Syariah

Surat Al-Baqarah Ayat 282 dan Sifat Pasar Berjangka

Jum, 2 Juli 2021 | 11:00 WIB

Surat Al-Baqarah Ayat 282 dan Sifat Pasar Berjangka

Pernahkah kita berpikir bahwa ada biaya sebesar 6.500 sebagai kelaziman dari akad pembayaran utang lewat mesin ATM atau transfer antarperbankan? 

Tahukah Anda, ternyata di dalam Al-Qur’an juga disinggung tentang transaksi berjangka? Transaksi berjangka itu adalah transaksi jual beli yang disertai keniscayaan adanya jeda waktu penyerahan antara barang dan harga. Bagaimana Al-Qur’an menyinggung masalah ini? Simak ulasan berikut!


Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282, Allah SWT telah berfirman:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ


Artinya,“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya. Hendaklah ia menulis. Hendaklah orang yang berhutang itu mengimla’kan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya,” (Surat Al-Baqarah ayat 282).


Ketika membaca ayat ini, ada perintah yang menarik dari Allah kepada para niagawan yang beriman dan bertaqwa, bahwa ketika melakukan akad muamalah yang niscaya ada jeda waktu yang menyertainya, maka hendaklah ia menulis. Tentu perintah menulis di sini, bukan suatu kebetulan semata. Ada rahasia di balik perintah syariat agar melakukan pencatatan transaksi tersebut. 


Setidaknya, ada beberapa hikmah dari perintah menulis ini, yaitu:


Tulisan dapat dijadikan sebagai alat bukti kecermatan


Tulisan yang dibuat dengan benar, tidak akan pernah berubah seiring adanya jeda antara waktu kejadian dan beberapa waktu ke depan saat catatan itu dipergunakan.


Umumnya manusia mudah lupa disebabkan daya ingatnya terbatas, namun dengan tulisan, ingatan yang terlupa tersebut bisa dikembalikan lagi ke dalam memori penulisnya.


Masih banyak lagi hikmah dari tulisan. Bahkan di dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Kitab Tarikh Baghdad wa Dzuyulih, sahabat Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: 


قيدوا العلم بالكتاب


Artinya, "Ikatlah ilmu dengan tulisan,” (Takrikh Baghdad wa Dzuyulih, juz X, halaman 48).


Perintah Nabi Muhammad SAW sudah barang tentu merupakan penghargaan akan betapa nilai pentingnya sebuah tulisan. 


Perintah Mencatat Transaksi dan Tabiat Pasar Berjangka

Di dalam teks Surat Al-Baqarah ayat 282 di atas, secara terang disampaikan adanya transaksi yang meniscayakan adanya al-ajal (jangka waktu). Transaksi yang disertai ajal ini, dalam fiqih dikenal dengan istilah akad bai’ al-ajal (jual beli tempo), jual beli salam (order), dan akad istishna’ (inden). Dalam konteks Syafiiyah, istishna’ sering juga disebut dengan akad bai’ ainin ghaibah maushufah fidz dzimmah. Inti dasarnya adalah sama, yaitu inden barang sehingga barangnya belum ada namun bisa ditunjukkan spesifikasinya.


Di era modern ini, salah satu transaksi yang disertai dengan jangka waktu ini, dikenal dengan istilah transaksi  berjangka. Tempat melakukan transaksi dikenal dengan istilah Pasar Berjangka. Pelaksanaan transaksinya sering kita sebut sebagai trading (niaga/tijarah).


Karena meniscayakan adanya jeda waktu penyerahan antara harga dan barang, yang mana barang tersebut terdiri atas surat-surat berharga (auraq al-maliyyah), maka karakter pasar berjangka ini sudah pasti berbeda dengan karakter pasar tradisional. Itu sebabnya, dalam pasar berjangka meniscayakan keterikatan dengan perintah mencatat transaksi, sebagai bagian dari mitigasi risiko kerugian (dharar) yang mungkin ditimbulkannya. 


Setidaknya, dengan mencermati adanya jangka waktu penyerahan harga dan barang, maka mitigasi risiko pasar berjangka itu meliputi beberapa hal, antara lain:


Efek samping terhadap biaya penyerahan harga dan barang.


Efek samping terhadap timbulnya pembengkakan biaya pada modal.


Efek samping terhadap timbulnya pembengkakan capaian keuntungan.


Menimbang adanya efek samping tersebut, maka itu sebabnya syariat juga melegitimasi sahnya akad jual beli kredit (bai’ al-taqshith) yang sudah barang tentu harga jadinya akan berbeda dengan jual beli secara kontan disebabkan adanya jeda jangka waktu penyerahan.


Untuk memudahkan memahami risiko pasar berjangka tersebut, berikut ini penulis hadirkan ilustrasi untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh transaksi berjangka di sekeliling kita adalah transaksi lewat aplikasi M-Banking dan ATM. 


"Suatu misal, Anda pinjam uang ke teman Anda, dan Anda diserahi duit secara kontan. Sebut misalnya uang itu adalah 100 ribu. Lalu teman Anda mengembalikannya dengan jalan melakukan transfer ke rekening Anda. Umumnya, biaya transfer antarrekening adalah 6.500."


Pernahkah kita berpikir bahwa ada biaya sebesar 6.500 sebagai kelaziman dari akad pembayaran utang lewat mesin ATM atau transfer antarperbankan? 


Biaya ini merupakan urf yang berlaku dalam transaksi transfer antar rekening perbankan tersebut, dan kadang luput dari perhitungan banyak pihak. Padahal, biaya tersebut secara zhahir bersifat menambah besaran pembayaran nominal utang. Iya, bukan?


Jika diputus memakai urf yang berlaku di pasar tradisional, maka akad di atas bisa dipandang sebagai riba al-qardli. Mengapa? Sebab pertukaran antara nilai utang sebesar 100 ribu, tidak sama dengan nominal nilai uang yang dikembalikan. Alhasil memenuhi pelanggaran terhadap illat wajibnya tamatsul (sepadan dalam nominal utang dan kembalian). Zhahirnya akad adalah uang "100 ribu" kes, namun ditukar dengan uang (100 ribu+6.500)." Sebuah nominal yang secara nyata menunjukkan ketidaksepadanan (tamatsul).


Namun, bila diputus dengan mengacu urf transaksi berjangka, maka akad di atas masuk kategori sah. Besaran uang 6.500, adalah bagian dari relasi tanggung jawab ganti rugi (dhaman) dari pihak yang utang ke pihak yang menghutangi. Sebab, untuk menarik uang 100 ribu dari mesin ATM, pihak yang menghutangi (muqridh) juga harus dipotong simpanannya karena terkena charge/biaya penarikan. Biasanya biaya ini adalah sebesar 3.500.


Belum lagi dengan biaya ganti rugi keringat untuk menuju ke mesin ATM. Malah, kaidah yang seharusnya berlaku adalah biaya (penarikan dan keringat) ini semestinya harus diganti rugi juga oleh pihak yang berhutang. Jadi, biaya itu mengalami total pembengkakan sebesar 10 ribu rupiah sehingga nominal kembalian sebesar 103.500 rupiah. Nah, iya, bukan?


Di Pasar Berjangka, adanya biaya yang timbul sebagai efek samping dari transaksi berjangka ini secara tidak langsung membutuhkan adanya pencatatan. Ada akad ganti rugi yang mesti berlaku dalam transaksi berjangka. Akad ini kemudian dikenal dengan istilah spread (biaya transaksi). 


Iya, kalau nominalnya sedikit sih nggak masalah. Kita umumnya merelakan saja. Apalagi dengan tetangga atau kawan baik. 


Namun, dalam tradisi pasar berjangka, yang mana hal itu harus terjadi secara berulang dan meniscayakan terjadinya pengeluaran sampingan, maka nominal itu menjadi wajib diperhitungkan sebagai langkah antisipasi terhadap kerugian.


Jangan-jangan dari sisi jual belinya, dan kasus niaganya, sebenarnya pihak tradernya untung. Namun, ternyata karena meniscayakan adanya pengeluaran akibat spread, nilai pengeluaran akibat spread ternyata lebih besar dari keuntungan yang didapat trader. Akhirnya, pihak trader tetap dipandang sebagai rugi (loss). 


Seorang niagawan sejati, dan bermental tajir, sudah barang tentu akan memperhatikan spread (biaya sampingan) itu. Dia akan menghitungnya dan mengalkulasinya dengan rinci, sebelum menyesal karena merasa dirugikan. Padahal aslinya bukan rugi niaganya, namun ongkosnya yang menghabiskan keuntungan yang seharusnya ia dapatkan. 


Mengalkulasi secara rinci, adalah bagian yang diperintahkan oleh Allah SWT dan disinggung dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 di atas. Allah SWT memang menyampaikan secara tekstual sebagai perintah “tulislah!”. Namun, karena konteks ayat menceritakan soal transaksi, maka niscaya juga terjadi pemaknaan lain, yaitu “Cermati! Teliti! Kalkulasi! Sertakan biaya-biaya lain sebagai pengeluaran!” Begitulah kira-kira aplikasinya di lapangan. Bagaimana menurut Anda?


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.