Termaktub kisah dalam kitab Nihâyatul ‘Izzi wa Syarâf karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani bahwa suatu ketika ada seorang ayah yang menasihati kedua anaknya,
"Wahai kedua anakku, kini engkau telah beranjak dewasa. Namun, dirimu sama sekali belum melihat dunia luar. Maka dari itu berkelanalah, wahai putraku, hingga engkau mendapatkan pengalaman yang bermanfaat bagi kehidupanmu kelak."
Kedua putra tersebut lantas bergegas untuk mempersiapkan pengembaraanya. Setelah berpamit dengan ayah mereka, keduanya berpisah di ujung jalan desa. Ya, mereka tidak mengembara bersama. Mereka lebih memilih berpisah, menentukan destinasi sesuai kehendak hati.
Kini lega sudah hati sang ayah meski awalnya agak berberat hati harus terpisah dengan kedua buah hati. Namun baginya lebih penting melepaskan anaknya untuk berkelana mengarungi samudera kehidupan luar sana yang tentu bermanfaat kelak bagi mereka.
Tak terasa sepuluh tahun berlalu. Sesuai waktu yang telah disepakati, mereka bersama-sama kembali ke hadirat sang ayah yang telah menanti. Setelah melepas rindu dan berbasa-basi, sang ayah pun mulai menyodorkan pertanyaan inti,
"Wahai putraku yang kusayangi. Apakah yang engkau dapat selama satu dekade ini?" tanya sang ayah penuh tatapan dalam.
Salah satu dari mereka mulai angkat bicara,
"Wahai ayah yang sangat hamba hormati. Semenjak langkah kakiku tak terlihat oleh pandanganmu. Hamba memutuskan untuk pergi belajar ke pesantren kepada seorang guru. Alhamdulillah, selama itu hamba berhasil meringkas beberapa pelajaran yang telah diajarkan. Ini ayahanda," terang sang anak sambil menyerahkan beberapa tumpuk buku ringkasannya.
"Maha suci Allah yang telah menuntunmu ke jalan ilmu, wahai putraku. Semoga ilmumu bermanfaat kelak bagi pribadimu, keluarga dan masyarakat di sekitarmu," doa sang ayah.
"Lantas, bagaimana dengan dikau wahai putraku?" tanya ayah kepada anak yang satunya.
"Wahai ayahku, selama sepuluh tahun ini, aku memutuskan untuk tahannus, menyepi beribadah kepada Allah di sebuah goa. Alhamdulillah, baru berselang tiga hari Allah telah memberiku anugerah yang tak terkira."
"Apa itu wahai anakku?" Belum sampai anaknya selesai menjelaskan, sang ayah terburu memotong penjelasan anaknya akibat keingintahuan yang begitu mendalam.
"Ya, baru saja tiga hari aku berdiam diri di gua itu. Tiba-tiba ada seekor kadal emas yang berkilauan sedang berdiam diri di hadapanku. Ia begitu indah nan menarik pandanganku. Besar firasatku bahwa ini adalah karunia yang Allah berikan kepadaku."
"Aku lantas mengambilnya. Namun, ku pikir rasanya aku akan kerepotan jika harus memeliharanya hidup-hidup. Sedangkan, niatku bertapa di dalam gua adalah agar aku dapat khusyuk beribadah kepada Allah ta'ala semata."
"Akhirnya, aku awetkan saja kadal emas itu. Setelah aku menghilangkan nyawanya, lantas aku jemur bangkai kadal itu hingga mengering dan tak berbau. Setelah itu kutali ujung tubuhnya dengan kalung yang kini terlilit di leherku. Ini dia ayah," terang anak satu itu sambil menunjukkan kalung yang bergelantung di lehernya.
"Astaghfirullah…." seru sang ayah.
Alih-alih sang ayah terpukau bangga akibat pencapaiannya selama mengembara. Sang ayah justru bermuram durja sambil memegang kepala. Anaknya begitu bingung tiada tara. Adakah yang salah dengan 'kisah hebat' yang dialaminya. Ia pun segera bertanya pada ayahnya,
"Apakah yang membuatmu bersedih, wahai ayahanda?"
"Bagaimana aku tidak kecewa wahai putraku. Apakah engkau tidak tahu, bahwa sesungguhnya bangkai itu najis hukumnya. Sedang engkau, selama pertapaanmu di goa sana, dengan bangga mengalungkan barang najis itu dan mengira bahwa itu adalah karunia dari Allah ta'ala," sang ayah begitu terpukul.
"Lantas bagaimanakah ibadahku sang ayah? Kukira dengan menyepi dan beribadah saja. Allah akan memberiku karunia yang luar biasa," kaget sang anak, cemas tak karuan.
"Ketahuailah wahai anakku. Wajib bagimu untuk mengganti seluruh ibadah shalat yang engkau lakukan setelah engkau menggunakan kalung itu, selama sepuluh tahun ini. Karena tidaklah sah ibadah seseorang ketika ia membawa najis dalam ibadahnya," terang sang ayah dengan wajah yang penuh iba.
"Dan ketahuilah satu hal lagi anakku. Berpindahlah engkau ke jalan ilmu terlebih dahulu, sebelum engkau mengarungi sisi kehidupan yang lainnya di kemudian kelak. Karena, sebaik-baiknya bekal kehidupan adalah ilmu bermanfaat yang juga diamalkan," pesan sang ayah di akhir perbincangan, sedang sang anak pun tertunduk malu sembari sesenggukan menahan sesal nan malu.
Memang ilmu merupakan bekal pertama dan utama dalam menjalani kehidupan. Bahkan sering sekali ulama salaf menyitir sebuah maqalah Arab dalam menggambarkan pentingnya ilmu:
فان فقيها عالما متورعا أشد على الشيطان من ألف عابد
“Sesungguhnya seorang faqih (ahli ilmu fiqih) nan berhati-hati itu lebih sulit bagi setan untuk menggodanya dibandingkan dengan 1000 hamba yang rajin beribadah.”
Wallahu a'lam.
(Ulin Nuha Karim)
Dikisahkan oleh Pengasuh Pesantren SIrojuth Tholibin Brabo, Grobogan, Jawa Tengah dalam salah satu momen tausiah.