Syariah

Revolusi Industri 4.0 dan Perkembangan Akad Muamalah

Sel, 3 Juli 2018 | 10:00 WIB

Revolusi Industri 4.0 dan Perkembangan Akad Muamalah

Ilustrasi (mt.nl)

Dunia ini senantiasa berubah. Dalam praktik muamalah, zaman dulu orang melakukan perdagangan dengan jalan sistem barter. Setelah ditemukannya emas dan perak, muamalah kemudian berlanjut dengan tidak lagi menggunakan media emas dan perak, melainkan ia menggunakan mata uang yang memiliki jaminan emas dan perak.

Setelah bank sebagai pusat sirkulasi keuangan berkembang sedemikian pesatnya sehingga masuk ke dalam segenap relung kehidupan, orang tidak lagi berorientasi pada cadangan emas dan perak, melainkan beralih pada keabsahan mata uang yang diterbitkan oleh bank. Apakah perkembangan ini sudah berhenti sampai di sini? Ternyata tidak.

Uang saat ini sudah diwujudkan dalam bentuk mata uang virtual. Pengaruh besar dari kartu kredit dan ATM berdampak ke setiap aspek. Pemberlakuan e-tol, e-ticket merupakan bagian dari wujud imbas dan pengaruh perubahan yang tak dapat dihindari dan pasti akan terjadi di kemudian hari. 

Ditemukannya bitcoin oleh Satoshi Nakamoto, sebuah nama samaran dari Craig Wright, pria berkebangsaan Australia, secara tidak langsung juga menjadi fenomena baru. Sebelumnya dan hingga detik ini, yang dinamakan dengan uang, baik mata uang fiat, giral atau elektronik, adalah selalu diterbitkan oleh bank. Namun, seiring dengan ditemukannya bitcoin, mata uang tidak lagi mutlak menjadi hak komiditi dari perbankan. Ia sudah bisa diproduksi melalui jaringan peer to peer antara satu unit komputer dengan unit komputer yang lain.

Dengan kata lain, keberadaan bitcoin secara tidak langsung menjadi fenomena baru yang tak terelakkan dan kemungkinan besar akan menjadi bagian dari alat transaksi legal dalam sistem perdagangan. Inilah wujud revolusi industri 4.0 yang saat ini tengah bergulir. Kita tidak bisa menghindar darinya. Menghindari gerak laju perubahan justru akan tergilas oleh zaman. 

Lantas, bagaimana sikap dari seorang faqih di era peralihan semacam ini? Apakah ia akan berperan sebagai pihak antitesa dari perubahan, atau pihak yang adaptable? Jika seorang faqih memerankan diri sebagai pihak antitesa terhadap perubahan, maka ia akan digelari sebagai pihak anti kemapanan sistem. Bagaimanapun juga, sebuah teknologi diciptakan adalah untuk mempermudah kerja manusia.

Keberadaan virtualisasi mata uang di satu sisi menjadi kendala bagi masyarakat yang belum siap menghadapinya, namun di sisi yang lain, ia dipandang lebih bermanfaat bagi sejumlah pihak yang selalu berhubungan dengan perangkat sistem tersebut. Tingkat safety (keamanan) terhadap harta dan hak milik selama dalam perjalanan lebih mudah untuk diamankan dibanding dengan ia membawa uang cash langsung. Aksi kejahatan perampokan menjadi sedikit bisa diminimalisir. Namun, bukan berarti kejahatan menjadi habis. Kejahatan akan muncul dalam bentuk lain, seperti kejahatan dalam wujud transaksi elektronik dan pembobolan data nasabah sebuah bank. Ini adalah sebuah resiko perubahan. Ada asap berarti ada api. Sebagaimana api, ia bisa berperilaku sebagai ramah menghangatkan namun juga sebagai yang membakar. Dengan demikian, ada pihak yang diuntungkan oleh keberadaan api tersebut, namun ada juga pihak yang dirugikan karena dirinya terbakar.

Menghadapi kenyataan kejadian yang terus berubah ini, Syeikh Syahrastany dalam Al-Milal wa Al Nihal, Juz 1/198 mengingatkan seorang faqih. Ia berkata:

والنصوص إذا كانت متناهية والوقائع غير متناهية وما لايتناهى لايضبطه ما يتناهى علم قطعا أن الاجتهاد والقياس واجب الاعتبار حتى يكون بصدد كل حادثة اجتهاد ثم لا يجوز أن يكون الاجتهاد مرسلا خارجا عن ضبط الشرع

Artinya: "Meskipun teks nash telah selesai, namun situasi dan kondisi akan senantiasa terus berkembang/tanpa kesudahan. Sementara apa-apa yang tiada memiliki kesudahan maka tidak bisa ditetapkan batasannya secara pasti oleh sesuatu yang telah selesai ketetapannya. Disinilah urgensi ijtihad dan qiyas sebagai sebuah keharusan sehingga dalam setiap kejadian baru, muncul ijtihad baru. Akan tetapi, dalam kancah ijtihad, tidak boleh suatu ijtihad lepas dan keluar dari batas2 syara'." (Abu Al-Fatah Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastany, Al-Milal wa Al-Nihal, Kairo: Al-Muassisah Al-Halaby wa Al-Tauzi’, tt, Juz 1/198)

Apa yang disampaikan oleh Syahrastany ini setidaknya menjadi pengingat kembali bagi kita semua untuk semakin mendalami peran fiqih muamalah. Dalam beberapa kesempatan, Sayyid Al-Bakry, pengarang kitab I’anatu al-Thalibin pernah melakukan beberapa kemajuan pemikiran dalam bidang hukum. Kasus hukum wathy syubhat misalnya, yang diilustrasikan sebagai perempuan yang menyentuhkan batu terdapat padanya sperma yang telah mengering untuk istinja’, kemudian sperma tersebut berujung masuk ke dalam rahim sehingga membuat si perempuan hamil, maka si anak tidak bisa dihukumi sebagai waladu al-zina

Dalam konteks sains, tentu apa yang disampaikan oleh Sayyid Bakry ini adalah aneh, karena tidak mungkin ada sperma yang keluyuran sendiri masuk ke dalam rahim tanpa ada unsur kesengajaan memasukkannya. Namun, secara fiqih, ternyata ketidaksesuaian segi keilmuan dari sisi sains, tidak menghalangi kemungkinan terjadi melalui jalur lain yang dewasa ini juga berkembang. Itulah kehebatan ulama’ saat itu yang mampu memprediksi kemungkinan hukum yang akan terjadi di masa mendatang, meskipun persis perkara kejadiannya belum ada saat itu, namun tidak mustahil di masa mendatang. Bayangkan, apa jadinya jika ulama’ salaf tidak melakukan ijtihad terhadap kasus wathy syubhat? Betapa sulitnya kita saat ini untuk memutus kasus kloning, bayi tabung, dan sebagainya. Inilah peran ijtihad hukum tersebut. 

Berpijak dari fenomena ini, dewasa ini praktik muamalah akan terus berkembang. Jika sebelumnya, praktik muamalah dilaksanakan dengan jalan tatap muka atau pasar langsung, namun dewasa ini praktik ini telah berkembang menjadi pasar tidak langsung. Wasilah yang dipergunakan adalah media online serta kemajuan teknologi digital. Akhirnya, Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari. Jembatan hukum menuju ke sana mahu tidak mahu harus sudah mulai dipikirkan sedari sekarang. Jika Anda sekarang memegang handphone android, setidaknya Anda sudah mulai punya landasan untuk berpikir, bahwa beberapa tahun yang lalu, ketika saya berinteraksi dengan orang, saya harus datang silaturahmi ke rumahnya. Namun, teknologi telah mempermudah proses capaian transaksi tersebut dengan tidak menggeser Anda dari tempat duduk sesenti pun. Wallahu a’lam bish shawab.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua