Syariah

Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Bisnis dan Dakwah

Jum, 30 Juli 2021 | 14:00 WIB

Relasi Muslim dan Non-Muslim dalam Bisnis dan Dakwah

Islam merupakan agama paripurna. Ia tidak hanya hadir dalam bentuk aqidah semata, melainkan juga syariah. Salah satu aspek garapan syariah adalah bidang muamalah.

Dakwah berasal dari kata da’â - yad’û - da’wah yang secara bahasa bermakna seruan. Terkait dengan panduan berdakwah, Allah ﷻ telah memberikan panduan, yaitu melalui bi al-hikmah (kebijaksanaan) dan mau’idhah hasanah (nasihat yang baik).

 

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

 

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik! Ajaklah berdebat mereka dengan jalan yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Dzat Yang Maha Mengetahui pihak yang tersesat dari jalan-Nya. Dialah Dzat yang Maha Mengetahui akan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Nahl: 125).

 

Ketika menafsirkan ayat di atas, Syekh Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) menyatakan:

 

يقول تعالى ذكره لنبيه محمد ﷺ ﴿ادْعُ﴾ يا محمد من أرسلك إليه ربك بالدعاء إلى طاعته ﴿إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ﴾ يقول: إلى شريعة ربك التي شرعها لخلقه، وهو الإسلام

 

“Allah ﷻ mengingatkan Nabi-Nya, yaitu Muhammad ﷺ: (Serulah) wahai Muhammad kepada orang-orang yang engkau diutus menyerunya ke Tuhanmu, melalui seruan untuk taat kepada-Nya (kepada jalan Tuhanmu), yakni ke syariat Tuhanmu yang telah ditetapkan berupa syariat Islam kepada makhluk-Nya.” (Tafsir ath-Thabari, juz 14, h. 400).

 

Ada diksi yang menarik dari tafsir di atas, yaitu ketika disebutkan kalimat “taat” kepada-Nya. Objek yang diseru sudah barang tentu adalah pihak yang belum menjalankan syariat Islam secara paripurna yang terdiri dari ummat al-da’wah.

 

Menurut istilah Mu’jam al-Wasith, secara bahasa makna thaat, adalah:

 

 الطَّاعَةُ: الانقيادُ والموافقةُ، وقيل: لا تكون إلاَّ عن أَمرٍ.

 

"Taat adalah ikut dan penyesuaian. Juga dikatakan bahwa taat hanya ada dalam kaitannya dengan perintah.” (Mu’jam al-Wasith)

 

Dengan demikian, secara bahasa makna taat itu sendiri adalah mengikuti dan melaksanakan sesuai perintah. Ada unsur fi’liyah (sikap berupa perbuatan) yang tersurat dalam ketaatan. Jika tindakan itu sesuai dengan apa yang diperintahkan, maka sudah terhitung melakukan ketaatan.

 

Lawan dari taat adalah maksiat yang berasal dari kata ‘asha - ya’shi - ‘ishyan - ‘ishyanan - ma’shiyah, yang berarti pembangkangan / durhaka. Di dalam Mu’jam al-Zaid, disampaikan:

 

عصاه: خرج من طاعته


“Mendurhakainya: keluar dari ketaatan terhadapnya.” (Mu’jam al-Zaid)

 

Juga disampaikan, bahwa:

عصاه: عانده وخالف أمره


“Mendurhakainya: menentang dan melawan perintah.” (Mu’jam al-Zaid)

 

Jadi, dalam maksiat tersimpan makna tidak mahu melaksanakan perintah dan justru bertindak kebalikannya.

 

Dalam aspek kehidupan duniawi, makna taat dan ma’shiyat secara syara’ ini tidak ada sangkut pautnya dengan aspek aqidah. Hal ini bisa kita lihat dari ayat yang menjelaskan mengenai pembangkangan Iblis terhadap perintah Allah ﷻ untuk sujud kepada Nabi Adam alaihi al-salam.

 

فَسَجَدُواْ إلاَّ إبْلِيسَ أبى واستكبر

 

“Maka para malaikat bersujud (kepada Nabi Adam) kecuali Iblis. Ia abai dan berlaku sombong.”

 

Ayat ini secara tersirat menyatakan bahwa pembangkangan Iblis la’natullah ‘alaih adalah bukan karena faktor aqidah, sebab Iblis merupakan makhluk yang beriman terhadap Allah. Pembangkangan Iblis sehingga ia dinyatakan sebagai kufur adalah karena tidak mahu melaksanakan perintah bersujud kepada Nabi Adam alaihissalam dan ditambah lagi karena sikap congkak yang dimilikinya.

 

Alhasil, makna taat dalam konteks ini adalah berkaitan dengan perilaku/perbuatan sesuai dengan apa yang diperintahkan atau tidak, dan bukan dengan persoalan akidah. Dalam aspek duniawi, sekalipun perbuatan itu dilakukan oleh orang kafir, asalkan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ﷻ, maka sudah masuk dalam bingkai taat. Ketidaksesuaian dengan apa yang diperintahkan adalah inti dari maksiat.

 

Sebagai sebuah ilustrasi, ada warga negara Amerika masuk ke Indonesia. Ia berkendara di jalanan Indonesia dan menyetir sendiri tanpa ada pemandu. Sebagai bekal menyetir, ia juga sudah mengantongi SIM Internasional.

 

Di Amerika, kendaraan yang melaju di jalan raya harus berada di sisi kanan. Itu sebabnya, setting mobil keluaran Amerika dan melantai di jalanan Amerika selalu memiliki setir ada di sebelah kiri. Lain halnya dengan jalanan di Indonesia, yang mana mobil yang melaju di jalan raya, harus berada di sisi kiri. Itu sebabnya setting setir mobilnya ada di bagian kanan mobil.

 

Meskipun yang menyetir adalah orang Amerika, maka ketika berada di jalanan Indonesia, ia harus berada di sebelah kiri. Tidak boleh warga tersebut beralasan bahwa dia adalah warga Amerika sehingga harus menyetir di sebelah kanan.

 

Tindakan mahu menyetir di sebelah kiri jalanan ini adalah sudah bisa disebut sebagai taat peraturan lalu lintas di Indonesia. Abai terhadap aturan di Indonesia, maka ia bisa disebut sebagai tidak taat terhadap peraturan lalu lintas di Indonesia, karenanya berhak untuk ditilang (ta’zir). Inilah sekelumit bahasan mengenai perbedaan taat dan maksiat dalam realita kehidupan sehari-hari.

 

***

 

Islam merupakan agama paripurna. Ia tidak hanya hadir dalam bentuk aqidah semata, melainkan juga syariah. Salah satu aspek garapan syariah adalah bidang muamalah. Ada aturan yang wajib dipatuhi ketika bermuamalah dengan syariah tersebut, di antaranya tidak boleh berlaku riba, gharar, ghabn, jahalah, memakan harta orang lain secara batil, dan sebagainya. Ini adalah inti dasar dari syariat Islam yang mengatur soal hubungan dan relasi sosial dengan masyarakat.

 

Ibarat jalanan, maka di dalam syariat Islam ada sejumlah rambu-rambu yang harus dipatuhi. Ketika rambu-rambu itu dipatuhi, kendati pihak yang melaksanakan adalah pihak non-Muslim, maka dapat dikatakan bahwa ia sudah melaksanakan ketaatan, yaitu berupa patuh terhadap rambu-rambu yang sudah digariskan tersebut.

 

Berangkat dari sini, itu sebabnya Islam tidak pernah melarang umat muslim untuk bermuamalah dengan siapa saja. Yang dilarang oleh Islam adalah ketika dalam muamalah itu ada hal-hal yang menerjang syara’.

 

Islam juga tidak melarang pemeluk agama lain untuk menjalankan sistem muamalah sesuai dengan syariat Islam. Justru dengan memberikan peluang mereka menjalankan sistem muamalah sesuai dengan syariat Islam inilah, maka Islam bisa menunjukkan sisi keagungan sistem bisnisnya. Alhasil, dengan cara ini pula, bisa tercapai maksud utama dari dakwah bi al-hikmah wa al-mau’idhah hasanah.

 

Itulah sebabnya, kita tidak heran bila kemudian para fuqaha telah bersepakat mengenai dibukanya peluang dan akses seluas-luasnya bagi umat dakwah untuk mendengar kalam seruan. Salah satunya adalah memberikan peluang umat lain untuk mengenal sistem bisnis yang sesuai syariat Islam dengan jalan berpartisipasi di dalam sistem tersebut. Para fuqaha menyatakan:

 

وقد أجمع الفقهاء على أن من طلب الأمان لسماع كلام الله والتعرف على شرائع الإسلام يجب أن يعطاه

 

"Para fuqaha telah berijma bahwa orang yang mencari keamanan untuk mendengar Kalamullah dan mengenal syariat Islam wajib diberikan akses.” (Tafsir al-Qurthubi, Juz 5, halaman 211)

 

Berpartisipasi merupakan salah satu bagian dari upaya mengenalkan syariat Islam dan keagungannya kepada pemeluk agama lain. Dengan berpartisipasi pula, untung rugi mengikuti keluhuran syariat menjadi bisa langsung dirasakan oleh mereka sehingga dapat merasakan kebenaran agama Islam. Lewat jalan partisipasi, sifat paripurna dakwah Islam bisa diperkenalkan dan bisa dibedakan dari sistem lain. Di sini letak Islam bermakna sebagai hidayah / petunjuk.

 

الشمولية لأحكام الشريعة الإسلامية من المعلوم من أحكام الشريعة الإسلامية بالضرورة ومن خلال الاستقراء يتبين أن الهدف النهائي للإسلام هو هداية البشر إلى الصراط المستقيم والإيمان بالوحدانية والعمل الصالح. فقد أرسل ﷺ بالهدى ودين الحق كما قال تعالى: ﴿هُوَ الَّذِي أرْسَلَ رَسُولَهُ بِالهُدى ودِينِ الحَقِّ﴾

 

"Sifat paripurnanya hukum Islam merupakan hal yang bersifat ma’lum bi al-dlarurah. Untuk itulah, maka disela-sela upaya melakukan induksi terhadap nash, maka tampak jelas bahwa tujuan pamungkas dari Islam pada dasarnya adaah menunjukkan manusia pada jalan yang lurus, keimanan terhadap sifat Maha Tunggal Allah dan beramal shalih. Sebagaimana Rasul ﷺ telah diutus dengan Kitab Suci sebagai petunjuk dan agama yang hak. Allah ﷻ telah berfirman: Dialah Dzat yang telah mengirim utusan-Nya dengan Kitab Suci sebagai petunjuk dan agama yang haq.” (Nadhrat al-Istisyrafiyyah fi Fiqh al-Allaqati al-Insaniyyah baina al-Muslimin wa Ghair al-Muslimin li Hasan bin Muhammad Safar, Juz 1, halaman 8).

 

Puncaknya, melalui jalan partisipasi, makna Islam sebagai petunjuk jalan kebaikan dan berorientasi pada kebahagiaan dan keselamatan manusia hidup di dunia dan akhirat itu bisa dirasakan dan lebih membekas secara langsung kepada umat lain yang mengikuti bagian dari sistem ekonomi yang diajarkannya. Di sinilah inti dakwah itu selanjutnya bekerja.

 

فإذا تحقق هدف الإيمان بالله وقرن بالعمل الصالح عم الخير والسعادة والسلام البشر أفرادًا وجماعات، فإذا سادت شريعة السماء التي تحمل الحق والعدل والمساواة والحرية والكرامة وتقمع الظلم فإن الحرب والقتال والاشتباكات تكون استثناء. كما قال تعالى: ﴿كُتِبَ عَلَيْكُمُ القِتالُ وهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ﴾ (٢).

 

"Apabila tujuan beriman kepada Allah telah menjadi nyata dirasakan, yang dibarengi dengan amal shalih dalam menebar kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan diri seorang insan baik selaku individu maupun golongan, maka ketika syariat langit ini telah benar-benar menguasai dan menampakkan ajaran kebenarannya, keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan serta kemuliaan, menghapus kedhaliman, maka perang, pertempuran serta adu strategi menjadi suatu keniscayaan. Sebagaimana Allah ﷻ telah berfirman: “Telah diwajibkan atas kalian untuk berperang meskipun itu tidak kamu sukai.” (Nadhrat al-Istisyrafiyyah fi Fiqh al-Allaqati al-Insaniyyah baina al-Muslimin wa Ghair al-Muslimin li Hasan bin Muhammad Safar, Juz 1, halaman 8).

 

Melalui konsepsi jihad ini, sifat saling menahan diri itu menjadi nyata antara satu sama lain. Oleh karena itu pula, adalah menjadi hal yang bisa dipahami, bahwa disyariatkannya konsepsi jihad ini adalah tidak mungkin menjadi landasan relasi antar sesama. Relasi sebenarnya dari konsepsi hubungan antar sesama itu adalah damai dan terjaganya hak dan kewajiban masing-masing individu dan masyarakat dalam hidup kerjasama.

 

وعلى هذا فلا يمكن أن يكون هذا الأمر البغيض هو الأصل في العلاقات بين أمم الأرض وشعوبه التي يطلبها ويقيمها الإسلام بينه وبين غيره من الأمم، إذ جميع من شملتهم رعاية الدولة الإسلامية من غير المسلمين تمتعوا بما حققته لهم الشريعة الإسلامية من مزايا وحقوق وحريات للمسلم دون تفضيل لبعضهم على الآخرين في الحقوق الأساسية الإنسانية.

 

"Berdasarkan hal ini, maka tidak mungkin bahwa konfrontasi merupakan landasan bagi terjalinnya relasi antar umat beragama di Bumi ini, antar bangsa yang menganut dan mengikuti sistem Islam atau tidak Islam, karena seluruh orientasi mereka pada dasarnya adalah menjaga negara Islam dari serangan selain Islam. Mereka mengacu pada kebebasan melaksanakan hak menjalankan syariat Islam, kebebasan individu melaksanakan syariat tersebut, tanpa adanya pengutamaan sebagian individu terhadap individu lainnya, khususnya dalam hak-hak dasar kemanusian.” (Nadhrat al-Istisyrafiyyah fi Fiqh al-Allaqati al-Insaniyyah baina al-Muslimin wa Ghair al-Muslimin li Hasan bin Muhammad Safar, juz 1, h. 8).

 

Wallahu a’lam bi shshawab

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim