Hikmah

Karunia-karunia yang Terlupakan Sebelum Datangnya Covid-19

Rab, 8 April 2020 | 05:30 WIB

Karunia-karunia yang Terlupakan Sebelum Datangnya Covid-19

Banyak anugerah-anugerah "sepele" yang terabaikan begitu saja padahal semua adalah kenikmatan luar biasa.

Pandemi Covid-19 telah menyerang semua benua di muka bumi ini. Bagi orang yang mempunyai iman kuat, setiap kejadian selalu bernilai kebaikan. Bila kejadian itu menggembirakan, ia akan bersyukur kepada Allah; bila itu musibah, ia bersabar. Masing-masing menjadi kebaikan di tangan orang beriman, termasuk saat Covid-19 mewabah. Demikian dijelaskan KH Muhammad Shofi Al-Mubarok Baedlowie, Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Tanggungharjo, Grobogan kepada NU Online.

 

Kiai muda asal Grobogan ini menyitir sabda Nabi Muhammad :

 

عَجَباً لأمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لأِحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِن: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خيْراً لَهُ

 

Artinya: “Sangat menakjubkan urusan orang beriman. Semua urusannya merupakan kebaikan. Hal tersebut tidak dimiliki siapa pun kecuali hanya dimiliki oleh orang beriman. Apabila orang beriman mendapatkan kenikmatan, dia bersyukur, dan itu menjadi kebaikan baginya. Jika ia tertimpa musibah, dia bersabar. Dan itu juga menjadi kebaikan baginya” (HR Muslim: 7692)

 

Orang sehat, lanjut Gus Shofi, biasanya baru merasakan betapa mahalnya sebuah kata ‘sehat’ setelah ia sakit terlebih dahulu. Banyak orang lupa bahwa sehat itu nikmat. Setelah Allah memberikannya sakit, barulah sadar bahwa sehat itu sebuh kenikmatan yang luar biasa.

 

Begitu pula kehidupan. Kebanyakan manusia terlelap atas kenikmatan hidup yang diberikan Allah. Saat mereka mati, mereka baru sadar, tapi kesadaran mereka terlambat. Al-Mu’afa mengutip pernyataan Imam Sufyan ats-Tsauri sebagaimana ditulis dalam kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashifya’:

 

النَّاسُ نِيَامٌ، فَإِذَا مَاتُوا انْتَبَهُوا

 

Artinya: “Manusia terlelap dalam tidurnya. Ketika mereka mati, baru mereka menjadi sadar” (Abu Nuaim al-Ashbihani, Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, [Beirut: DKI], juz 7, hal. 52).

 

Kiai alumni Pesantren Lirboyo, Kediri itu memberikan beberapa nasihat yang dipetik dari wabah Covid-19 yang merebak saat ini. Kata Gus Shofi, pada hari-hari yang telah lewat, di antara kita ada yang tidak menyadari bahwa kenikmatan bukan hanya urusan harta banyak dan tubuh yang sehat bugar. Pandemi ini menyebabkan kita mulai bisa merasakan nikmat-nikmat lain yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

 

Gus Shofi mencontohkan bahwa keluar dari rumah sendiri pun itu merupakan sebuah kenikmatan. Betapa banyak di antara kita atau saudara-saudara kita yang tubuhnya sehat walafiat dan tidak melakukan tindakan kriminal sedikit pun, tapi karena wabah Covid-19, otoritas melarang mereka keluar dari rumah mereka sendiri. Ia sekarang merasa rumahnya seperti penjara. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat bisa keluar dari rumah saja merupakan kenikmatan yang luar biasa.

 

Demikian pula nikmat bisa berangkat ke tempat kerja. Bisa saja di antara kita pada hari-hari kemarin sering menggerutu atas aneka macam problem di tempat kerja. Jenuh dengan atasan yang sering marah-marah. Sekarang, misalnya, karena bisnis macet akibat pandemi, ia lalu diputus hubungan kerja (PHK) dan menjadi pengangguran. Kita pun baru sadar bahwa tidak mempunyai pekerjaan adalah problem lebih besar daripada seseorang yang mempunyai problem tapi tetap bisa bekerja? Memang sudah tidak ada atasan yang memarahi lagi sebagaimana biasanya, tapi sekarang juga tidak ada lagi yang menggaji dirinya. Bukankah bisa berkerja itu merupakan sebuah kenikmatan yang mungkin dilupakan banyak orang dan Covid-19 menyadarkan ini semua?

 

Banyak contoh lain di luar masalah keluar rumah dan bekerja. Umat Islam di berbagai negara, termasuk mungkin di lingkungan kita, tidak lagi bisa pergi ke masjid menunaikan shalat Jumat, jamaah di masjid, mengikuti kajian, kenduri, melayat, berkumpul dengan sanak kerabat, kerja bakti, memperingati hari-hari besar Islam sepeti Isra’ Mi’raj, Nisfu Sya’ban, tarawih berjamaah di masjid, mudik ke kampung halaman, atau (semoga tidak) bahkan shalat id dan haji-umrah yang semua terkoyak karena ancaman virus ini.

 

Dengan demikian, melalui virus ini, Allah menyadarkan kita bahwa hal-hal yang kita anggap sepele pun ternyata membawa kesadaran baru bahwa itu semua juga kenikmatan yang sangat berharga. Fenomena Covid -19 menjadikan kita (seharusnya) sadar. Dan kesadaran kita pun mungkin baru terbangun di usia kita yang sudah mencapai umur 30, 40, atau 60 tahun lebih.

 

Benar apa yang disabdakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:

 

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

 

Artinya: “Jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian pasti tidak akan bisa menghitungnya.” (QS Ibrahim: 34)

 

Sebagai penutup, Gus Shofi mengajak umat Islam untuk berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, semoga ujian yang sangat berat, melelahkan semua pihak baik dari unsur pemerintah, tenaga medis, relawan, dan masyarakat segera diangkat oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, saudara seiman kita yang telah menjadi korban meninggal sebab virus ini, diberikan husnul khatimah, tercatat sebagai mati syahid, diampuni kesalahan-kesalahannya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Amin. (Ahmad Mundzir)