Hikmah

Cara Kiai Fattah Tambakberas Atasi Santri Nakal

Sen, 5 Juni 2017 | 08:00 WIB

Sebagai lurah di Pondok Induk Tambakberas, Umar termasuk santri yang taat dan teguh terhadap amanah kiai. Baginya mengingkari dawuh kiai, walau hanya berupa gerundelan dalam hati merupakan su’ul adab (perilaku buruk) yang bisa berakibat pada terkikisnya manfaat dan barokah ilmu.

“Itu merupakan otoritas Kiai,” gumam Umar saat harus tunduk terhadap kebijakan kiai. Gumam yang sekaligus upayanya mencari jawab atas pertanyaannya sendiri. “Seorang guru bertindak memutuskan sesuatu lebih karena berdasar pada ketajaman isyarah yang beliau peroleh dari kedekatannya dengan Gusti, yang tak jarang itu berada di luar wilayah kemampuan murid untuk menafsirkannya, kecuali orang-orang tertentu. Dan lebih aman bagi kita adalah mendahulukan husnudhan terhadap kiai,” lanjut Umar di hadapan para sejawatnya yang lebih junior.

Beberapa bulan terakhir Umar cukup dibuat pusing dan geram oleh ulah seorang yang membuat kelabakan para pengurus pondok. Ia juga banyak menerima pengaduan dari para santri tentang hal-hal yang mengganggu stabilitas keamanan pondok.

Selidik punya selidik, setelah melakukan investigasi secara mendalam serta tak ketinggalan memasang beberapa jebakan, akhirnya terkuaklah misteri menghebohkan itu. Tersebutlah santri Bejo sebagai terdakwah tunggal. Setelah dilakukan proses persidangan akhirnya diputuskan ta’zir bagi Bejo. Ia dikenai sanksi gundul dan membersihkan kamar mandi serta WC pondok.

Beberapa minggu kemudian, Umar menerima pengaduan serupa. Tertangkap pelakunya sebagai orang yang sama, di-ta’zir lagi, dan berulang sampai berkali-kali. Hingga akhirnya diputuskan oleh pengurus pondok untuk menyowankan Bejo kepada Kiai Abdul Fattah Hasyim. Dengan putusan yang sudah jelas, drop out dari pondok.

Saat disowankan ke Kiai, di luar dugaan Umar, “Wis, Kang. Ora usah ditokno. Kongkon manggon nang kamar tamu omahku wae, ben aku engko gampang ngawasine. (Sudah, Kang. Tidak usah dikeluarkan. Suruh tinggal di kamar tamu rumahku saja, niar saya mudah mengawasinya)”. Tak satu pun dari para pengurus yang mengantar santri nakal itu berani mengajukan protes atas kebijakan Kiai.

Seiring berjalannya waktu, kejadian menghebohkan itu berangsur terlupakan. Hingga Umar dan Bejo sama-sama telah menjadi alumni. Saat keduanya bertemu dalam satu kesempatan, Umar terheran, entah karena memang sudah nasib atau kebetulan, atau karena ketekunan munajat Mbah Kiai, Bejo kini menjadi seorang kiai di sebuah daerah di Jawa Tengah, mengasuh sebuah pondok yang ia teruskan amanatnya dari sang mertua.

Mohammad Dendi Abdul Nasir, Santri PPBU Tambakberas Jombang)

Kisah dalam tulisan ini mengutip dari Afandi, M Thom, Ngopi di Pesantren, 2015 (Kediri: Tetes Publishing)