Syariah

Waspada Beli Barang di Marketplace dan Media Sosial

Sel, 1 Desember 2020 | 15:45 WIB

Waspada Beli Barang di Marketplace dan Media Sosial

Jangan melakukan praktik jual beli yang menyimpan unsur ketidaktahuan terhadap barang, apalagi ketidakpastian!

Seseorang yang membeli barang sudah pasti berharap mendapatkan manfaat yang sesuai dengan barang yang dibelinya. Ini adalah normalnya akad jual beli itu dilangsungkan. Namun, dalam faktanya, ada beberapa mekanisme jual beli yang tidak berlangsung sebagaimana yang diharapkan dan menunjukkan ciri khas sebagai berikut:

 

Pertama, barang yang dibeli adakalanya diperoleh melalui sebuah mekanisme tertentu, sehingga hasil akhir pertukaran antara harga dan barang berlangsung tidak sesuai dengan normalnya, yakni tidak sebagaimana yang disepakati, atau bahkan melanggar ketentuan undang-undang.

 

Cakupan bidang permasalahan yang dimuat dalam wilayah ini adalah bersifat luas, mulai dari bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, hingga mengenai ganti rugi yang harus diterima oleh konsumen bila terjadi kerugian karena mengkonsumsi produk yang tidak sesuai.

 

Beberapa penyebab yang melatarbelakangi terjadinya kerugian dalam wilayah ini, antara lain: disebabkan karena (1) adanya kecurangan melalui penyembunyian aib (ghabn), (2) ketidaktahuan konsumen terhadap produk yang diperjualbelikan (jahalah), (3) kecurangan dalam timbangan dan takaran (ghabn al-fakhisy), (4) pengelabuan yang merupakan cabang dari ghabn, (5) spekulatif (gharar), (6) perjudian (maisir), dan lain-lain.

 

Di dunia modern, seiring banyaknya sistem jual beli yang berkembang, berbagai kecurangan ini umumnya bersifat disamarkan. Ada yang berdalih jual beli dengan disertai pencarian anggota, sebagaimana beberapa kasus praktik jual beli dengan sistem MLM. Akibat adanya janji reward yang besar kepada pembeli, perusahaan memproduksi barang yang diniagakan tidak sebagaimana kualitas yang bisa didapatkan dengan harga X untuk mendapatkan produk yang serupa di pasaran.

 

Suatu misal, perusahaan kosmetik. Harga kosmetik dikemas dalam satu paket, sebut saja paket A. Lalu ditawarkan ke konsumen dengan harga yang cukup tinggi, semisal hingga 1.5 juta rupiah.

 

Dari paket tersebut, pihak pembeli tidak memungkinkan untuk menjualnya kembali produk yang sudah dibelinya, karena harga yang mahal serta jumlah barang yang sedikit, serta keharusan mencari anggota.

 

Alhasil, barang tersebut tidak laku di pasaran sehingga tidak memiliki harga mitsil. Mengapa tidak memiliki harga mitsil? Sebab, pengertian utama dari harga mitsil, adalah jika sebuah barang memiliki padanan harga produk serupa di pasar dengan harga yang kurang lebih sama.

 

Karena tahu bahwa barangnya tidak laku di pasaran terbuka sebab persaingan dari produk serupa, maka produsen memperkenalkan solusi cara penjualannya, yaitu dilakukan melalui sistem jaringan sehingga mengharuskan pembeli produknya, melakukan praktik yang ditentukan perusahaan, bila ia ingin menjual ulang (reselling) terhadap produknya..

 

Harga yang tinggi, jumlah produk yang sedikit, dan penjualannya hanya bisa dilakukan dengan sistem jaringan semacam ini, sudah pasti memiliki makna lain yaitu adanya praktik pengelabuan. Pengelabuan yang dimaksud adalah adanya money game yang dibungkus dengan jual beli barang.

 

Kedua, barang yang dibeli diperoleh melalui sebuah mekanisme/cara-cara yang tidak adil dalam penetapan syaratnya.

 

Suatu misal, Si A hendak membeli produk tertentu. Dia sudah mengeluarkan uang. Ketika barang hendak diserahkan, ternyata ada banyak syarat yang sebelumnya tidak disebutkan oleh pihak penjual/produsen, sehingga menyebabkan rentannya barang yang dibeli itu menjadi tidak bisa diterima sesuai dengan pesanan.

 

Kerugian yang dialami konsumen dalam wilayah ini adalah peran pembeli/konsumen selaku korban promosi dan periklanan seorang produsen/penjual. Barang yang dibeli tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Alhasil, jenis kerugian kedua ini adalah berasal dari perilaku penjual/produsen.

 

Kasus-kasus semacam ini, tidak hanya terjadi dalam transaksi online ketika seorang penjual dan pembeli tidak bisa bertemu langsung di majelis akad. Bahkan di majelis jual beli secara langsung pun, hal itu juga sering terjadi.

 

Kita sering mendapati, adanya produk yang dijual murah dan tidak normal, sementara barang yang ditawarkan memiliki spesifikasi tinggi. Tentu praktik penawaran semacam ini adalah mencurigakan sehingga berpotensi pada timbulnya kerugian pada konsumen. Kerugian itu diakibatkan karena beberapa hal, yaitu:

 

Pertama, bisa jadi ada cacat yang disembunyikan oleh penjualnya. Untuk gambaran kasus sederhananya, adalah ibarat jual beli cassing (bungkus), sementara dalamannya merupakan barang lama. Atau, barang tersebut di dapat melalui jalan yang tidak benar, sehingga kerugian yang terjadi pada konsumen berlaku saat hendak mengurus perizinan. Praktik semacam ini umumnya terjadi pada praktik jual beli barang hasil pencurian atau tidak kejahatan serupa pencurian.

 

Kedua, terkadang harganya yang seolah murah, namun ternyata syarat di belakangnya seabreg, hingga tidak memungkinkan untuk dilanjutkan. Banyak contoh dalam kasus ini, bahkan bertebaran dipasarkan di media sosial. Ciri khasnya, adalah harga barang ditulis senilai seribu rupiah. Sementara itu barang yang dijual, umumnya di pasarkan mencapai nilai yang jauh dari harga itu, tanpa adanya peran akad jualah, atau perlombaan, dan sejenisnya. Sudah barang tentu, bila praktik semacam dilakukan oleh seorang konsumen, maka hal itu tentu merupakan kerentanan tersendiri, yaitu keberadaan syarat lain yang mengiringinya yang berujung harganya menjadi tidak tentu dan mahal melebihi harga pasaran.

 

Ketiga, terkadang produk dibungkus dalam suatu box, dengan dilabeli harga tertentu, namun isi dari box itu tidak ditunjukkan. Seperti beberapa pola jual beli Mistery Box yang ada di marketplace tertentu. Anda bisa browsing di internet. Akad yang menyertai pola jual beli semacam sudah masuk unsur keharaman, disebabkan karena memuat unsur spekulatif, judi, dan jahalah (ketidaktahuan). Sangat berbahaya bila masyarakat melakukan transaksi dengannya, karena hal itu seolah mendidik masyarakat untuk bermain spekulasi (untung-untungan). Sebuah adat dan tradisi yang tidak baik.

 

Solusi Keluar dari Jebakan

Semua yang dijelaskan di atas hanyalah sekelumit sampel mekanisme jual beli yang secara manfaat sangat rentan untuk diabaikan oleh penjualnya.

 

Untuk membentengi agar masyarakat tetap mendapatkan manfaat optimal dari barang yang dibeli sehingga sesuai dengan besaran uang yang dikeluarkannya, maka di sini penulis menyampaikan beberapa solusi yang mustinya kita pegangi secara kuat, yaitu:

 

Pertama, jangan melakukan praktik jual beli yang menyimpan unsur ketidaktahuan terhadap barang, apalagi ketidakpastian! Jika Anda tidak dapat mengetahui barang yang dijual secara pasti, atau mendapati harga yang di luar nalar, maka saat itu juga Anda pasang alarm kewaspadaan. Pasti ada jebakan di balik penawaran itu.

 

Kedua, solusi terakhir ini hendaknya dipedomani oleh setiap marketplace. Facebook, Instagram, Bukalapak, Shopee, Tokopedia, Lazada, dan sejenisnya perlu lebih selektif dalam menetapkan prasyarat barang yang boleh dijualbelikan dalam lapaknya. Perlindungan terhadap konsumen untuk mendapatkan manfaat optimal dari harta yang dikeluarkan harus senantiasa bisa dijamin oleh beberapa marketplace tersebut.

 

Ketiga, hendaknya peran aktif Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia mulai melirik beberapa mekanisme jual beli yang merugikan konsumen di dunia digital. Sikap proaktif lembaga perlindungan konsumen ini sangat diperlukan dalam menyikapi fenomena yang riil di dunia digital, namun merugikan konsumen ini.

 

Keempat, hendaknya masyarakat peka terhadap fitur yang disajikan oleh sejumlah marketplace. Jika mendapati adanya jual beli yang mencurigakan, setidaknya dia bisa memakai sarana “laporkan” sebagaimana yang disediakan oleh marketplace. Tujuannya, selain agar Anda sendiri tidak terjebak, konsumen lain juga perlu diedukasi melalui pemanfaatan fitur tersebut

 

Demikian tulisan singkat ini, semoga bermanfaat dalam mensupport perlindungan konsumen. Bagaimanapun juga, memakan harta orang lain secara batil, adalah sebuah tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan oleh syariat. Mencegahnya sejak dini, merupakan langkah yang tepat guna mengantisipasi dampak kerugian besar lainnya.

 

Berikut ini penulis sertakan sebuah tangkapan layar terhadap sejumlah praktik haram dan berbahaya bagi konsumen dari salah satu marketplace ternama di Indonesia. Hampir semua marketplace mengizinkan pelapak menjual "kotak misteri". Jauhi praktik terlarang semacam ini, jika Anda berinteraksi dengan marketplace tersebut!

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur