Syariah

Pengguna Kursi Roda Dilarang Masuk Masjid?

Sab, 6 Juli 2019 | 15:15 WIB

Pengguna Kursi Roda Dilarang Masuk Masjid?

Ilustrasi (news.de)

Di Indonesia sebagian dari kita tentu pernah mendengar atau membaca berita tentang penyandang disabilitas pengguna kursi roda yang ditolak masuk masjid atau dilarang menaiki karpet shalat di dalamnya. Peristiwa ini sudah beredar di sejumlah media. Kasusnya pun tidak hanya sekali. 
 
Sebagian pengurus ta'mir masjid berdalih bahwa kursi roda yang dibawa bisa saja membawa najis dari luar. Demi menjaga kesucian lantai atau karpet masjid, penyandang disabilitas pun terpaksa ditahan di luar atau dipersilakan masuk dengan catatan: tanpa membawa kursi roda, atau kursi roda tak boleh menyentuh karpet.
 
Peristiwa ini pun memancing kontroversi. Pergunjingan di masyarakat menyentuh isu diskriminasi layanan terhadap kelompok berkebutuhan khusus. Pengurus masjid dianggap tidak empatik. Masjid yang seharusnya milik umat bersama terkesan tidak ramah kepada penyandang disabilitas.
 
Bagaimana sebenarnya hukum Islam mencermati problem ini? 
 
Mencermati gejala di atas, setidaknya ada dua isu pokok yang mesti dijelaskan. Pertama, perihal diskriminasi--bagaimana Islam menempatkan kaum difabel atau penyandang disabilitas? Kedua, ihwal status kesucian kursi roda--bagaimana sebaiknya kita menghukumi sesuatu yang belum jelas suci atau najisnya?
 
Kaum Difabel di Mata Islam
 
Tentang persoalan pertama, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU yang digelar pada 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, sudah memberi penjelasan yang cukup gamblang.
 
Dalam literatur fiqih terdapat beberapa istilah yang mengarah kepada penyandang disabilitas atau difabel. Seperti syalal (kelumpuhan) yaitu kerusakan atau ketidakberfungsian organ tubuh, al-a’ma (orang buta), al-a’raj (orang pincang), dan al-aqtha’ (orang buntung). 
 
Islam tak memandang penyandang disabilitas itu secara negatif. Islam memandang hal itu sebagai ujian. Pertama, ujian bagi yang penyandang disabilitas, apakah yang bersangkutan bisa sabar atau tidak. Kedua, juga ujian bagi pihak lain, apakah mereka memiliki kepedulian pada penyandang disabilitas atau tidak.
 
Bahkan, dalam perspektif Islam, orang-orang dengan sejumlah keterbatasan itu dinilai sebagai sumber kekuatan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 
 ابَغُوْنِي الضُّعَفَاءَ ، فإنما تُرْزَقُوْنَ وَ تُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ 
 
“Carilah untuk-ku orang-orang yang lemah di antara kalian. Karena kalian diberi rezeki dan kemenangan karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian," (HR. Abu Dawud).
 
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلا بِضُعَفَائِكُمْ
 
“Kalian diberi kemenangan dan rezeki karena membantu orang-orang yang lemah di antara kalian," (HR. Bukhari).
 
Terlebih mereka menyandang disabilitas bukan atas kehendaknya melainkan sebagai karunia Allah. Karena itu, dalam perspektif Islam, menghargai penyandang disabilitas adalah menghargai ciptaan Allah. Mereka punya hak untuk dihormati, dihargai. Artinya, seperti manusia lain, penyandang disabilitas juga memiliki karamah insaniyah (martabat kemanusiaan). Allah berfirman dalam Al-Qur’an (walaqad karramnâ banî  âdam).
 
Penyandang disabilitas harus bebas dari tindakan tak manusiawi. Dalam UU No. 19 tahun 2011 disebutkan bahwa setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
 
Soal Najis Kursi Roda
 
Bukankah kursi roda yang dibawa ke mana-mana itu potensial membawa najis? Yang patut dicatat dari pertanyaan ini adalah kata "potensial" alias mungkin. Artinya, status najis baru berada di level dugaan: bisa benar-benar najis, bisa juga tidak. Ada kaidah fiqih yang penting disimak:
 
الْأَصْلُ الْعَدَمُ
 
"Hukum asal (sesuatu) adalah dianggap tidak ada." 
 
Poin pokok dari kaidah ini adalah: status apa pun belum bisa disematkan kepada sesuatu, selama belum ada bukti meyakinkan tentang keberadaan status itu. Keraguan atau kesimpangsiuran yang masih terjadi membuat status baru belum sah diberikan, dan mesti dikembalikan status asalnya. Misalnya, seseorang memilik air suci dalam sebuah bak kamar mandi, tapi keesokan harinya ia ragu apakah suci atau najis, maka hukum air dikembalikan pada status suci karena hukum asal air adalah suci.
 
Kaidah fiqih lain yang senapas dengan kaidah tersebut adalah:
 
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
 
"Fakta (hal yang sudah diyakini terjadi) tak bisa dihilangkan sebab praduga."
 
Dalam kasus kursi roda, kita tak bisa memvonis kursi roda itu membawa najis hanya berdasarkan praduga, tanpa melihat benar-benar ada najis di sana. Sepanjang bukti itu masih simpangsiur atau meragukan, status hukum dikembalikan pada hukum asal, yakni suci. Apalagi bila pengguna kursi roda diketahui sebagai pribadi yang menjaga kebersihan dan tak biasa melintasi jalan yang sarat kotoran dan benda najis lainnya.
 
Bagaimana bila roda-roda itu memang terkena lumpur di jalan? Atau jelas-jelas terkena genangan air hasil luapan dari got (yang diyakini najis)?
 
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali menjelaskan:
 
  يُعْذَرُ مِنْ طِيْنِ الشَّوَارِعِ فِيْمَا يَتَعَذَّرُ الإِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا
 
"Percikan lumpur di jalan karena normalnya memang sulit menghindarkan diri dari kondisi itu adalah ditoleransi," (Imam al-Ghazali, al-Wajîz fî Fiqh Madzhabil Imâm asy-Syâfi'î, hal. 62).
 
Bahkan, Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Al-Aziz Syarhul Wajiz menyatakan, seandainya percikan tersebut diyakini najis pun tetap masih ma'fû (dimaafkan) selama hanya sedikit. Pandangan ini menunjukkan bahwa Islam memang menghendaki kemudahan. Hal-hal yang dirasa merepotkan dalam hal ibadah ditoleransi--tanpa meremehkan sama sekali keutamaan menjaga kesucian.
 

Senada, Ibnu Hajar al-Haitmi secara tegas berpendapat ada keringanan bagi najis di jalan raya sekalipun najis anjing karena umumnya hal tersebut memang susah dihindari.

 

وَعَنْ طِيْنِ الشَّارِعِ الذِّي تُيُقِّنَ نَجَاسَتُهُ وَإِنِ اخْتَلَطَ بِنَجَاسَةٍ مُغَلَظَّةٍ لِعُسْرِ تَجَنُّبِهِ وَ إِنَّمَا يُعْفَى عَمَّا يَتَعَذَّرُ أَيْ يَتَعَسَّرُ الْاِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا

 

“Dimaafkan keberadaan tanah jalan raya yang diyakini najis, sekalipun telah bercampur dengan najis berat (seperti najisnya anjing dan babi) sebab biasanya hal tersebut sulit dihindari. Ditoleransi semata-mata karena alasan uzur ini, yakni ketika susah untuk mencegahnya” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim ‘ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah [Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1971], h. 113).

 

Hanya saja, menurut al-Haitami, toleransi ini bersifat dinamis, mengikuti letak dan waktu najis itu melekat. Ketika kondisi alam atau musim menyulitkan seseorang menghindari najis maka ia dimaafkan. Begitu pula ketika najis itu terletak di kaki atau ujung pakaian yang potensi kotornya memang sangat tinggi. Namun, hal berbeda saat najis menempel di lengan baju dan tangan, tidak ada toleransi kecuali ia dalam kondisi sulit menghindarinya. Yang mesti dicatat, ini adalah kasus tanah yang tercampur dengan najis, bukan najis itu sendiri. Bila tampak jelas, najis mesti dibuang dan disucikan. Tapi bila bercampur dengan tanah jalanan—apalagi sekadar menduga-duga—maka tanah itu suci seperti sedia kala (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim ‘ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 113).

 
Alhasil, sikap bijak ketika mendapati penyandang disabilitas pengguna kursi roda adalah memberi kelonggaran kepada mereka dari ketatnya aturan yang bisa menyulitkan kondisi fisiknya. Karena Islam sendiri memberikan toleransi atas keterbatasan-keterbatasan tersebut. Kita tidak mungkin memperlakukan pengguna kursi roda layaknya orang kebanyakan. Meminta mereka untuk berpindah kursi, turun ke karpet shalat, atau membatasi langkah mereka masuk ruangan, bisa jadi bukan hanya merepotkan tapi juga menimbulkan perasaan terhina.
 
Lebih bagus lagi bila pengurus masjid setempat menyediakan fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas sehingga akses layanan untuk beribadah secara maksimal dapat terpenuhi, misalnya penanda khusus, area khusus, tangga khusus, atau tempat wudhu khusus yang disediakan untuk mereka yang memang berkebutuhan khusus. Masjid yang ramah bagi kaum difabel penting diwujudkan karena hak atas fasilitas masjid bukan monopoli kelompok tertentu saja.
 
Bagi pengguna kursi roda pun demikian. Kendatipun banyak rukhshah (keringanan) soal najis, seyogianya mereka tetap menjaga kebersihan diri dan perangkat yang dibawanya, mengambil posisi yang sekiranya tak mengganggu orang lain, dan sikap bijak lainnya. Yang demikian akan lebih mempertegas kelayakan atas hak-hak mereka untuk memperoleh layanan berbeda.
 
Allah menciptakan manusia secara beragam dan unik, baik secara sosial maupun fisik. Semua tercipta dengan sengaja atas rahmat-Nya yang mahaluas. Keunikan-keunikan tersebut bukan untuk mempertajam perselisihan, melainkan membuka terwujudnya sikap saling menunjang, saling melengkapi, dan saling membantu satu sama lain. Wallahu a'lam. (Mahbib Khoiron)