Hikmah

Imam An-Nawawi, Ulama Produktif Sejak Muda

Rab, 27 Oktober 2021 | 05:45 WIB

Imam An-Nawawi, Ulama Produktif Sejak Muda

Ilustrasi: Sejak perjumpaannya dengan al-Marakisyi, an-Nawawi sangat termotivasi sampai bisa menghafalkan al-Qur’an sebelum mencapai usia baligh. (Foto: NU Online)

Siapa yang tidak kenal dengan Imam an-Nawawi, ulama tersohor dari Damaskus yang tidak saja populer karena mampu menulis banyak kitab, tetapi juga menjadikan kitab-kitab yang ditulisnya sebagai rujukan penting dalam madzhab Syafi’i. Sejarah mencatat, produktivitas Imam an-Nawawi sudah dimulai saat usia muda, yaitu saat memasuki usia 25 tahun.


Imam Ibnul ‘Atthar, salah satu murid an-Nawawi, mencatat bahwa memasuki usia 19 tahun, Imam an-Nawawi baru masuk pesantren. Usia yang bisa dibilang sangat terlambat pada saat itu, mengingat umumnya anak-anak sudah mesantren sebelum usia baligh. Hanya butuh waktu enam tahun menuntut ilmu agama (tepat saat usia 25 tahun), an-Nawawi sudah mulai menulis kitab. (Imam an-Nawawi, Raudhatuth Thâlibîn, [Beirut: Darul Kutb al-‘Ilmiyah, 2003], juz 1, h. 54)


Lalu, ke mana an-Nawawi sebelum mesantren itu? Masa kecilnya digunakan untuk membantu orang tuanya menjaga toko ayahnya di Nawa (pusat kota al-Jaulan, kawasan Hauran, provinsi Damaskus). Meskipun begitu, ia tidak lepas untuk selalu membaca dan menghafal Al-Qur’an.

 

Dikisahkan, saat an-Nawawi baru usia 10 tahun, teman-teman seusianya tidak mau mengajaknya bermain. an-Nawawi lari dan menangis atas perlakukan teman-temannya itu. Lalu ia menyendiri membaca al-Qur’an. 


Syekh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi (seorang waliyullah) yang menyaksikan peristiwa itu merasa iba dan berkata kepada an-Nawai, “Kelak, anak kecil ini akan menjadi orang yang paling ‘alim dan zuhud di zamannya. Banyak manusia mendapatkan manfaat dari ilmunya.”


“Apakah engkau seorang peramal?” Kata an-Nawawi heran.


“Bukan, Allah telah berkata begitu padaku,” jawab al-Marakisyi. 


Sejak perjumpaannya dengan al-Marakisyi, an-Nawawi sangat termotivasi sampai bisa menghafalkan al-Qur’an sebelum mencapai usia baligh. (an-Nawawi, Al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2011], juz 1, h. 297)


Dengan hanya usia yang kurang lebih 45 tahun, ia menulis karya-karya besarnya. Menurut Syekh Abdul Ghani ad-Daqir, jika usia an-Nawawi dikalkulasikan dengan hasil buah karyanya, rata-rata dalam satu hari Imam An-Nawawi bisa menulis sebanyak dua buku. (Abdul Ghani ad-Daqir, Silsilatu A’lâmil Muslimîn [Beirut, Darul Qalam, 1994], juz XII, h. 2)


Hemat penulis, Imam an-Nawawi sebenarnya bisa lebih dari dua kitab dalam satu hari, pasalnya, ad-Daqir mengkalkulasikan masa menulis an-Nawawi dari total usianya, 45 tahun. Sementara menurut Imam Ibnul ‘Atthar, an-Nawawi baru menulis kitab sejak usia 25 tahun. Artinya, sampai an-Nawawi wafat (usia 45 tahun), ia mengahbiskan usia 20 tahun untuk menulis kitab-kitabnya.


Nama lengkap an-Nawawi adalah Abu Zakaria Yahya bin Syarafuddin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam al-Hizami an-Nawawi. Kata ‘an-Nawawi’ merupakan nisbat pada kota Nawa, sebuah pusat kota Al-Jaulan yang berada di Kawasan Hauran di provinsi Damaskus. Jadi Imam Nawawi adalah orang Damaskus karena selama lebih dari delapa belas tahun ia menetap di sana. 


Menurut Ibnul Mubarak, jika seseorang telah menetap di satu negeri selama empat tahun, maka ia dinisbatkan pada negeri tersebut.


Imam an-Nawawi sendiri dijuluki Muḫyiddîn (penghidup agama). Sebenarnya ia sendiri kurang berkenan dipanggil dengan julukan tersebut, saking tawadhunya. Kendati secara kualifikasi sudah sangat layak untuk menyandang gelar kebesaran itu. 


Kualitas karya Imam an-Nawawi

Ada banyak sekali karya yang berhasil an-Nawawi tulis dengan kualitas best seller kelas internasional, karya-karyanya diakui oleh umat Muslim dunia. Salah satu kitabnya yang mendatangkan banyak apresiasai dari para ulama adalah Minhâjut Thâlibîn. Salah satu kitab fiqih pokok yang representatif (mu’tamad) dalam mazhab Syafi’i.


Saking besarnya pengakuan para ulama atas Minhâjut Thâlibîn dan reputasi penulisnya, Imam as-Sakhawi mencatat, orang-orang yang berhasil menghafal kitab tersebut akan dijuluki al-Minhâjî (dinisbatkan kepada kitab Minhâjut Thâlibîn). Sebuah keistimewaan yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab lain. (Syamsuddin as-Sakhawi, al-Manhalul ‘Adzb ar-Rayy, h. 13)


Masih menurut as-Sakhawi, dalam kitabnya, al-Manhalul ‘Adzb ar-Rayy, ia mengisahkan, ada salah seorang ulama bernama Syamsuddin Muhammad al-Maqdisi yang sejak lahir sudah didiagnosa bisu. Sampai usia enam tahun, ia masih saja bisu. Hingga ayahnya yang bermandzhab Hanafi membawanya ke Syekh Abdullah al-‘Ajluni untuk meminta doa dan keberkahan. Setelah mendoakan, al-‘Ajluni menyarankan agar anaknya, al-Maqdisi menganut madzhab Syafi’i dan dibacakan kitab Minhâjut Thâlibîn untuk memperoleh berkah.


Sang ayah melaksanakan saran al-‘Ajluni. Meskipun sebenarnya pada pendahulu dan saudara-saudara al-Maqdisi bermadzhab Hanafi. Tidak lama setelah itu, al-Maqdisi sembuh dan hafal al-Qur’an beserta kitab Minhâjut Thâlibîn hanya dalam waktu empat tahun. Ia juga menjadi tokoh ulama Damaskus dalam penulisan mushaf. (Syamsuddin as-Sakhawi, h. 13)


Itu baru satu kitab saja, belum kitab-kitab yang lainnya. Dalam disiplin hadits, an-Nawawi menulis Syarah Muslim, Riadusshalihin, Al-Arba’in an-Nawawi, dan Khulashatul Ahkam min Muhimmatis Sunan wa Qawa’idil Islam, Syarah Sahih Bukhari, dan al-Adzkar. Dalam disiplin ilmu hadits, ia menulis Al-Irsyad, At-Taqrib, dan Al-Irsyad ila bayanil Asma’il Mubhamat.


Dalam disiplin fiqih, ia menulis Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, Al-Minhaj, Al-Idhah, dan At-Tahqiq. Dalam disiplin pendidikan dan etika, ia menulis Adabu Hamalatil Qur’an dan Bustanul Arifin. Dalam disiplin biografi dan sejarah, ia menulis Tahdzibul Asma’ wal Lughat dan Thabaqatul Fuqaha’. Dan dalam disiplin bahasa, ia menulis Tahdzibul Al-Asma’ wal Lughat bagian kedua dan Tahrirut Tanbih.


Setelah kita melihat reputasi intelektual Imam an-Nawawi yang sangat gemilang dalam usia yang relatif muda (mengingat mulai menulis saat usia muda (25 tahun),  hingga wafat  dalam usia yang juga masih muda (45 tahun), semoga menjadi motivasi bagi kita terutama bagi anak muda agar memaksimalkan usianya untuk terus berkontribusi. Tentu ada banyak cara, tidak harus dengan menulis seperti an-Nawawi.


Muhammad Abror, pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pesantren KHAS Kempek-Cirebon, Mahsantri Ma’had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta