Hikmah

Kisah Mbah Syifa’ Kacuk Membimbing Istri Istiqamah Shalat Malam

Sab, 30 Desember 2017 | 10:00 WIB

KH M Syifa’ Harun merupakan tokoh agama kenamaan di daerah Kacuk, Kebonsari, Kota Malang, Jawa Timur. Pengaruh beliau disegani masyarakat sekitar daerah tersebut. Sosok yang kerap disapa Mbah Syifa’ ini disebutkan pernah nyantri di Sidoarjo, serta berguru kepada banyak kiai kharismatik khususnya di daerah Malang Raya. Beliau wafat pada tahun 1955 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Kebonsari.

Kisah ini disampaikan turun-temurun dalam berbagai kesempatan pengajian di Pondok Nurul Ulum, terutama untuk motivasi para santri. Tak jarang juga dibacakan sebagai manakib dalam pagelaran Haul. Mbah Syifa’ ini adalah istri pendiri pondok Kacuk, almarhumah Nyai Hj Rohmah Noor. Keduanya dikaruniai dua anak, Nyai Kholifatuz Zahro dan Gus Fauzi Syifa’, pengasuh Pesantren Nurul Ulum saat ini.

Pondok Nurul Ulum Malang saat ini berkembang pesat, tidak lepas dari perjuangan awal Nyai Rohmah Noor. Menurut Gus Fauzi, pengasuh Pondok Nurul Ulum yang merupakan putra beliau dalam berbagai kesempatan pengajian, salah satu amalan yang tak lepas dilakukan oleh Nyai Rohmah selama hidupnya adalah istiqamah dalam shalat tahajud dan qiyamul lail.

Keistiqamahan ini tak lepas dari bimbingan suami beliau, Mbah Syifa’, saat keduanya masih belum lama menikah. Pada masa dahulu, perbedaan usia yang jauh antarmempelai dalam pernikahan masih dipandang lumrah. Karena itulah Mbah Syifa’ yang sudah cukup berumur, terpaut cukup jauh dengan usia Mbah Nyai Rohmah yang beranjak dewasa.

Cara Mbah Syifa’ membimbing istri beliau untuk istiqamah qiyamul lail ini tidak dengan langsung menyuruh untuk melakukan shalat malam seperti beliau. Keluar malam hari di daerah Malang masa itu, adalah salah satu tantangan tersendiri untuk masyarakat. Selain belum ada lampu, serta jika bermaksud hendak berwudu, perlu pergi ke sungai terdekat. Agak seram tentunya. Dan Anda tahu, udara Malang masa itu masih tergolong dingin, terlebih di malam menjelang pagi.

Nyai Rohmah dibangunkan oleh Mbah Syifa’ untuk menemaninya pergi ke sungai pada dini hari, hitung-hitung membawa lampu cempluk. Hanya menemani saja, tidak lebih. Setelah kembali ke rumah, Mbah Rohmah diizinkan Mbah Syifa’ untuk tidur kembali. Dan hal ini terjadi sekian waktu lamanya.

Lambat laun karena nyaris setiap hari diajak menemani berwudhu ke sungai, Mbah Nyai juga merasa ingin ikut berwudhu juga. Hal ini tidak dipermasalahkan oleh suaminya. Akhirnya, Mbah Nyai ikut wudhu, sesekali mengikuti shalat sang suami.

Hal ini berjalan terus seiring waktu, hingga akhirnya Mbah Nyai Rohmah mengikuti amalan yang dilakukan Mbah Syifa’ setiap harinya. Shalat malam menjadi keistiqamahan beliau hingga akhir hayat. Amalan ini juga hingga saat ini menjadi rutinitas santri di Pondok Nurul Ulum.

Dari kisah di atas, perlu kita hikmahi bahwa cara mengajarkan agama pun tidak harus dengan cara yang memerintah, melainkan bisa dengan bertahap dan tanpa paksaan, bahkan dalam lingkup keluarga. Dengan demikian, ajaran agama yang ramah mampu menjadi pondasi keluarga,serta menebar kebaikan untuk masyarakat sekitarnya. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)