Hikmah

Ketika Habib Abu Bakar Mimpi Disentil Sayyidina Ali

Sel, 23 Oktober 2018 | 08:00 WIB

Jalan Karya Bakti di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok, sesak orang berpakaian serbaputih saban Ahad sore. Pengajian memang digelar rutin di tempat ini. Pesertanya bisa mecapai ribuan. Ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, hingga anak-anak dari ragam penjuru Jabodetabek tumpah ruah di jalanan sekitar kediaman al-Habib Abu Bakar bin Hasan al-Atthas az-Zabidi.

Tapi itu dulu. Pemandangan jamaah pengajian duduk lesehan tiap Minggu bakda Ashar itu kini sudah tak ada. Habib Abu Bakar, sang pengasuh, pada 7 Oktober 2018 secara resmi mengumumkan penutupan majelis ta'limnya itu setelah sebelumnya menemui isyarat lewat mimpi yang tak biasa. Mimpi?

Ya. Habib Abu Bakar bercerita bahwa Amirul Mu'minin Sayyidina Ali bin Abi Thalib menemuinya di alam mimpi dan tiba-tiba menyentil bibirnya. Habib terkejut. Ia berkesimpulan, ini isyarat dari sahabat Nabi berjuluk "pintu ilmu" itu agar ia lebih banyak menutup mulut. Habib sudah mengonsultasikan ihwal ta'bir mimpinya ini kepada guru-gurunya, termasuk yang di Kota Zabid, Yaman. Salah satu perintahnya adalah menutup majelis ta'lim sebab ilmu yang disampaikan tak menyentuh kalbu murid. 

Dengan penuh rendah hati Habib menangkap mimpi itu sebagai bentuk kasih sayang kakek buyutnya, Sayyidina Ali karramallahu wajhah. Ia bersyukur dengan teguran tersebut karena dirinya memang masih banyak kekurangan. Teman karib Gus Dur saat belajar di Mesir ini pun berjanji akan lebih banyak diam. Berbicara ke publik hanya bila ada hal yang sangat penting. Sampai tutup usia, Habib tidak akan membuka majelis ta'lim sebelum ada isyarat baru yang mengizinkannya.

Keputusan Habib Abu Bakar ini sungguh menohok hati. Nyaris tak ada alasan awam yang membenarkan ia mundur dari kegiatan majelis ta'lim. Habib Abu Bakar dikenal sebagai sosok kharismatik yang tidak punya musuh. Dakwahnya juga tak meledak-ledak, apalagi sampai mencaci dan menghujat. Sosok habib yang moderat, humoris, dan tak bosan-bosan mengimbau jamaahnya mencintai maulid Nabi. Satu-satunya "alasan rasional" untuk tak lagi berceramah ke khalayak adalah mimpi.

Sudah 38 tahun Habib Abu Bakar malang melintang di dunia dakwah, sepulang belajar dari Mesir, Yaman, Maroko, dan Makkah. Ribuan muridnya tersebar di berbagai daerah yang pernah ia singgahi, mulai dari Ternate, Ambon, Makassar, Banjarmasin, Flores, Deli Serdang, hingga sejumlah kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua. Saat ini, Habib Abu Bakar adalah Rais 'Aam Majlis Ifta wal Irsyad Jam'iyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyah (Jatman) Depok, organisasi tarekat di bawah naungan NU.

Sesuai pesan gurunya, Sayyid  Muhammad bin Alawi al-Maliki, Habib mengaku tak mau neko-neko dalam berdakwah. Yang pokok dalam dakwah adalah kemanfaatan ilmu, bukan kuantitas jamaah. Meskipun, dengan prinsip ini, Habib Abu Bakar sendiri akhirnya juga mendapat banyak murid di berbagai wilayah di Indonesia.

Mundurnya Habib Abu Bakar dari aktivitas dakwah tentu tak bermakna ia menghindari, apalagi mengabaikan dakwah. Ini pemaknaan kelewat harfiah. Sang habib hanya tidak ingin tampil menonjol, banyak bersuara, untuk hal-hal yang tidak terlalu krusial. Tapi, menurut saya, pesan yang paling penting di balik keputusan "aneh" ini sedikitnya dua poin.

Pertama, betapa ketatnya syarat seseorang menjadi pendakwah. Sikap Habib tersebut di satu sisi adalah simbol kerendahan hati, tapi di sisi lain penetapan standar yang tinggi dalam berdakwah. Menjadi juru dakwah bukan semata urusan pandai bicara, tapi juga soal kedalaman ilmu agama, akhlak, teladan, dan sampainya pesan ruhani ke hati khalayak. Bila Habib Abu Bakar yang berilmu luas dan "tidak neko-neko" saja mendapat sentil dari Sayyidina Ali, lalu bagaimana dengan kebanyakan dai?

Pesan kedua, sasaran utama dakwah sesungguhnya adalah diri sendiri, baru kemudian orang lain. Di sinilah relevansi memprioritaskan muhasabatun nafs (introspeksi) ketimbang gemar menghakimi perilaku orang lain. Pesan ini menemukan momentumnya seiring santer bermunculan di zaman sekarang orang-orang lebih gemar menjadi juru dakwah ketimbang juru dengar, lebih giat berceramah daripada belajar, lebih sering mengkhutbahi orang lain ketimbang diri sendiri. Beramar-makruf nahi-munkar ke orang lain sebelum benar-benar mampu beramar-makruf nahi-munkar dengan diri sendiri.

Pada tahap ini, Habib Abu Bakar sebenarnya tidak hanya sedang mengikhbarkan soal mimpi dan penutupan majelis ta'lim Ahad sore. Ada yang lebih dalam dari itu. Di tengah ketenaran yang makin meningkat, ia justru menjauh dari itu semua. Pilihan sikap semacam ini seolah hendak menyentil pula para juru dakwah yang kerap tergiur dengan popularitas, banyaknya jamaah, serta pundi-pundi keuntungan dari "profesi" mengisi pengajian. Wallahu a'lam.


(Mahbib Khoiron)