Hikmah

Mbah Ngis dan Resep Berdagang yang Mendatangkan Berkah

Ahad, 30 Juli 2017 | 14:02 WIB

Sebagai pedagang kecil yang menjual makanan kecil di pondok, Mbah Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994)–biasa dipanggil Mbah Ngis–memiliki cara sendiri dalam berdagang yang sulit dipahami orang lain. Pak Udin, salah seorang anak Mbah Ngis, merasa sulit memahami mengapa Mbah Ngis sering tidak mau pusing dengan persoalan untung dan rugi. Mbah Ngis memilih cara hati-hati dalam berdagang sehingga tidak asal mendapatkan untung.

Suatu hari, Pak Udin menyampaikan usul kepada Mbah Ngis agar barang-barang atau makanan konsinyasi yang tidak laku terjual supaya dikembalikan kepada pemasoknya sesuai kesepakatan agar tidak merugi. Mbah Ngis tidak setuju dengan usul tersebut, tetapi malahan lebih suka menyedekahkannya kepada anak-anak santri putra di pondok yang notabene mereka bukan pelanggan warungnya karena Mbah Ngis hanya melayani santri putri.

Mbah Ngis memiliki beberapa alasan terkait dengan sikapnya tersebut. Pertama, Mbah Ngis merasa kasihan kepada pemasoknya kalau harus menerima kembalian barang-barang yang tak laku. Kedua, Mbah Ngis merasa kasihan kepada beberapa santri putra yang merasa lapar sehabis belajar malam sementara uang sudah tak punya.

Selain itu, Pak Udin juga pernah usul agar uang hasil penjualan barang-barang konsinyasi yang sudah laku terjual supaya diputar dulu untuk tambahan modal dengan harapan dapat meningkatkan omzet penjualan dan keuntungan. Alasan Pak Udin adalah orang yang menitipkan dagangan itu baru datang menagih pada hari berikutnya atau dua hari kemudian.

Terhadap usulan Pak Udin di atas, Mbah Ngis menjawab, "Aku hanya berani mengambil labanya saja dari barang-barang titipan orang. Sedang uang setoran milik pemasok, aku tidak berani memutarnya. Aku khawatir kalau uang itu aku putar, maka tidak akan mbarokahi karena menggunakan uang yang bukan miliknya.”

Biasanya, uang setoran itu oleh Mbah Ngis digulung, lalu diikat dengan karet untuk memastikan agar tidak tercecer atau terpakai untuk keperluan lain. Selain alasan takut tidak mbarokahi, Mbah Ngis juga merasa khawatir akan mengecewakan pemasok. Misalnya, ketika pemasok datang menagih uang setoran, Mbah Ngis tidak bisa memberikannya karena, misalnya, uang yang diputar itu belum kembali menjadi uang tunai karena barang yang didapat dengan “modal ghashaban” itu belum laku terjual.

Meski mendapat pendidikan hingga perguruan tinggi, Pak Udin mengaku sulit memahami cara berpikir ibunya dalam berdagang. “Apakah seperti itu yang disebut berdagang dengan Tuhan?” Tanya Pak Udin pada diri sendiri.

Hal yang membuat Pak Udin heran tetapi sekaligus mensyukurinya adalah meskipun Mbah Ngis kurang memikirkan keuntungan dalam berdagang, nyatanya Mbah Ngis dapat menghidupi keluarganya dan mampu membiayai sekolah anak-anaknya hingga pendidikan tinggi. Pak Udin menduga kuat cara Mbah Ngis berdagang dengan hati-hati atau wara’ itu mbarokahi sehingga menghasilkan rezeki yang walaupun tidak berlimpah tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.  


Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta