berharga, dokumen, nota, cek, dan lain-lain. 

Melihat adanya perubahan objek barang yang dijual berbeda dengan objek awal risalah, maka kemudian para fuqaha’ mengelompokkan jual beli menjadi dua, yaitu bai’ haqiqi dan bai’ hukmi. Penerimaan hak kuasa barang juga dilakukan melalui dua cara yaitu qabdlu hakiki dan qabdlu hukmi. Dalam Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islam Nomor 53 dengan menukil pendapatnya Syeikh Wahbah Al-Zuhaili, disampaikan bahwa:

القبض في بيع العملات إما حقيقي وإما حكمي:
أما القبض الحقيقي فيتم بنحو حسي ملموس بالأخذ باليد ، أو الكيل ، أو الوزن في الطعام ، أو النقل والتحويل إلى حوزة القابضوأما القبض الحكمي فهو كل ما تتحقق به الحيازة والتمكن من التصرف ، بحسب العرف السائد ، من غير تناول باليد أو قبض حسي

Artinya: “Al-Qabdlu dalam perdagangan surat berharga, ada kalanya haqiqi (legal ownership), dan ada kalanya hukmi (beneficial ownership). Al-qabdlu al-haqiqi adalah sempurnanya perpindahan kepemilikan barang secara tradisional melalui jalan menyentuh, menerima dengan tangan, menakar, menimbang suatu makanan, memindah atau membawa kepada penguasaan pembeli. Sementara al-qabdlu al-hukmi adalah segala sesuatu yang menyatakan terjadinya perpindahan hak milik atau hak kelola aset menurut ‘urf yang berlaku tanpa keterlibatan unsur tangan atau penerimaan tradisional.”

(Baca: Ijtihad untuk Perbankan Syariah pada Kasus Bai’u Hukmi dan Qabdlu Hukmi)
Dalam ta’rif modern menurut kalangan ekonom, qabdlu haqiqi diistilah sebagai kepemilikan penuh/sah dan diakui oleh undang-undang yang berlaku, yang disertai dengan pindah nama secara resmi di atas dokumen hak milik. Sementara qabdlu hukmi, sering mereka istilahkan sebagai beneficial ownership. Status aset lewat qabdlu hukmi ini hampir serupa dengan qabdlu haqiqi, namun ada beberapa perbedaan khusus di sana. 

Sebagai contoh untuk qabdlu haqiqi, adalah jual beli kendaraan bermotor. Jika seorang pembeli telah membayar kepada pihak dealer sejumlah uang yang disyaratkan, maka ia berhak mendapatkan sepeda motor tersebut, dengan surat kuasa sah atas kepemilikan yang diakui oleh negara.

Adapun contoh mudah dari qabdlu hukmi adalah, seorang pelanggan PLN (Perusahaan Listrik Negara), yang mengajukan diri pemasangan listrik di rumahnya. Segala persyaratan sudah dipenuhinya termasuk pembelian alat meteran listrik yang harus dipasang. Status kepemilikan listrik juga atas nama si pelanggan tersebut. Namun, dalam beberapa hak guna, ternyata ia dibatasi oleh PLN, bahwa jika ia tidak mampu membayar listrik, maka pihak PLN bisa memutus listriknya dan sekaligus membawa perangkat tersebut. Status kepemilikan perangkat yang sejatinya sudah atas nama dirinya secara dokumen, namun praktiknya masih menjadi milik PLN. Inilah yang kemudian oleh para fuqaha’ dinamakan dengan istilah qabdlu hukmi atau yang oleh para ekonom istilahkan sebagai beneficial ownership, yaitu kepemilakan atas dasar pemanfaatan. 

Karena status qabdlu hukmi adalah beneficial ownership, asas kemanfaatan, maka biasanya dalam praktik perbankan, istilah ini dipakai untuk transaksi murabahah dengan praktik yang menyerupai qabdlu haqiqi

Apakah qabdlu hukmi ini termasuk yang harus dilaksanakan untuk transaksi dewasa ini?

Dalam keputusan Majma’ Fiqh Islami, dengan nomor keputusan 53 (4/6), disebutkan bahwa untuk beberapa kasus transaksi, demi menjaga kemaslahatan dan menghindar kemudlaratan, qabdlu hukmi sebagai bagian yang wajib untuk dilaksanakan. Adapun pedoman pelaksanaannya adalah ‘urf (adat-istiadat) yang berlaku dalam perseroan/lembaga tersebut. Sebagai contoh, di atas sudah disampaikan untuk kasus PLN. Bagaimana dengan perbankan?

Dalam praktik amaliyah perbankan, kasus jual beli murabahah ini berlaku ketika ada seorang nasabah hendak melakukan pinjaman ke bank. Karena akad mudayyanah dapat mengurangi modal, dan bank syariah tidak berhak menarik bunga kepada nasabah, maka dilakukanlah akad murabahah melalui jual beli dengan akad tawarruq, bai’u al-‘uhdah, atau bai’ bi al-syarth seperti kasus transaksi REPO sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kepemilikan nasabah atas suatu barang, diterimakan secara dokumen, dan penjualannya dipercayakan kepada bank melalui via dokumen pula. Selanjutnya, Nasabah menerima hasil penjualan via transaksi di atas dokumen tersebut, dalam rupa kredit barang yang harus ia angsur sebagai perjanjian yang dilakukannya dengan Bank dan Bank dengan Dealer yang dipercaya oleh Bank. 

Wallahu a’lam

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua