Hikmah

Kisah Syaqiq al-Bakhli, Hartawan yang Memilih Jalan Sufi

Sel, 8 Mei 2018 | 02:00 WIB

Kisah Syaqiq al-Bakhli, Hartawan yang Memilih Jalan Sufi

Ilustrasi (NU Online)

Ada tokoh-tokoh sufi klasik yang kisah tentangnya jarang terekspos. Salah satunya ialah Syaqiq Al-Balkhi rahimahullahu ta’ala. Beliau anak seorang hartawan yang memutuskan beralih melakoni perjalanan ruhani menjadi seorang zāhid.

Pada mulanya, dalam suatu perjalanan niaga ke Turki, Syaqiq sempat singgah masuk ke sebuah rumah penyembahan berhala. Di dalamnya terdapat banyak sekali berhala dan dilihatnya juga banyak rahib-rahib yang berkepala gundul dan tidak berjenggot. 

Lantas Syaqiq Al-Balkhi berjumpa dengan salah seorang pelayan berhala, lalu berkata: “Kamu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Hidup dan Menghidupimu, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Maka menyembahlah kepada-Nya, tidak usah lagi menyembah berhala-berhala yang tidak memberikan mudarat maupun manfaat kepadamu!”

Kemudian dengan diplomatis pelayan itu menjawab enteng, “Jika benar apa yang kamu katakan, bahwa Tuhan Maha Kuasa memberi rezeki kepadamu di negerimu sendiri, kenapa Tuan dengan susah payah datang kemari untuk berniaga?”

Syaqiq melongo. Tercengang. Kena skak. Maka terketuklah hati Syaqiq dan untuk selanjutnya menempuh kehidupan zuhud.

Sementara satu kisah lainnya tentang Syaqiq Al-Balkhi, terjadi saat permulaan menempuh perjalanan zuhud. Ia menuju ke suatu daerah. Di sana ia melihat seorang budak sedang asyik bersenang-senang ria di tengah kehidupan perekonomian yang dilanda paceklik dan krisis secara merata—termasuk tuan si budak sendiri.

Kepada si budak itu Syaqib bertanya, “Apa yang kamu kerjakan? Bukankah kamu tahu orang-orang sedang menderita karena paceklik?”

Budak itu menjawab polos, “Saya tidak mengalami paceklik, Tuan, karena majikanku memiliki perkampungan subur yang hasilnya sanggup mencukupi keperluan kami.” Di fase setelah mendengar rentetan kalimat si budak inilah, Syaqiq mendengar ketukan hati dan bisikan dalam dirinya, “Jika budak tersebut tidak memikirkan rezeki karena majikannya memiliki perkampungan yang subur—toh, padahal si majikan sendiri adalah masih tergolong makhluk yang melarat—maka bagaimana bisa disebut ‘patut’ saat seorang Muslim memikirkan rezekinya dengan berkalang keraguan, sedangkan ia punya Tuhan yang Maha Kaya dan Dermawan?”

Dari dua potong kisah di atas, apa yang bisa kita ambil ‘sari-madunya’, selain dari nilai-nilai luhur yang sudah tersurat dalam kisah—yang saya yakin Anda semua masing-masing bisa mencerapnya sendiri?

Nilai yang tersirat di antaranya bahwa Syaqiq terlalu fokus ke luar dirinya, tapi jarang menengok ke dalam diri sendiri. Kebanyakan “ekstrospeksi”, kurang “retrospeksi” (mengenang kembali, atau wal tandhur nafsun ma qaddamat lighad) dan minim “introspeksi” (muhasabah). 

Juga kenyataan implisit yang dirancang oleh Allah, tentang Syaqiq yang tidak akan menjadi seorang zāhid dan tidak akan dikenang sebagai sufi terpandang bila ia tidak bertemu dengan pelayan-berhala dan hamba sahaya dalam kisah. Suatu hal yang perlu ditelusuri kenapa sering kali Allah memperjalankan dan mempertemukan tokoh masyhur di masa kini dengan orang-orang yang seolah kurang penting, seakan-akan figuran, picisan, un-popular, dan bukan tokoh masyhur yang kebak make up, political-camuflage dan pencitraan artifisial. Namun Allah menjadikan ia atau mereka (tokoh cerita yang kita anggap “tak penting” itu) sebagai pemicu kejadian besar penting dan menentukan setelahnya. Sebuah titik balik kehidupan yang tidak main-main hikmahnya.

Sama halnya kisah Nabi Ya’qub dan pertemuannya dengan gelandangan gembel yang sempat ditolaknya di pintu rumah—sehingga seketika itu menuai teguran keras dari Allah. Hanya saja, soal demikian ini, kok ya unik ya, kalau hobinya Allah memang sering menyembunyikan sesuatu yang berharga di balik hal yang kita sangka (baca: tuduh) tidak berharga. Tampaknya Allah gemar bermain petak-umpet, jumpritan, dan sembunyi harta. Seperti pada mutiara yang tersembunyi di balik kotornya cangkang kerang. 

Siapa tahu, nanti kita dapat judul skripsi dari seorang penjual cuanki? Siapa tahu, dulu Thomas Alfa Edison menemukan ide cahaya yang dikandangi menjadi bola lampu, itu hanya dari mimpi? Siapa tahu, nanti, penemu mesin waktu itu mendapat cuplikan ide dari seorang gelandangan di pinggir kali? Siapa tahu…

Hal yang perlu kita stabilo, ialah, inspirasi bisa datang dari mana saja, dan dari apa saja. Inspirasi, sinonim kata “ilham”, “cenayang”, “bocoran soal-jawaban”, “aspirasi”, “bisikan Kang Jibril”, dan sefamilinya, dapat muncul dari sesuatu yang seakan-akan tampak sepele, remeh, dan tidak terduga sama sekali oleh mata-pandang kita, oleh kaca-mata intelektual-kapitalis kita, bahwa ia sebenarnya adalah gudang inspirasi. Maka dari sini, mulailah kita memperpeka diri—semati-matinya!  Wallahu a’lam.


Kata-kata Bijak

Syekh Hatim Al-‘Asham, mengungkapkan bahwa gurunya, Syaqiq Al-Balkhi, pernah berujar: “Laksanakanlah lima perkara ini: (1) Beribadahlah kepada Allah sebanyak apa yang kamu perlukan dari-Nya. (2) Carilah bekal di dunia sebanyak usiamu di dunia. (3) Berdosalah kepada Allah sejauh kamu mampu memikul siksa-Nya. (4) Himpunlah harta di dunia sebanyak kesanggupanmu membawanya di kuburmu. (5) Dan beramallah (berbuatlah) demi surga, seukur kedudukan surga mana yang kamu kehendaki.”


(M. Naufal Waliyuddin)

Kisah Syaqiq Al-Balkhi ini dinukil oleh penulis dalam kitab Nashaihul ‘Ibad buah karya Syekh Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al-‘Asqalany dan disyarahi oleh Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar al-Jawi (al-Bantani).