Hikmah

Hikmah di Balik Tradisi Pengajian Rutin Selapanan

Sab, 10 Agustus 2019 | 17:30 WIB

Hikmah di Balik Tradisi Pengajian Rutin Selapanan

Ilustrasi (pzhgenggong.or.id)

Hari Kamis (8/8) lalu, Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah kembali menggelar acara Pengajian Rutin Kamis Kliwon di halaman Kompleks Al Jauhar Pesantren Sirojuth Tholibin Putra.
 
Ya, acara tersebut merupakan acara rutin yang digelar pihak pesantren setiap "selapan" sekali. Hadirinnya terdiri dari masyarakat sekitar Desa Brabo, alumni, dan sebagian wali santri yang memang dating secara sukarela.
 
Istilah “selapan” yang kemudian menjadi kata kerja “selapanan”, merupakan hitungan satu bulan berdasarkan hari dan tanggalan Jawa. Jumlah siklusnya akan berulang setiap 35 hari sekali. 
 
Seperti yang telah diketahui bahwa jumlah hari pasaran atau netu merupakan hitungan hari Suku Jawa. Perhitungannya berjumlah lima hari pasaran. Ada; Pahing, Pon, Wage Kliwon, dan Legi.
 
Kiai-kiai NU khususnya yang berada di wilayah Jawa Tengah maupun Jawa Timur, sering mengagendakan kegiatan keagamaan berdasar pada perhitungan hari tersebut. Misalnya, seperti Pengajian Rutin Kamis Kliwon, Maulid setiap Jumat Legi, Sima'atul Quran per Hari Senin Pahing, dan lain sebagainya.
 
Dalam sambutannya sebagai pengasuh Pesantren, KH Muhammad Shofi Al Mubarok menjelaskan rahasia di balik tradisi yang telah berlangsung di kalangan ulama NU tersebut.
 
"Kita menghadiri Pengajian Rutin Kamis Kliwon ini, (marilah) kita niati mengikuti apa yang diarahkan Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam," tuturnya mengawali penjelasan.
 
Menurutnya, Kamis Kliwon itu merupakan pengajian 35 hari (selapan) sekali. Mengapa kok 35 hari? Sebab arahan Kanjeng Nabi kepada Sayyidina 'Ali:
 
ياعَلي، إذا أتى على المؤمن أربعون صباحًا ولم يجالس العلماء قسى قلبه، وجسر على الكبائر؛ لأن العلم حياة القلب 
 
“Wahai Ali, ketika datang 40 hari kepada seorang mukmin, dan (selama itu pula) ia tidak berkumpul dengan ulama, maka keraslah hatinya, dan berani melakukan dosa besar. Karena (hakikatnya) ilmu itu (memiliki) hati yang malu (kepada Allah)."

Hal tersebut senada dengan apa yang dijelaskan juga dalam kitab Washiatul Musthofa karya Sayyid Abdul Wahab As Sya'roni. 
 
Putra almarhum KH Ahmad Baidlowie Syamsuri yang akrab disapa Gus Shofi itu juga menambahkan, semua umat Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam itu akan masuk surga, kecuali yang tidak mau. Siapakah itu? Dijawab oleh sebuah hadits yang berbunyi:
 
عن أبي هريرة ، أن رسول الله ﷺ قال: كل أمتي يدخل الجنة إلا من أبى قيل: ومن يأبى يا رسول الله؟ قال: من أطاعني دخل الجنة، ومن عصاني فقد أبى
 
"Sesungguhnya Rasulullah sallallahu 'alaihi wasallam besabda: Tiap-tiap umatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau. Dikatakan: dan siapakah yang tidak mau tersebut wahai Rasulullah? Jawabnya: Barangsiapa taat kepadaku, maka ia akan masuk surga. dan barangsiapa mendurhakaiku maka sungguh ia benar-benar tidak mau (masuk surga)." (HR. Bukhari) 
 
Oleh karenanya, lanjut Gus Shofi, penting sekali dalam beramal kita niatkan untuk ittiba'ur rasul, mengikuti ajaran Nabi Muhammad sallalllahu 'alaihi wasallam. Karena hal tersebut merupakan bukti ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, sebagai modal dalam menggapai surga Allah ta'ala.
 
Demikianlah, tradisi-tradisi yang hingga kini masih dilestarikan oleh Nahdliyin, masyarakat NU. Amaliah tersebut merupakan bentuk ikhtiar tokoh NU dalam ihya'us sunnah, menghidupkan ajaran Nabi, meski sebagian kecil orang kerap menuding sebagai hal yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi.
 
(Ulin Nuha Karim)