Hikmah

Kisah Ibnu Munkadir yang Tak Rela Dagangnya Dijual Kemahalan

Sel, 16 April 2019 | 13:30 WIB

Kisah Ibnu Munkadir yang Tak Rela Dagangnya Dijual Kemahalan

Ilustrasi (via imagenesmy.com)

Dalam kitab Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Imam al-Ghazali mencatat kisah tentang Imam Muhammad bin Munkadir dan pembeli dagangannya. Berikut kisahnya:

وروي عن محمد بن المنكدر أنه كان له شقق بعضها بخمسة وبعضها بعشرة فباع غلامه في غيبته شقة من الخمسيات بعشرة فلما عرف لم يزل يطلب ذلك الأعرابي المشتري طول النهار حتى وجده فقال له إن الغلام قد غلط فباعك ما يساوي خمسة بعشرة فقال يا هذا قد رضيت فقال وإن رضيت فإنا لا نرضى لك إلا ما نرضاه لأنفسنا فاختر إحدى ثلاث خصال إما أن تأخذ شقة من العشريات بدراهمك وإما أن نرد عليك خمسة وإما أن ترد شقتنا وتأخذ دراهمك فقال أعطني خمسة, فرد عليه خمسة وانصرف الأعرابي يسأل ويقول من هذا الشيخ فقيل له هذا محمد بن المنكدر فقال لا إله إلا الله هذا الذي نستسقي به في البوادي إذا قحطنا

Diriwayatkan dari Muhammad bin al-Munkadir, sesungguhnya ia memiliki kain, sebagian berharga lima (dirham), sebagian lainnya sepuluh (dirham). Ketika ia tidak ada, budaknya menjual kain seharga lima (dirham) dengan harga sepuluh (dirham). Setelah mengetahuinya, sepanjang siang ia terus mencari-cari orang Badui yang membelinya, sampai berhasil menemukannya. 

Ibnu al-Munkadir berkata padanya: “Sesungguhnya budak(ku) telah berbuat salah, ia menjual padamu barang yang harganya lima (dirham) dengan harga sepuluh (dirham).” Pembelinya (Badui) berkata: “Aku rela.”

Ibnu al-Munkadir berkata: “Jikapun kau rela, kami yang tidak rela atas (kerugian)mu, kecuali (dengan syarat yang) membuat kami rela untuk diri kami sendiri. Maka, pilihlah satu dari tiga hal ini, (pertama), silakan ambil (tukar) kain yang seharga sepuluh (dirham), (kedua), kami kembalikan uang lima (dirham) padamu, dan (ketiga), kau kembalikan kain (yang kau beli) dan silakan ambil uangmu (kembali).” 

Pembeli itu berkata: “Kembalikan saja uang lima (dirhamku).” Ibnu al-Munkadir mengembalikannya pada orang Badui itu, lalu ia pulang. Si Badui pun (penasaran) dan bertanya-tanya: “Siapakah orang tua itu?” Kemudian seseorang menjawabnya: “Ia adalah Muhammad bin al-Munkadir.” Orang Badui itu berujar: “(Pantas saja), tidak ada tuhan selain Allah. Dialah orang yang mengalirkan air di sumur-sumur ketika kami kekeringan.” (Imam Abû Hâmid al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Beirut: Darul Ma’rifah, tt, juz 2, h. 80)

****

Imam Muhammad bin al-Munkadir (w. 747 M) adalah seorang tabi’in. Ia meriwayatkan hadits dari banyak sahabat Nabi seperti Sayyidah Aisyah, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidina Abdullah bin Umar, Sayyidina Abdullah bin Abbas, Sayyidina Anas bin Malik dan masih banyak lainnya. Hampir semua imam besar hadits mengambil riwayat darinya, sebut saja Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam al-Tirmidzi, dan lain sebagainya. Di kalangan ulama, Imam Ibnu al-Munkadir memiliki kedudukan yang tinggi. Imam Malik bin Anas mengatakan:

كان محمد سيد القراء لا يكاد أحد يسأله عن حديث إلا كاد أن يبكي

“Muhammad (bin al-Munkadir) adalah tuannya para pembaca al-Qur’an yang hampir tidak ada seorang pun yang menanyakan hadits padanya kecuali berlinangan air mata (hampir menangis).” (Imam Ibnu ‘Asâkir, Târîkh Madînah Dimasyq, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, juz 56, h. 42)

Kisah di atas adalah bukti keluhuran pekerti dan kejujuran lakunya. Demi keberkahan, Imam Ibnu al-Munkadir rela menghabiskan waktunya untuk mencari orang yang membeli kainnya, padahal orang yang dicarinya sudah rela dengan harga yang dibayarkan, tapi Imam Ibnu al-Munkadir bersikukuh. Katanya: “Jikapun kau rela, kami yang tidak rela atas (kerugian)mu.” Sungguh menarik, bukan? Mari kita kaji lebih dalam.

