Hikmah

Belajar Mengakui Keunggulan Lawan Politik dari Muawiyah

Sel, 9 Oktober 2018 | 00:00 WIB

Tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan. Begitu lah adagium yang berkembang di dalam masyarakat. Apapun dilakukan untuk menyerang lawan politiknya. Entah itu memfitnah, menyebar hoaks, atau pun mengaburkan fakta. Asal dirinya dan kelompoknya menang dan dipandang baik oleh masyarakat.   

Baginya, lawan politik selalu salah. Apapun yang dilakukan pasti tidak ada bagusnya. Tidak jarang mereka selalu menafikan keunggulan dan keutamaan lawan politiknya. Bahkan tidak segan-segan membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

Pertarungan sengit antar elit politik tidak hanya berlangsung pada hari-hari ini saja. Pada era sahabat Nabi pun juga ada perselisihan politik yang tajam diantara mereka. Salah satunya apa yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Keduanya terlibat friksi yang tajam hingga akhirnya terjadi lah Perang Shiffin. Perang saudara antar sesama umat Islam. 

Tidak lain perang tersebut disulut faktor kekuasaan. Pada saat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat, banyak gubernur –yang dulunya diangkat Khalifah Utsman- dicopot. Para gubernur yang diganti tersebut tersebut tidak terima. Akhirnya mereka membelot dan menguatkan barisan di bawah komando Muawiyah bin Abu Sufyan. 

Keadaan semakin runcing hingga perang saudara menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Banyak korban berjatuhan akibat perang tersebut. Yang lebih menyedihkan, timbul kebencian diantara kedua kubu. Keduanya juga saling menjelekkan dan menganggap yang lainnya jelek.

Namun demikian –terlepas dari segala kontroversinya, kita bisa belajar dari Muawiyah bin Abu Sufyan tentang bagaimana mengakui keunggulan dan keutamaan lawan politiknya, Ali bin Abi Thalib. Dalam buku Islamic Golden Stories: Tanggung Jawab Pemimpin Muslim, dikisahkan bahwa suatu ketika Muawiyah berusaha menjelek-jelekkan Ali bin Abi Thalib di hadapan Adiy bin Hatim. Perlu diketahui bahwa anak-anak Adiy bin Hatim berada di pihak Ali bin Abi Thalib dan gugur pada saat Perang Shiffin melawan Muawiyah.

“Sejatinya Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib) berlaku tidak adil kepadamu. Ia menempatkan anak-anakmu di barisan depan, sedangkan anak-anaknya (Hasan dan Husein) ditempatkan di barisan belakan,” kata Muwaiyah menghasut Adiy bin Hatim agar membenci Ali bin Abi Thalib.

Jawaban Adiy bin Hatim tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Muawiyah. Adiy malah menyebut dirinya lah yang tidak adil karena tidak ikut berperang di barisan Ali. Tidak cukup sampai itu, Adiy juga membeberkan beberapa keunggulan dan keutamaan Ali bin Abi Thalib di hadapan Muawiyah. Disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang adil, tegas, berpengetahuan luas, arif, sederhana, menghormati orang yang taat, dan mengasihi yang miskin. Ali bin Abi Thalib juga dinilai sebagai orang yang berpandangan jernih, membenci kehidupan yang berlebihan, dan tanggap terhadap rakyatnya.    

Awalnya Muawiyah berencana untuk menghasut Adiy bin Hatim agar mendengki Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, setelah mendengar berbagai macam testimoni dari Adiy bin Hatim tentang Ali bin Abi Thalib, Muawiyah tidak kuasa untuk menitikkan air mata. Akhirnya, ia membenarkan apa yang disampaikan Adiy bin Hatim tersebut.

“Kiranya Allah mengasihi Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib). Dia memang seperti yang engkau kemukakan,” kata Muawiyah dengan isak tangis mengakui keutamaan dan keunggulan Ali bin Thalib. (A Muchlishon Rochmat)