Hikmah

Imam Hasan Al-Bashri 20 Tahun Berdampingan dengan Tetangga Menyebalkan

Sen, 29 Agustus 2022 | 19:00 WIB

Imam Hasan Al-Bashri 20 Tahun Berdampingan dengan Tetangga Menyebalkan

Imam Al-Hasan Al-Bashri menyikapi seorang tetangganya yang menyebalkan dengan sabar. (madina365.com)

Menjadi ulama besar tetap membuat Hasan al-Bashri (selanjutnya ditulis Hasan) memilih hidup sederhana, termasuk dengan hanya tinggal di rumah susun. Dikisahkan, ia memiliki seorang tetangga Nasrani yang rumahnya tepat berada di atas tempat tinggalnya. Di rumah Nasrani itu terdapat kamar mandi. Karena konstruk bangunannya kurang kuat, lambat laun air merembes dari kamar kecil dan menetesi kediaman Hasan. 


Tanpa memarahi, bahkan mengingatkan pun tidak, Hasan enggan mengatakan apapun kepada Nasrani. Ia hanya meletakkan sebuah ember untuk menampung tetesan air yang tidak pernah berhenti. Setiap malam ia rutin membuang ember yang sudah penuh dengan air tetesan, lalu ia letakkan lagi. Hal itu dilakoninya selama dua puluh tahun. 


Sekali waktu Hasan jatuh sakit. Tetangga Nasrani itu pun menjenguknya. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan tetesan air yang sudah jelas berasal dari rumahnya. Dengan perasaan tidak enak dan penuh bersalah, ia bertanya, “Wahai Abu Sa’id, sudah berapa lama kau menanggung kesusahan dariku?” 


“Sudah dua puluh tahun,” jawab Hasan dengan nada tenang tanpa perasaan kesal sedikit pun.


Seketika itu juga si tetangga Nasrani memotong ikat pinggangnya dan memeluk Islam. (Hani al-Hajj, Alfu Qishshatin wa Qishshah min Qashashihs Shalihin, tanpa tahun: 39).


Menuntun Majusi Masuk Islam 

Kisah keharmonisan bertetangga Hasan dengan umat berbeda keyakinan tidak saja kepada seorang Nasrani, tetapi juga dengan seorang Majusi yang berhasil ia tuntun untuk memeluk Islam menjelang akhir hayatnya. 


Dikisahkan, sekali waktu tetangga Majusi itu jatuh sakit dan diprediksi usianya tidak lama lagi. Hasan datang untuk menjenguknya. Hasan mengenal tetangganya itu sebagai sosok yang ramah, entah dalam bertetangga atau interaksi sosial lainnya. Sehingga, Hasan sangat berharap ia memeluk Islam sebelum menghembuskan napas terakhir. 


“Bagaimana keadaanmu? Apa yang kamu rasakan,” tanya Hasan.


“Hatiku hancur, tubuhku sakit, kuburan pun akan digali untukku. Tidak lama lagi aku akan melakukan perjalanan yang sangat jauh. Akan tetapi, aku tidak memiliki bekal apa-apa. Aku tidak akan mampu melewati jembatan shiratal mustaqim dan aku akan dibakar panasnya api neraka. Tidak ada lagi harapan surga bagiku,” keluhnya penuh sesal. 


“Mengapa tidak masuk Islam saja sehingga engkau selamat?” tanya Hasan.


“Sungguh kuncinya ada di tangan si pemegang kunci. Sementara gemboknya ada di sini,” katanya sambil memegang dada.  Kemudian ia tak sadarkan diri.


“Wahai Tuhanku, Tuanku, Kekasihku. Jika hamba-Mu ini memiliki kebaikan semasa hidupnya, segerakanlah ia bersama kebaikan itu sebelum ajal menjemputnya,” kata Hasan dalam doanya. 


Tiba-tiba si Majusi sadar dan membuka kedua matanya. Ia pun berkata, “Wahai Syekh, sesungguhnya si pemegang kunci telah mengirimkan kuncinya melalui utusan yang ada di samping kananmu. Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan-Nya.” Ia pun meninggal dunia. (Ibnul Jauzi, Bahrud Dumu’, 2012: 62) 


Dari kisah relasi Hasan al-Bashri dengan kedua non Muslim di atas dapat dipetik hikmah bahwa menjaga hubungan baik dengan tetangga tidak mengenal latar belakang agama. Jangankan kepada yang sesama Muslim, kepada orang berbeda keyakinan pun kita tetap diperintahkan untuk menjaga keharmonisan.


Profil Imam Hasan Al-Bashri

Nama Hasan al-Bahsri tentu tidak asing di telinga banyak orang. Ulama besar kelahiran Madinah ini dikenal sebagai sufi agung yang memiliki daya ingat sangat tajam. Tidak berlebihan jika ia kemudian dijuluki sebagai ulama multidisiplin karena menguasai ragam ilmu pengetahuan. Sebagai bukti, kita bisa melihat sejumlah testimoni ulama terkait hal ini. 


Abu Qatadah al-Adawi mengatakan, “Wajib bagi kalian belajar kepada syekh ini (Hasan al-Bashri). Demi Allah, aku melihat Hasan al-Bashri sangat mirip pendapatnya dengan Sayyidina Umar bin Khattab.”  


Sahabat Anas bin Malik berwasiat, “Wajib bagi kalian belajar kepada Maulana Hasan al-Bashri, maka bertanyalah kepadanya.” Kemudian, ada yang bertanya, “Wahai Abu Hamzah (julukan Sahabat Anas bin Malik), mengapa engkau menganjurkan kami bertanya kepada Hasan al-Bashri?” Anas bin Malik menjawab, “Dia menimba ilmu kepada kami, akan tetapi sekarang kami telah banyak lupa sedangkan ia masih mengingat ilmu yang kami ajarkan.” (Ibnu Abi Hatim, al-Jarh wa Ta’dil, 1999: III, halaman 41). 


Kualitas intelektual Hasan al-Bashri semakin diakui karena ia juga banyak berguru kepada para sahabat Nabi. Di antara guru-gurunya adalah Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, ‘Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan masih banyak lagi. Menurut Ibnu Hibban, Syekh Hasan al-Bashri telah menimba ilmu kepada 120 tokoh dari golongan sahabat. (Ibnu Hibban, ats-Tsiqqat, 1996: juz IV, halaman 123). 


Nasihat-nasihat Hasan al-Bahsri yang lebih didominasi nuansa tasawuf banyak dikutip para ulama. Salah satunya, ia pernah mengatakan, “Mataku tidak akan melihat, lisanku tidak akan berucap, kedua tanganku tidak akan berbuat, dan kedua kakiku tidak akan melangkah, sebelum benar-benar aku tahu, ketaatan atau maksiat yang akan aku lakukan. Jika ketaatan, aku teruskan. Jika maksiat, aku urungkan. (Ahmad Farid al-Mazidi, Al-Hasan al-Bashri Imamuz Zahidin, 2011: 212). Wallahu a’lam. 


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta