Syariah

Relasi Reksadana Saham, Syirkah Musahamah, dan Syirkah ‘Inan

Sen, 23 Maret 2020 | 11:30 WIB

Relasi Reksadana Saham, Syirkah Musahamah, dan Syirkah ‘Inan

(Ilustrasi: NU Online)

Reksadana Saham

Reksadana saham merupakan reksadana yang berbasis investasi ke pembelian saham. Saham yang dimaksud di sini adalah saham yang sudah terdaftar di dalam Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil keuntungan diperoleh dari naik turunnya (fluktuasi) harga saham di pasaran bursa.

 

Saham

Saham dalam istilah akademis, sering dimaknai sebagai surat berharga (efek) yang menunjukkan bagian kepemilikan atas suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) (Husnan Sa’ad, Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, 2003: 275). Dengan demikian, istilah membeli saham, secara akademis dimaknai sebagai membeli sebagian aset kepemilikan dari suatu Perseroan Terbatas yang menerbitkannya.

 

Karena memiliki sebagian dari aset usaha itu, maka seseorang yang memegang saham, berhak atas bagi hasil pengelolaan dari PT. Menguasai saham sebesar 50% dari sebuah PT, itu sama artinya dengan memiliki 50% dari total aset yang dimiliki oleh PT. Alhasil, pembagian hasil usaha, adalah menyesuaikan nisbah saham modal yang disertakannya terhadap keuntungan yang dimiliki oleh perusahaan. Jika sebuah PT memiliki laba hasil usaha sebesar 1 miliar, maka pemilik saham sebesar 50% berhak mendapatkan nisbah bagi hasil senilai 500 juta rupiah (setengah dari laba hasil usaha).

 

 

Saham dan Syirkah ‘Inan

Syirkah ‘inan dicirikan dengan persekutuan modal yang terdiri atas harta. Suatu misal, modal usaha yang diperlukan adalah 1 miliar. Pelaku syirkah terdiri dari 2 orang. Bila masing-masing menyertakan modal sebesar 50%, maka 1 orang pemodal sama artinya dengan menguasai separoh dari aset usaha. Bagi hasil keuntungan yang berhak diterima seorang pemodal adalah sebesar 50% pula, sesuai dengan nisbah modal yang disertakannya.

 

Suatu surat berharga (efek) yang menyatakan nisbah penyertaan modal sebesar 50% dan hak bagi hasil sebesar 50%, dikenal dengan istilah saham.

 

Saham, Syirkah Musahamah, dan Syirkah ‘Inan

Dalam syirkah ‘inan, sebuah usaha yang didirikan dengan susah payah, sudah barang tentu alangkah disayangkannya bila kemudian usaha tersebut harus berhenti di tengah jalan, seiring keluarnya anggota syirkah. Namun, keluar dari keanggotaan syirkah ini adalah hak dari setiap individu. Belum lagi, melakukan pengurusan ijin usaha yang harus dimulai dari awal lagi, alangkah ribetnya bila sudah berjalan, kemudian ijin usahanya dihentikan sendiri oleh pemilik syirkah, kemudian mendirikan lagi usaha baru, yang berarti harus mengurus ijin baru lagi. Bila memungkinkan untuk dilanjutkan dan diganti oleh orang lain, mengapa tidak?

 

Caranya, agar nisbah modal yang dimiliki oleh peserta yang memutuskan keluar tersebut bisa kembali kepada pemiliknya, sehingga ia lepas dari hak menerima bagi hasil, maka nisbah modal yang diakuisisi anggota yang hendak keluar tersebut harus dirupakan efek saham. Untuk mencari pemodal yang besar bukanlah perkara mudah, sehingga perlu diambil strategi yang memudahkan. Caranya?

 

Nisbah modal itu dipecah menjadi beberapa efek saham-saham kecil. Misalnya, total penyertaan modal seorang mitra yang hendak keluar adalah 1 miliar, maka 1 miliar itu bisa dipecah menjadi 1000 lembar saham yang dilepas dan ditawarkan ke masyarakat umum. Dengan demikian, harga per lembar saham adalah senilai 1 juta. Jika satu lembar saham ini dibeli oleh seorang investor (mustatsmir), maka pembelian ini menjadi sama artinya dengan ia telah menyertakan modal sebesar 1 juta rupiah, dengan demikian ia berhak menerima nisbah bagi hasil dari nisbah 1 juta rupiah terhadap total nisbah aset perusahaan.

 

Bila 1000 lembar saham itu dibeli oleh satu orang investor, maka investor ini sama artinya dengan telah mengakuisisi seluruh nisbah modal dari mitra yang keluar dan telah diterbitkan dalam rupa efek saham. Nisbah bagi hasil yang diterimanya, sudah barang tentu menyesuaikan dengan nisbah bagi hasil yang sebelumnya diperoleh oleh mitra yang keluar.

 

Pola penggantian mitra yang keluar dengan mencari penggantinya melalui penerbitan efek-efek saham ini, dikenal dengan istilah syirkah musahamah. Menurut para sarjana ekonomi syariah, syirkah ini didefinisikan sebagai berikut:

 

الشركة المساهمة هي شركة يقسم رأس المال فيها إلى أسهم قابلة للتداول، ولشركة المساهمة كيان قانوني مستقل عن حملة أسهمها، أي أن لها شخصية اعتبارية مستقلة عن أصحاب حقوق الملكية

 

Syirkah Musahamah, (joint stock company) adalah sebuah syirkah yang didasarkan pada upaya membagi modal perusahaan ke dalam sejumlah saham sehingga memungkinkan untuk disirkulasikan. Di dalam syirkah mushamah ini terdapat peran undang-undang yang menjamin hak bagi pemegang sahamnya (sekuritas), yakni berupa hak individu dalam mendapatkan jatah bagi hasil atas kepemilikan aset.” (Mi’raj Hawari dan Sa’id Umar, Al-Tamwil al-Ta’jiry : Al-Mafahim wa al-Asas, Oman: Dar Kunuz al-Ma’rifah al-Ilmiyyah li Al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1434 H/ 2013 M, halaman 149)

 

Ciri khas dari saham yang diterbitkan lewat akad syirkah musahamah ini, adalah sebagai berikut harga dari setiap lembar saham yang dijual adalah senantiasa sama. Mengapa? Karena saham di situ merupakan pecahan dari modal yang bersifat tetap. 1 miliar yang dibagi 1000 lembar saham, menandakan 1 lembar sahamnya memiliki harga 1 juta rupiah. Jadi, 1 miliar ini merupakan modal asal yang disertakan. Sementara 1 juta rupiah, adalah modal turunan. Alhasil, harganya tidak boleh naik dan turun, seiring aset modal yang diakuisisi nilainya adalah tetap.

 

Investasi lewat Reksadana Saham

Jika mencermati pola penerapan syirkah ‘inan, syirkah musahamah dan pengertian saham pada ta’rif di atas, maka seharusnya, investasi lewat reksadana saham ini bukan bermakna sebagai investasi terhadap janji-janji potensi penerimaan keuntungan.

 

Reksadana saham, seharusnya adalah dimaknai sebagai penyertaan modal dalam suatu perusahaan yang menerbitkan efek dengan aset yang bersifat tetap. Berinvestasi di dalamnya berarti pula sebagai penguasaan terhadap aset fisik perusahaan, sesuai dengan nisbah modal yang disalurkannya. Dengan demikian, “menahannya” adalah sama artinya dengan “menanti bagi hasil” yang akan diperolehnya di akhir tutup buku. Jika reksadana saham itu bermakna sedemikian rupa, maka ikut dalam reksadana saham adalah sama dengan ikut serta dalam bagian akad syirkah ‘inan sehingga keuntungan yang diterimanya adalah sah.

 

Lain halnya bila, ikut reksadana saham, kemudian dimaknai sebagai membeli saham dengan “janji-janji” akan “potensi” bagi hasil. Jika kita hanya berhenti pada membeli “fisik surat berharga” yang di dalamnya tersimpan “potensi-potensi” bagi hasil sedemikian rupa, maka kasusnya akan sama dengan membeli “barang yang tidak diketahui” dan “spekulatif”.

 

Ciri khas dari pola jual beli saham semacam ini adalah harga sahamnya naik turun mengikuti pasar. Hukum ekonomi yang berlaku, semakin banyak orang yang mencari efek saham perusahaan itu, harga saham akan semakin melambung tinggi disebabkan “potensi” spekulatif bagi hasilnya.

 

Jika ternyata benar di akhir tahun perusahaan yang menerbitkan saham memiliki hasil usaha yang besar, maka ia mendapat untung dari spekulasinya. Namun, jika ternyata salah, dan perusahaan bangkrut, maka pembeli mengalami kerugian dari spekulasinya. Saat perusahaan bangkrut, harga jual saham menjadi turun dengan drastis, tidak sebagaimana saat diburu.

 

Alhasil, potensi kerugiannya juga besar. Jual beli semacam ini, adalah menyerupai kasus jual beli munabadzah (lempar kerikil). Illat keharamannya, karena terhenti pada “spekulasi-spekulasi” dan “potensi-potensi” dengan sasaran utama bagi hasil di tahun tutup buku. Bisa pula dikelompokkan sebagai jual “utang” dengan “utang”. Hukum jual beli semacam ini adalah haram, karena ketiadaan wujud aset yang dibeli, melainkan hanya berupa selembar kertas dengan janji “potensi bagi hasil”. Dan potensi bukan termasuk barang yang sah dijualbelikan, karena ia hanya ittijahat (trend). Illat keharamannya adalah adanya gharar dan ghabn, atau jual beli barang yang belum ada (bai’u al-ma’dum).

 

ولا يجوز بيع الدَّين بالدَّين، حكاه ابن المنذر إجماعاً

 

“Tidak membolehkan jual beli utang dengan utang. Ibnu al-Mundzir menyampaikan, tidak boleh secara ijma’.” (Nihayatu al-Muhtaj, Juz 4, halaman 92).

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur