Syariah

Solusi agar Bantuan Dana untuk UMKM Terhindar dari Riba

Sab, 24 Agustus 2019 | 10:00 WIB

Solusi agar Bantuan Dana untuk UMKM Terhindar dari Riba

Allah mensyariatkan jual beli dan mengharamkan riba (QS Al-Baqarah: 278)

Ada banyak dana hibah yang akhir-akhir ini ditawarkan oleh pemerintah atau lembaga penyandang dana kepada para aktivis gerakan masyarakat atau bahkan sayap organsasi kemasyarakatan. Misalnya eHibahBansos, telah melaporkan sedikitnya ada 282 peserta organisasi yang menerima kucuran dana hibah darinya. Masih ada lembaga lain yang turut menawarkan dana hibah seperti TIFA Foundation, sebuah yayasan yang bergerak dengan tema kesetaraan pada ruang partisipasi warga dan tata kelola ekonomi. 
 
Bagaimanapun juga, sebuah hibah yang dikucurkan oleh organisasi ini memiliki ruang amanah pengelolaannya dan penyalurannya. Ada yang memang dikucurkan khusus untuk membantu pertumbuhan UMKM (Unit Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah) atau bahkan hanya sebatas riset. 
 
Karena dana hibah merupakan dana amanah, maka ruang penyalurannya sudah pasti tidak boleh keluar dari amanah yang dimaksudkan. Karena penyaluran di luar amanah, risikonya adalah pengelola bisa masuk kategori khianat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 
 
آية المنافق ثلاث ، إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف ، وإذا اؤتمن خان
 
Artinya: “Tanda-tanda kemunafikan ada tiga, yaitu: ketika berbicara, ia berbohong, ketika berjanji ia mengingkari dan ketika dipercaya, maka ia berkhianat” (HR Bukhari dan Muslim).
 
Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah ibn Amru, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 
 
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
 
Artinya: “Empat pekerti, barang siapa ia memiliki ciri-ciri keempat-empatnya, maka ia termasuk orang munafik sejati. Dan barang siapa ia memiliki salah satu pekerti di antara keempatnya, maka ia termasuk memiliki satu bagian dari sifat kemunafikan, sampai ia benar-benar menanggalkannya, yaitu: seseorang bila dipercaya kemudian dia berkhianat, ketika berbicara ia berdusta, ketika berjanji ia mengingkari, dan ketika berselisih faham, ia berbuat curang” (HR Bukhari Muslim).
 
Karena hibah merupakan amanah, maka sudah selayaknya disalurkan sebagaimana mestinya agar kita selamat dari salah satu sifat yang telah disebutkan di atas. Karena bagaimanapun, penyalahgunaannya, sampai kemudian dikonsumsi, lalu tumbuh daging darinya, maka daging yang tumbuh dari perkara haram adalah wajib dihisab di neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: 
 
كل لحم نبت من سحت فالنار أولى به
 
Artinya: “Setiap daging yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka adalah yang lebih utama baginya” (HR Ahmad).
 
Bagaimanapun juga sebuah kerja pengelolaan memang pantas untuk mendapatkan ujrah (upah). Akan tetapi, hal yang dilarang adalah mengambil ujrah secara tidak dibenarkan oleh syariat. Ujrah yang benar adalah upah yang diperoleh dari hasil kerja dengan beban kerja yang jelas. Misalnya, dana hibah yang diperoleh dikelola dengan prinsip manajemen pengelolaan keuangan secara syariah, semacam Baitul Mâl wa al-Tamwîl (BMT). Dana yang dikucurkan ke anggota, tidak dilakukan dengan jalan meminjamkan langsung berupa uang yang dipungut tambahan atau dengan pengembalian yang lebih dengan disyaratkan di muka.  Setiap syarat adanya tambahan pada harta yang dipinjamkan dan ditetapkan di muka saat terjadinya akad, maka tambahan seperti ini adalah masuk kategori riba qardli, yaitu riba yang diperoleh dari hasil utang-piutang. Dan sebagaimana kita tahu, bahwa riba hukumnya disepakati secara ijma’ sebagai yang diharamkan. 
 
Apakah ada solusi terkait hal ini? Sudah pasti ada. Ada beberapa prinsip pengelolaan yang dibenarkan oleh syariat.
 
Pertama, Allah subhanahu wata’ala mensyariatkan jual beli dan mengharamkan riba (QS Al-Baqarah: 278). Karena yang disyariatkan adalah jual beli, maka sudah selayaknya cara ini yang dipilih dan diambil sebagai bagian dari kebijakan organisasi dalam penyaluran hibah. Misalnya, dengan jual beli ‘inah atau jual beli tawarruq. Caranya: anggota yang ingin memanfaatkan dana hibah tersebut diminta untuk membeli barang yang dimiliki oleh pengelola dengan harga tertentu. Misalnya, anggota diminta untuk membeli TV secara kredit ke pengelola. TV tersebut kemudian dipersilahkan untuk dijual ke tempat lain, atau dijual kembali ke pengelola secara cash. Selisih harga kredit dan harga cash merupakan laba yang boleh diambil, sebagaimana hal ini masyhur dalam pendapatnya Imam Malik radliyallâhu ‘anhu
 
Cara lain juga bisa diambil dengan jalan, pembeli diminta menjual barang yang dimilikinya ke pengelola. Misalnya sepeda motor. Sepeda motor akan dibeli oleh pengelola secara cash, dan uangnya langsung diserahkan ke anggota. Selanjutnya sepeda motor tersebut dijual lagi ke pengelola secara kredit dan diangsur selama 1 tahun. Jika jual beli cash berlangsung seharga 7 juta, kemudian jual beli kredit berlangsung seharga 8 juta, maka selisih 1 juta tersebut merupakan laba yang diperbolehkan oleh syariat, khususnya bila mengikut pendapat Imam Syafii radliyallâhu ‘anhu. Jual beli semacam ini dikenal sebagai jual beli ‘inah. 
 
Cara ketiga, yang masih masuk kategori jual beli adalah jual beli sistem sende (bai’ uhdah). Namun cara ini dirasa agak kurang tepat bila diterapkan untuk pengembangan UMKM, apalagi dengan objek penyaluran berupa masyarakat ekonomi lemah. 
 
Tiga mekanisme jual beli di atas, merupakan pola jual beli yang ada di dalam pendapat ulama madzahibul arba’ah (imam empat mazhab fiqih) dan setidaknya kita memiliki cantolan hukum. Lain halnya bila kita memakai cara-cara semacam: “Setiap anggota yang melakukan peminjaman sebesar 1 juta, dipungut tambahan kembalian sebesar 50 ribu.” Angka senilai 50 ribu ini adalah masuk unsur riba, disebabkan karena basis uangnya didasarkan pada akad utang-piutang.
 
Kedua, dan cara ini lebih umum dipakai dan dirasa tepat oleh penulis adalah dengan menerapkan sistem qiradl. Qiradl merupakan sistem yang dibangun atas dasar akad permodalan. Pihak pengelola berperan selaku yang memodali pengusaha UMKM dengan nisbah bagi hasil yang disepakati bersama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjamin keberkahan dari akad qiradl ini. Beliau bersabda dalam sebuah hadits marfu’ yang bersanad dari Al-Hasan ibn ‘Ali al-Khallal:
 
 ثَلَاثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ 
 
Artinya: “Tiga perkara yang didalamnya terdapat keberkahan, yaitu: “Jual beli dengan harga tunda (kredit), muqaradlah (berbagi keuntungan dari hasil permodalan), dan mencampur gandum merah dengan gandum putih untuk keluarga dan bukan untuk diperjualbelikan.” (HR Ibn Majah).
 
Qiradl identik dengan akad mudlarabah (bagi hasil). Akad ini juga dikenal dengan akad muqaradlah. Keberadaannya ditandai dengan mekanisme sebagai berikut:
 
1. Pengelola dana hibah berperan selaku pemodal

2. Pihak yang dimodali harus memiliki bidang usaha yang jelas dengan rincian kerja yang jelas, serta prospek pendapatan. 
 
3. Jumlah modal yang dibutuhkan disebutkan secara jelas oleh pihak yang dimodali
 
4. Nisbah bagi hasil disepakati secara bersama dan ditentukan berdasarkan hasil yang diperoleh dan bukan modal
 
5. Bila terdapat kerugian, maka kerugian ditanggung oleh yang memiliki modal
 
6. Pemilik modal berhak untuk melakukan pengawasan dan pembinaan ke yang dimodali.
 
Suatu misal, ada petani hendak menanam cabai. Luas lahan dan kebutuhan untuk pertanian sudah dirinci. Dalam hal ini, pemodal boleh melakukan survei terhadap track record pihak yang dimodali. Misalnya: 1) bagaimana ia memiliki kebiasaan menggarap lahannya dan merawat tanamannya, 2) luas lahan, 3) perhitungan matematis oleh pemilik modal sebagai bekal untuk melakukan tawar-menawar dengan pihak yang hendak dimodali terkait dengan kebutuhan penanaman dan perawatan. Setelah dilakukan negosiasi dan menghasilkan kesepakatan bersama, maka pihak pemodal baru mengucurkan modalnya ke pemilik lahan. 
 
Jadi, dalam akad qiradl ini, seolah pemodal berperan selaku orang yang hendak memberi amanah kepada pihak yang dimodali agar mengelola hartanya. Sudah barang tentu prinsip penyalurannya ini tidak boleh sembarangan karena menyangkut prospek ke depan atas modal yang dimilikinya. Pihak yang diberi modal pun, tidak boleh sembarangan dalam mengelola harta modal yang diserahkan kepadanya. Sembarangan dan kesembronoan dalam mengelola modal yang diamanahkan, merupakan bagian dari tindakan khianat. Wa ‘iyadzu billah
 
Pada saat panen, pihak pemodal dapat menerima kembali modalnya, ditambah dengan keuntungan berupa hasil dari pengelolaan setelah dibagi dengan petani. Model seperti ini sudah umum di kalangan petani di pedesaan, hanya saja banyak lembaga pembiayaan syariah yang belum merambahnya. Model seperti ini juga dikenal sebagai akad syirkah mudlarabah dan bisa diterapkan untuk objek permodalan yang lain, seperti mendirikan industri kecil, membuka toko atau warung dan semacamnya. Alangkah bagus sekali bila pola semacam diterapkan oleh lembaga yang memperoleh dana hibah guna menjaga perputaran yang terus menerus dari dana itu sehingga bermanfaat besar bagi masyarakat.
 
Sebenarnya masih ada banyak mekanisme lain yang bisa ditempuh demi pengelolaan dana hibah tersebut agar tidak habis sekali pakai saja. Misalnya bergerak di jalur pegadaian (rahn). Seyogyanya memang setiap organisasi yang mengajukan proposal dana hibah itu memiliki manajemen terkait dengan pengelolaan dana. Manajemen penyaluran dana yang didukung oleh cantolan hukum syariat adalah manajemen pengelolaan berbasis syariah. Manajemen ini menitiktekankan pengelolaan pada akad-akad yang dibenarkan oleh syariah, semacam jual beli, sewa menyewa, takâful (asuransi), syirkah (kemitraan). Untuk lebih praktisnya, agar terhindar dari akad - akad yang tidak dibenarkan syariat, maka mari dekati Lajnah Bahtsul Masail NU atau ahli fiqih setempat agar selamat dari jebakan transaksi riba. Wallâhu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur