Syarat dan Rukun Akad Musaqah yang Perlu Diketahui Petani Penggarap
Jum, 22 November 2019 | 02:30 WIB
Muhammad Syamsudin
Kolomnis
Ia mengajak petani penggarap sebagai pihak lain untuk mengelola dan merawat tanaman, namun penggarap tidak punya tanah sendiri. Hasil panen kemudian dibagi berdua antara dua orang yang berakad tersebut. Seberapa besar bagian masing-masing, tergantung pada kesepakatan yang dibuat antara keduanya.
Inilah indahnya syariat Islam. Di samping memberikan jalan tolong-menolong, syariat juga menjaga hak masing-masing pihak agar roda kehidupan terus berputar. Menolong itu tidak harus dalam bentuk akad tabarru’ (sukarela) saja, kadang menolong juga dapat berbentuk memberi pekerjaan (produktif) kepada penggarap yang lemah secara ekonomi agar mereka tetap dapat menjaga kehormatannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا
Artinya, “Janganlah kalian jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan jangan pula kalian terlalu mengulurkannya (sangat pemurah). Nanti kalian bisa menjadi tercela dan menyesal!?” (Surat Al-Isra ayat 29).
Maka dari itu, agar unsur tolong-menolong dalam menjaga kemaslahatan ini terus bisa dibina, syariat memberi tuntunan mengenai syarat dan rukun tolong-menolong dalam bentuk mengadakan perjanjian musaqah. Syarat dan rukun ini ditetapkan dengan maksud besar yaitu tujuan syariat tetap bisa tercapai, dan kedua belah pihak yang terlibat perjanjian tidak ada yang merasa terzalimi (teraniaya).
Berikut ini adalah syarat dan rukun dari akad musaqah yang wajib diketahui oleh para petani. Simak penjelasannya!
Syarat dan Rukun Musaqah
Kesemua rukun ini juga terdapat di teks-teks fuqaha’ Malikiyah dan Hanafiyah. Tetapi, masing-masing dibedakan menurut dasar perinciannya. Kalangan Hanafiyah bahkan menyebut terdapat satu rukun saja, yaitu shighat akad (Badai‘us Shana-i’, juz VI, halaman 176). Namun, jika diuraikan, pada hakikatnya ia juga memenuhi kelima rukun di atas. Sampai di sini, kita jangan sampai rancu dalam memahaminya!
Pertama, Rukun Dua Orang yang saling berakad
Adapun kalangan Syafi’iyah menetapkan syarat bahwa pihak yang berakad wajib terdiri dari ahlut tasharruf, sehingga akad yang dibangun oleh ‘aqil namun belum mencapai usia baligh dihukumi sebagai tidak sah. Jika memaksa terjadinya akad musaqah, maka akad anak kecil jatuh pada wali atau orang yang mendapatkan amanah merawatnya sebagai bentuk menjaga kemaslahatan. (Lihat Mughnil Muhtâj, juz II, halaman 323).
Kedua, Shighat (lafal akad).
Ketiga, Obyek Akad yang berkaitan dengan Bidang Garap (jenis pohon)
Perbedaan pendapat juga terjadi pada jenis pohon, antara pohon yang berbuah dan tidak berbuah, pala, kurma hijau (ruthab) dan sejenisnya. Risiko dari perbedaan ini, melahirkan perbedaan pula beberapa syarat khusus yang berhubungan dengan kategori pohon yang boleh dijadikan akad. Pembaca disarankan untuk membaca kembali mengenai akad musaqah menurut kalangan ulama mazhab di kanal ekonomi syariah ini.
Keempat, Buah (at-tsimar)
1. Pemilik dan pengelola sama-sama berhak atas hasil panenan tersebut (isytirak). Tidak boleh salah satu antara keduanya merasa paling berhak, atau ada pihak ketiga yang ikut terlibat di dalamnya.
2. Bagian dari masing-masing harus diketahui secara bersama-sama dan harus bersifat maklum kadarnya (hitungannya), misalnya mendapat ½ dari hasil panen, atau ⅕ hasil panen, dan seterusnya.
3. Kebersamaan yang dibangun antara keduanya harus bersifat kebersamaan yang bersifat syuyu’ (sama-sama bergotong royong atau menanggung dalam keuntungan atau kerugian) dan bukan berdasarkan hasil penentuan terlebih dulu (ta’yin) atau persentase tertentu yang sudah diitung duluan. Misalnya, setiap kali panen, pihak pengelola langsung mendapatkan bagian dua juta. Pada unduhan yang kedua, juga menerima dua juta kembali, dan seterusnya. Akad seperti ini termasuk jenis akad ijarah yang rusak. (Raudlatut Thalibin, juz V, halaman 155).
Kelima, Bidang Garap/Pekerjaan (al-’Amal)
1. Pekerjaan pengelolaan dilakukan oleh ‘amil seorang, tanpa syarat dengan keterlibatan pemilik.
2. Tidak boleh ada syarat lain yang mengikat pengelola (‘amil) selain menjaga dan merawat kebun dan pohon yang sudah diserahkan kepadanya.
3. Pengelola menjaga dan mengelola kebun itu sendirian. Tidak boleh ada pengelola lain yang ikut mengelola kebun itu. (Raudlatut Thalibin, juz v, halaman 155).
Inilah syarat dan rukun musaqah itu. Para petani terutama penggarap harus memahami syarat dan rukun ini supaya pekerjaannya berkah. Mudah bukan menghafalkannya? Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semuanya! Wallahu a’lam bis shawab.
Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudhu’iyah–LBM PWNU Jawa Timur.
Terpopuler
1
Penjelasan Nuzulul Qur’an Diperingati 17 Ramadhan, Tepat pada Lailatul Qadar?
2
Khutbah Jumat: Ramadhan Momentum Lestarikan Lingkungan
3
Hukum Jamaah dengan Imam yang Tidak Fashih Bacaan Fatihahnya
4
Kisah Unik Dakwah Gus Mus di Pusat Bramacorah hingga Kawasan Lokalisasi
5
Jangan Keliru, Ini Perbedaan Nuzulul Qur'an dan Lailatul Qadar
6
194.744 Calon Jamaah Reguler Lunasi Biaya Haji, Masih Ada Sisa Kuota Haji 2024
Terkini
Lihat Semua