Di madrasah tersebut diajarkan berbagai keilmuan, mulai dari syariah, ilmu kalam, hingga tasawuf kelas berat. Para pengajarnya pun bukan orang sembarangan. Pihak kerajaan kala itu memastikan betul bahwa para mahaguru yang aktif di sana adalah orang-orang mumpuni. Imam Abu Ishaq asy-Syirazi, Imam Abu Hamid al-Ghazali, dan Imam Haramain adalah tiga tokoh yang pernah mendapat kesempatan menduduki posisi prestisius tersebut.
(Baca juga: Detik-detik Wafatnya Imam Al-Ghazali)
Namun demikian, seperti ulama-ulama kaliber umumnya, mereka yang menjadi guru besar di Madrasah Nidhamiyah tak serta merta menunjukkan perubahan sikap yang menonjolkan diri. Di antara mereka bukan tak pernah terjadi perbedaan pemikiran, namun semuanya disikapi dengan penuh kedewasaan dan rendah hati. Adu argumentasi tentu sering terjadi, tapi saling memuji dan berempati juga menjadi kebiasaan mereka.
Pernah suatu kali Imam asy-Syirazi menyanjung Imam Haramain dengan pernyataan, “Tuan adalah imamnya para imam.” Namun, di lain kesempatan Imam Haramain yang juga guru Imam al-Ghazali ini justru tak sungkan menuntun hewan tunggangan Imam asy-Syirazi. Demikian diceritakan kitab Irsyâdul Mu’minîn karya Muhammad Isham Hadziq.
Cerita lainnya adalah tentang ketawadukan Imam Abu Bakr asy-Syasyi, penerus Imam Abu Ishaq asy-Syirazi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam memimpin Madrasah Nidhamiyah. Jabatan baru ini sesungguhnya menunjukkan bahwa Abu Bakr asy-Syasyi telah meraih capaian tertinggi secara formal di dunia keilmuan. Tapi sepertinya prestise itu hanya ada di benak orang-orang. Abu Bakr asy-Syasyi sendiri tak merasa layak menggantikan para pendahulu yang juga gurunya tersebut.
Ulama berjuluk fakhrul islam (kebanggaan Islam) ini selalu menampilkan rasa hormat dan pengagungan yang luar biasa tiap menyebut nama Imam Abu Ishaq asy-Syirazi dan Imam al-Ghazali. Kadang ia menangis kala duduk di atas mimbar ajar sembari mengungkapkan kekurangan-kekurangannya dibanding guru-gurunya. Padahal, pemuka ulama syafi’iyah di Iraq di zamannya ini memiliki banyak karya dan diakui kealimannya oleh para ulama lain.
(Baca: Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub)
Begitulah keindahan hubungan para ulama terdahulu, bahkan saat mereka “distratifikasi” dengan relasi guru-murid. Mereka bersaing dalam mendalami ilmu tapi di saat yang sama seperti sedang berlomba berendah hati. Mereka mengerti bahwa ilmu bertalian erat dengan akhlak, bukan semata soal melimpahnya hafalan atau kepiawaian dalam berdebat. Para ulama itu jauh dari karakter ingin terlihat paling menonjol, mencapai posisi duniawi tertentu, apalagi menjatuhkan orang lain. (Mahbib)
Terpopuler
1
Apa Itu Dissenting Opinion dan Siapa Saja Hakim yang Pernah Melakukannya?
2
Khutbah Jumat: Inspirasi Al-Fatihah untuk Bekal Berhaji ke Baitullah
3
Harlah Ke-74: Ini Asas, Tujuan, dan Lirik Mars Fatayat NU
4
Kajian Lengkap Kriteria Miskin bagi Pekerja dalam Bab Zakat
5
3 Hakim Nyatakan Dissenting Opinion, Paslon 01 dan 03 Terima Putusan MK
6
Kasus DBD Melonjak, Berikut Cara Pencegahannya Menurut Dokter
Terkini
Lihat Semua