Syariah

Transaksi Giro Bank Syariah dari Sudut Akad Mudharabah

Rab, 22 November 2017 | 01:30 WIB

Transaksi Giro Bank Syariah dari Sudut Akad Mudharabah

Ilustrasi (via wordpress)

Pada tulisan yang lalu, penulis telah mengulas panjang lebar mengenai giro bank syariah menurut kacamata akad wadi’ah. Kesimpulan akhir dari tulisan sebelumnya menyatakan bahwa jika giro tidak dipandang sebagai barang titipan menurut kerangka akad wadi’ah, maka ada dua kemungkinan memandang posisi giro dalam bingkai fiqih pada bank syariah.

(Baca: Akad Giro Bank Syariah Ditinjau dari Aturan Fiqih)
Pertama, giro dianggap sebagai hutang (dayn). Dilemanya, pihak Bank juga memberikan uang kembalian (bonus) kepada nasabah karena uangnya telah ia gunakan untuk melakukan investasi sehingga menghasilkan keuntungan untuk perjalanan hidup bank syariah. Bonus ini dalam kacamata fiqih dipandang sebagai apa? Dipandang sebagai hadiahkah karena rasa terimakasihnya kreditor (bank) kepada debitor (nasabah), ataukah sebagai bunga?

Karena banyaknya bonus sudah ditentukan di muka ketika nasabah dan bank melakukan akad, maka tidak mungkin jika hal tersebut dianggap sebagai hadiah. Karena syarat utama hadiah dari orang yang dipinjami adalah tidak boleh ada ketentuan yang mengikat di depan. Semua hadiah dari peminjam kepada yang dipinjami, harus atas inisiatif sendiri dan bersifat sukarela serta tidak ada nisbah (rasio) ketetapan yang mengikat. Sebagaimana hal ini disinggung dalam hadits Abu Rafi’ yang meriwayatkan sabda baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً

“Berikan saja unta [terbaik itu] padanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam pengembalian hutangnya.”

Jika begitu, apakah bonus bank kepada syariah itu dipandang sebagai bunga? Jika hal itu adalah bunga, apa bedanya bank syariah dengan bank konvensional? Karena tidak asing lagi dalam literasi fiqih bahwa segala sesuatu yang memberi manfaat kepada pihak yang dihutangi adalah riba [كل ما جرى نفعا من المقرض فهو ربا]. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan:

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

“Setiap hutang yang muqridl (pemberi pinjaman) memberi syarat adanya tambahan [bagi peminjam], maka hukum tambahan tersebut adalah haram, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.”

Kesimpulan sementara adalah bahwa tidak mungkin transaksi giro dalam bank syariah dipandang sebagai akad qiradl (hutang-piutang). Dengan demikian, ada satu kemungkinan peluang kebolehan giro dalam perbankan syariah dipandang boleh menurut kacamata fiqih. Alternatif itu adalah akad mudharabah. 

Bagaimana jika Giro Dipandang sebagai Akad Mudharabah?

Bila seseorang diserahi sebuah tanggung jawab, maka ada dua kemungkinan peran tanggung jawab orang tersebut terhadap sebuah objek yang dipasrahkan kepadanya. Wujud tanggung jawab tersebut adalah jika bukan berperan sebagai آمن (orang yang diberi amanah), maka ia berperan sebagai ضامن (penanggung). Masing-masing peran ini memiliki perbedaan konsekuensi. 

Jika seseorang dipandang sebagai seorang yang diberi amanah (amin), maka konsekuensi logisnya adalah apabila terjadi itlaf (kerusakan) pada obyek yang dipegangkan kepadanya, maka ia tidak memiliki beban tanggung jawab mengganti rugi terhadap barang tersebut kecuali bila disebabkan unsur kesengajaan atau kesembronoan. Demikian juga dengan bank, bila ia dipandang sebagai “pihak yang diserahi amanah”, maka seharusnya tidak perlu adanya jaminan keamanan terhadap giro nasabah. Sebagaimana kaidah: 

الأمانات لاكفالة فيها

Tidak ada tanggungan (kafalah) dalam amanah (kepercayaan)

Kaidah lain yang sejalan adalah:

ليس على المستودع غير المغل ضمان

Seorang pemegang titipan (yang tidak lalai) tidak akan dinyatakan bertanggungjawab atas kerugian.

Namun faktanya, pihak perbankan berperan selaku penjamin keamanan dana nasabah. Jika begitu, ia bisa dipandang sebagai dlamin (penanggung). Apakah hal ini sesuai dengan syarat berlakunya akad mudharabah atau musyarakah?

Telah disebutkan dalam kitab at-Tadzhib fii Adillati Matni al Ghayati wa al Taqriib, bahwa terdapat 4 syarat dalam mudharabah: (1) modal yang diberikan berupa uang, (2) adanya izin dari pemilik modal terhadap yang menjalankan guna mentasharrufkan modal secara muthlak atau mengambil tindakan memutar modal sekira modal tersebut tidak rusak, (3) disyaratkan adanya pembagian nisbah rasio keuntungan yang ma’lum (diketahui bersama), dan (4) tidak dibatasi oleh masa/waktu.

Menilik dari syarat di atas, maka giro bisa dianggap sebagai modal. Adapun pihak bank berlaku sebagai mudlarib. Pemilik modal adalah nasabah itu sendiri. Sementara, bentuk pentasharufan bisa masuk dalam bagian al-madhrub ‘alaih. 

Karena sudah mendapat legalitas mutlak dari ‘aqidain, maka dengan mengikuti syarat tersebut, bank boleh melakukan kegiatan apa saja sebagai wujud tasharruf harta (giro), selagi usaha yang dijalaninya terindikasi aman. Namun, dalam perjalanan untung rugi adalah merupakan konsekuensi usaha. Tidak mutlak untung, akan tetapi juga harus siap menanggung kerugian. Sebagaimana kaidah:

الخراج  بالضمان

"Untung rugi harus siap ditanggung."

Pertanyaan yang mendasar, adalah bilamana terjadi kerugian. Apakah pihak bank boleh cuci tangan? Seharusnya, jika mengikuti syarat di atas, maka pihak bank tidak masuk dalam bagian penanggung kerugian, karena bentuk pentasharrufan adalah menjadi hak yang disepakati bersama antara kedua ‘aqidain, yakni antara nasabah dan bank. 

Jika demikian halnya, lantas apa bentuk dlawabith dan qawaid yang semestinya diikuti oleh pihak bank syariah, agar usahanya bisa dipandang sah secara syariat? Hal ini akan diuraikan pada ulasan-ulasan tulisan berikutnya. Insyaallah!


Muhammad Syamsudin, pegiat kajian fiqih terapan; pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua