Hikmah

Kisah Cinta Sejati pada Zaman Nabi

Rab, 14 Februari 2018 | 02:30 WIB

“Kebenaran cinta terletak pada tiga hal: memilih ucapan kekasih daripada ucapan orang lain, memilih duduk bersama kekasih daripada duduk bersama orang lain, dan memilih kerelaan kekasih daripada kerelaan orang lain.”

Ada sebuah kisah yang sangat menarik tentang ketulusan cinta dan kasih sayang. Kisah yang diambil dari kitab ‘Uqudul Lujain karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani ini menggambarkan betapa cinta sejati mampu membutakan seseorang hingga ia rela melakukan hal apa pun demi membuktikan cintanya terhadap sesuatu yang ia cintai.

Ikhwal tentang pembuktian cinta sejati seharusnya tidak perlu menunggu momentum tertentu. Seperti yang saat ini marak dilakukan oleh mayoritas orang dengan mengusung Hari Valentine. Cinta sejati tidak melihat waktu kapan harus dibuktikan tapi ia benar-benar muncul setiap saat sebagai pembuktian ketulusan hati. Karena cinta sejati ada di setiap waktu dan setiap tarikan nafas manusia. 

Suatu ketika, seorang wanita keluar dari rumah untuk mendengarkan petuah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam beserta para sahabatnya. Di tengah jalan ada seorang pemuda yang melihatnya. Pemuda itu bertanya: “Wahai wanita yang mulia! Kamu mau pergi ke mana?” Wanita itu menjawab, “Aku ingin mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan duduk di sisinya dan mendengarkan sabdanya yang indah.”

“Apakah kamu mencintai Nabi?” tanya si pemuda itu. “Ya aku mencintainya,” jawab wanita itu. Si pemuda berkata lagi, “Demi kebenaran cintamu kepadanya, bukalah kerudungmu sampai aku dapat melihat wajahmu.”

Saat pemuda itu menyumpah dengan mengatasnamakan cinta kepada sang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lantas ia membuka kerudungnya sehingga pemuda itu benar-benar dapat melihat wajahnya.

Sesampai di rumah, ia menceritakan kejadian itu kepada suaminya. Penuturannya menggoyahkan hati si suami. Dalam hati, suaminya berkata, “Aku harus bisa membuktikan kebenaranya supaya aku lega. Dan aku juga harus mengujinya.” 

Suaminya lantas menyalakan tungku, pada tungku tersebut terdapat tempat atau lubang untuk meletakkan wajan untuk memasak roti. Dengan sabar suaminya menunggu sampai tungku menyala penuh. Setelah api menyala penuh, ia berkata pada istrinya, ”Demi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, masuklah ke dalam tungku itu.” 

Saat ia disumpah atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seketika itu ia langsung menceburkan diri ke dalam lubang tungku tanpa mempedulikan nyawanya karena benar-benar mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Melihat istri benar-benar menceburkan diri ke dalam tungku dan tenggelam di dalam api, si suami menjadi sangat menyesal dan sadar akan kebenaran ucapan istrinya. Lalu ia pergi menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan menceritakan semua kisah tentang istri beserta keadaanya saat itu.

Setelah mendengar penuturan cerita dari si suami, Nabi besabda, ”Pulanglah dan keluarkan ia dari dalam tungku.” Si suami pun akhirnya pulang dan segera mengeluarkan istrinya dari kepungan api yang memenuhi tungku. Namun anehnya, setelah ia berhasil mengeluarkan istrinya dari kepungan api tersebut didapatinya sang istri tidak apa-apa, badannya basah penuh keringat, seakan-akan ia habis dari pemandian air hangat (uap). (Zaenal Faizin)