Syariah

Haji Mabrur Itu Hijrah dari Hoaks dan Ujaran Kebencian

Ahad, 28 Juli 2019 | 02:10 WIB

Sebutan “Pak haji” dan “Bu haji” memiliki tempat tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Sebutan keduanya menuntut seorang yang disebut “pak haji” atau “bu haji” untuk bersikap lebih baik di Tanah Air sepulang melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Tuntutan ini oleh orang sekarang diwakili dengan kata “hijrah.”
 
 
Tuntutan itu muncul antara lain disebabkan oleh kata kunci “mabrur” yang kerap dilekatkan pada ibadah haji dengan ganjaran surga. Dari mana asal kata mabrur?

Kata “mabrur” dapat ditemukan pada hadits Rasulullah SAW riwayat Imam Bukhari dan An-Nasai. Semua riwayat itu akan disebutkan di bawah ini berikut pengertiannya.

Riwayat Imam Bukhari menyebutkan redaksi haji mabrur sebagai berikut:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Artinya, “Tidak ada balasan (yang layak) atas ibadah haji mabrur selain surga,” (HR Bukhari).

Dengan kalimat serupa, riwayat An-Nasai menyebutkan sabda Rasulullah SAW sebagai berikut :

الْحَجَّةُ الْمَبْرُورَةُ لَيْسَ لَها جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

Artinya, “Tidak ada balasan atas ibadah haji selain surga,” (HR An-Nasa’i).

Lalu apa kaitan haji mabrur dan hijrah dari penyalahgunaan media sosial yang belakangan ini muncul menjadi problem serius di Indonesia?

Hubungan haji mabrur dan hijrah dari penyalahgunaan media sosial disebutkan oleh Rasulullah pada riwayat Al-Hakim dan Abdurrazzaq yang mengharuskan jamaah haji untuk berbagi makanan dan menjaga ujaran.

Hal ini terungkap dari percakapan Rasulullah dan sahabatnya perihal wujud haji mabrur.

قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: "إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَطَيِّبُ الكَلَام ِ

Artinya, “Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Memberikan makanan dan bercakap yang baik,’” (HR Al-Hakim).

Pada riwayat Abdurrazaq, wujud haji mabrur dalam keseharian adalah berbagi makanan dan meninggalkan percakapan.

قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: "إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَتَرْكُ الكَلَام ِ

Artinya, “Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Memberikan makanan dan meninggalkan percakapan,’” (HR Abdur Razzaq).

Syekh Ibnu Hajar mengatakan bahwa “meninggalkan percakapan” tidak dipahami sebagai puasa bicara atau berhenti bicara sama sekali bagi jamaah haji, tetapi percakapan dan pembicaraan yang mengandung maksiat, (Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Hasyiyah Ibni Hajar alal Idhah, [Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun], halaman 9).

Ibadah haji menuntut mereka yang telah melaksanakannya untuk berhijrah atau hidup lebih baik dari sebelumnya dengan bertambahnya ketaatan kepada Allah.

Yang perlu diperhatikan, penambahan dan peningkatan ketaatan kepada Allah bukan berarti penambahan amal ibadah yang menjadi tahap kedua ketaatan, tetapi hijrah dari dosa dan larangan agama sebagai bentuk ketaatan kepada Allah pada tahap pertama.

وهو ان المدار هنا على مزيد الطاعة وهو حاصل بتجنب المعصية

Artinya, “Semua pengertian tentang mabrur berputar pada penambahan ketaatan kepada Allah. Hal ini dapat terwujud dengan menjauhi maksiat,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Hasyiyah Ibni Hajar alal Idhah, [Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun], halaman 9).

Dari pelbagai keterangan ini dapat ditarik simpulan bahwa haji mabrur dalam konteks kekinian dapat menjadi semangat untuk mengisi media sosial dengan konten positif yang mencerahkan, inspiratif, dan menyegarkan tanpa mengandung hoaks, fitnah, ujaran kebencian, dan sentimen-sentimen SARA.

Dengan kata lain, haji mabrur dapat menjadi energi positif dan spirit hijrah dari hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian yang dapat membawa mafsadat secara pribadi, meretakkan hubungan sosial, dan mengancam keutuhan NKRI. Wallahu a’lam. (Alhafiz K)