Syariah

Redistribusi Lahan dalam Sejarah Islam

Sel, 16 Agustus 2022 | 18:00 WIB

Redistribusi Lahan dalam Sejarah Islam

Sirah Nabawiyah menyebutkan redistribusi lahan yang dilakukan para pemimpin sepeninggal Rasulullah.

Pasca-diutusnya Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kebijakan pembagian tanah secara langsung ditangani oleh beliau. Kebijakan ini terekam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thawus:


عادي الارض لله ولرسوله ثم هي لكم


Artinya, “Hak dasar tanah adalah milik Allah dan milik Rasul-Nya. Selanjutnya hak itu adalah milik kalian.” (Al-Kharraj li Yahya ibn Adam Al-Qarsy, juz I, halaman 82)


Di dalam hadits ini, nampak bahwa kebijakan agraria di dalam Islam itu mengikuti hierarki: (1) Hak Allah, (2) Hak Rasul, dan (3) Hak yang diwakilii oleh diksi لكم


Ketika Thawus dimintai penjelasan mengenai siapa yang dimaksud oleh diksi لكم itu, maka ia menjelaskan:


يقطعونه الناس


Artinya, "Pembagian yang dilakukan oleh manusia.” (Al-Kharraj li Yahya ibn Adam Al-Qarsy, juz I, halaman 82)


Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam, salah seorang ulama otoritatif Madzhab Hanafi, sebagaimana dikutip oleh Qudamah ibn Ja’far (w. 337 H), menyampaikan lebih lanjut, bahwa:


في العادي انه كل أرض كان لها ساكن في قديم الدهر فانقرضوا حتى لم يبق بها أحد فحكمها الى الامام، ومثله فيما يصلح للاقطاع موات الارض مما لم يستحييه أحد وجملة الامر ما لم يقع عليه ملك مسلم، ولا معاهد فان حكم ذلك الى الامام يقطعه من اختار (الخراج وصناعة الكتابة ١/‏٢١٥ — قدامة بن جعفر (ت ٣٣٧))


Artinya, "Pada prinsipnya, semua tanah yang asalnya pernah dihuni hingga bertahun-tahun, kemudian ditelantarkan sampai tiada tersisa sedikitpun penduduk di sana, maka tanah ini hukumnya diserahkan kepada Imam. Hal yang sama juga berlaku atas tanah yang cocok bila dibuka dan dibagi-bagikan yang terdiri dari bumi mati dan belum ada satu hak kepemilikan sedikitpun. Bagian dari hal ini adalah tanah yang belum dimiliki oleh seorang muslim pun, atau non muslim yang terikat dengan janji damai dengan muslim, maka hukum dari semua tanah di wilayah tersebut adalah diserahkan kepada Imam untuk menentukan pembagiannya, yakni kepada siapa yang pantas menurutnya untuk mengelola.” (al-Kharraj wa Shina’atu al-Kitabah li Qudamah ibn Ja’far, Juz 1, halaman 215).


Alhasil, yang dikehendaki dari diksi “lakum” pada dalil hadits di atas, adalah “Imam” selaku pemegang hak ri’ayah terhadap masyarakat yang dipimpinnya. 


Menurut Imam al-Mawardi, seorang pemimpin memiliki tugas sebagai naibu al-rasul (pengganti rasul). Tugas dasarnya ada 2, yaitu melakukan penjagaan agama (hirasatud din) dan (siyasatud duniya). Peran ini berlaku, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mangkat dan digantikan oleh para khalifah, dan selanjutnya digantikan oleh para Imam dan pemimpin negara.


Pembagian Tanah oleh Rasulullah

Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah SWT. Selaku utusan, tugas dasarnya adalah menyampaikan amanah dari Allah lewat pesan wahyu. 


Madinah diakui sebagai teladan pertama negara kesepakatan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berlaku sebagai pemimpinnya. Sebagai sebuah negara, maka ada wilayah yang sudah dikuasai oleh negara dan ada wilayah lain yang belum dikuasai oleh negara. 


Terhadap wilayah yang sudah dikuasai oleh negara, maka Rasulullah SAW terekam pernah melakukan kebijakan iqtha’u al-ardly yaitu pembagian tanah kepada masyarakat. 


Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan sebidang tanah kepada al-Zubair ibn al-Awwam dan di dalam tanah itu sudah ada tanaman kurma dan pepohonan lainnya. Di dalam Kitab Al-Kharraj wa Shina’atu al-Kitabah, Imam Qudamah ibn Ja’far (w. 337 H) merekam hal itu:


اقطع النبي صلى الله عليه الزبير بن العوام أرضا ذات نخل وشجر


Artinya, “Nabi SAW telah membagikan tanah kepada al-Zubair ibn Al-Awwam dan didalamnya terdapat tanaman kurma dan pepohonan.” (al-Kharraj wa Shina’atu al-Kitabah li Qudamah ibn Ja’far, juz I, halaman 215).


Jika melihat dari sudah adanya pohon kurma dan pepohonan di dalamnya, menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak bisa disebut sebagai ihyaul mawat murni. Sebab, konsep al-mawat awalnya adalah berlaku pada wilayah tanah yang mati, tidak dijumpai adanya kepemilikan. 


Namun, keberadaan pohon kurma itu sekaligus mengindikasikan bahwa  pernah ada pihak yang mengelola tanah tersebut, akan tetapi selang beberapa waktu tanah itu ditelantarkan oleh pemiliknya sehingga tidak produktif lagi. Imam Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam rahimahullah ta’ala menyampaikan:


أن هذه الارض هي التي كان سليط الانصاري عمرها، وذلك ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان قد أقطع سليط هذا أرضا من الموات فأحياها وعمرها


Artinya, “Sungguh tanah ini adalah tanah yang sudah dikuasai oleh kaum Anshar dan pernah dikelola. Oleh karena itulah maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan kebijakan pembagian (aqtha) atas tanah sudah pernah dikuasai dan ditelantarkan sehingga mati ini, agar dihidupkan dan dikelola kembali.” (al-Kharraj wa Shina’atu al-Kitabah li Qudamah ibn Ja’far, juz I, halaman 215)


Berdasarkan hal ini, maka konsep ihya'ul mawat menjadi berlaku tidak hanya pada tanah yang belum ada hak kepemilikan di atasnya, melainkan juga tanah terlantar dan tidak produktif lagi. Dan karena tanah itu ada di belahan wilayah yang sudah dikuasai oleh Negara Madinah, maka kebijakan itu disebut sebagai iqtha al-ardh


Sementara itu diksi “salithun”, mengindikasikan bahwa tanah tersebut ada di wilayah taklukan sehingga berada di luar wilayah teritorial Negara Madinah yang baru terbentuk. Untuk mempertegas indikasi ini, berikut ini adalah rekaman pendapat fuqaha Hanabilah Muwaffiquddin al-Maqdisy (w. 620 H):


وليس للمسلم إحياء أرض في بلد صولح الكفار على المقام فيه؛ لأن الموات تابع للبلد، فلم يجز تملكه عليهم كالعامر (الكافي في فقه الإمام أحمد ٢/‏٢٤٤ — المقدسي، موفق الدين (ت ٦٢٠))


Artinya, "Tiada hak bagi muslim untuk menghidupkan bumi mati di negeri yang dihuni oleh orang kafir dan penduduknya menyatakan berdamai. Karena al-mawat adalah mengikut pada negara sehingga tidak boleh merampasnya dari mereka dari pengelolaan.” (Al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad li Muwaffiq al-Din al-Maqdisy, juz II, halaman 244). 


Tampak bahwa dalam karya itu dijelaskan mengenai wilayah yang bukan tundukan atau taklukan melainkan hanya menjalin akad damai saja dengan wilayah muslim. Hak atas al-mawwat di negeri damai itu masih menjadi prioritas dari pribumi setempat untuk mengelolanya. Sementara bagi muslim, tidak diperkenankan untuk ihya’ atau menguasainya (tamalluk). 


Simpulan ini sekaligus memberikan penegasan bahwa konsepsi ihyau al-mawwat awalnya berlaku pada wilayah yang dikuasai atau ditundukkan. Imam Abu Ishaq Al-Sairazy (w. 476 H) rahimahullah secara agak lebih terang menyampaikan:


لأن الموات تابع للبلد فإن لم يجز تملك البلد عليهم لم يجز تملك مواته (المهذب في فقة الإمام الشافعي للشيرازي ٢/‏٢٩٤ — الشيرازي، أبو إسحاق (ت ٤٧٦))


Artinya, “Karena sesungguhnya al-mawat adalah mengikut pada negara. Jika kita tidak diperkenankan menguasai mereka, maka tidak diperkenankan pula untuk menguasai mawat-nya.” (Al-Muhaddzab li al-Syairazy, juz II, halaman 476).


Jadi, jelas sudah, bahwa perang adalah asal dari terbitnya tamalluk (penguasaan). Ketiadaan perang, menjadi asal dari ketiadaan tamalluk atas suatu tanah dan melakukan ihya’ (menghidupkan) atas tanah suatu wilayah. 


Berangkat dari sini, maka para fuqaha selanjutnya merumuskan mengenai syarat utama untuk melakukan ihyau al-mawwat, adalah:

(1) Dilakukan pada wilayah yang ditundukkan (tamalluk) oleh umat Islam lewat jalan perang


(2) Pelaku muhyi-nya adalah muslim


(3) Dilakukan pada tanah yang belum dikuasai oleh suatu kepemilikan


(4) Dilakukan pada tanah yang sudah ditelantarkan oleh pemiliknya


(5) Adanya pembagian tanah oleh Nabi kelak akan menjadi cikal bakal perlunya izin dari Imam


Ustadz Syamsudin, pegiat Aswaja NU Jawa Timur