Apa yang dilakukan Imam Ibnu al-Munkadir harus kita pahami sebagai “usaha mengamalkan agama setepat mungkin.” Banyak orang mengamalkan agama sekadarnya saja, atau bahasa kerennya “yang penting ngerjain.” Imam Ibnu al-Munkadir melampaui itu, ia berusaha sekuat tenaga untuk mengamalkan agamanya setepat mungkin. Artinya, ia berusaha mengamalkan semua aspek yang melingkupi agama. 

Kita bisa skemakan seperti ini, sekadar contoh ya: pertama, ketika ia mengetahui kesalahan budaknya, ia mengamalkan “malu” kepada Allah. Kedua, ketika sepanjang hari mencari orang Badui yang membeli barangnya, ia mengamalkan “sabar”. Ketiga, ketika sudah bertemu dengan orang Badui yang dicarinya, ia mengamalkan “jujur”. Keempat, ketika orang Badui menyatakan kerelaannya, ia mengamalkan “adil”, dan seterusnya. Ini baru gambaran kecil dari pengamalan agama “setepat mungkin”, karena aspek yang melingkupinya masih lebih banyak dari contoh di atas. Masih ada “takut” (khauf), masih ada “raja’” (mengharap), dan lain sebagainya.

Misalnya, apa yang dilakukan Imam Ibnu al-Munkadir bisa juga dipahami sebagai pengamalan “khauf” (takut) atas hilangnya berkah karena menjual barang tidak sesuai harganya, dan “raja” (mengharap) kembali berkah dengan perjuangannya mencari pembeli yang dirugikan itu. Belum lagi pengamalan paling maksimal dan ideal dari setiap aspeknya, misalnya “adil”, “sabar”, “malu”, dan “jujur” dalam level terbaiknya.

Begitu pun sebaliknya, “pengamalan agama setepat mungkin” harus didampingi dengan “penghindaran dosa setepat mungkin”, yang semuanya berakar pada ketakutan. Jika menggunakan skema yang sama seperti di atas; pertama, takut bermaksiat kepada Allah; kedua, takut kehilangan rasa syukur; ketiga, takut menjadi pembohong; keempat, takut dikuasai kezaliman, dan seterusnya. Karena pada dasarnya, menabrak larangan itu lebih berbahaya daripada melanggar perintah.

Kembali pada pembahasan, di akhir kisah, setelah mengetahui identitas Ibnu al-Munkadir, orang Badui tersebut berkata: “Dialah orang yang mengalirkan air di sumur-sumur ketika kami kekeringan”. Artinya, terlepas dari semuanya, Imam Ibnu al-Munkadir adalah orang yang penuh kasih sayang. Dengan kata lain, “pengamalan agama setepat mungkin” dalam tataran tertingginya adalah kasih sayang dan cinta. Karena itu, pengamalan agama tidak memiliki batas, seperti halnya kasih sayang dan cinta. Sebanyak apapun amal yang kita lakukan, yakinlah masih banyak amal yang belum kita lakukan. Ini masih perbincangan dalam wilayah kuantitas, belum wilayah kualitas, yang mana tujuannya tidak sekadar sah atau tidaknya sebuah laku ibadah.

Maka dari itu, kita sebagai manusia harus mulai berbenah, memeluk pengamalan agama sebagai nikmat Tuhan. Orientasi ibadah kita yang mulanya berkutat di wilayah kuantitas, perlahan-lahan harus digeser memasuki wilayah kualitas, tentunya dengan tanpa mengurangi kuntitasnya, agar kita mulai memahami dunia dengan perspektif berbeda. 

Kita sering melihat, banyak orang yang rela mengeluarkan biaya besar untuk membantu masjid, tapi jarang sekali kita melihat orang yang membantu sesamanya. Sekarang lihatlah Imam Ibnu al-Munkadir, ia membantu daerah-daerah yang kekeringan dengan memberi mereka air. Dan ingat, mendapatkan air di zaman itu tidak semudah sekarang. Ia harus mengeluarkan dana besar untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Dengan merenungi kisah Imam Ibnu al-Munkadir, kita jadi tahu bahwa, selama ini kesalehan telah tereduksi maknanya, sebatas rajin shalat, puasa dan ibadah ritual lainnya. Padahal, untuk mencapai predikat saleh, seorang hamba harus melengkapi pengamalan agamanya, dan menaikkan level kualitasnya seperti Imam Ibnu al-Munkadir. Contoh sederhananya begini, shalat kita harus menambah kasih sayang di hati kita; puasa kita harus bisa meningkatkan kesabaran kita; zikir kita harus membuat kita lebih mawas diri, dan seterusnya. Memang tidak mudah, tapi apa salahnya mencoba.

Wallahu a’lam...


Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan Kebumen, dan Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan.