Hikmah

Mutasi saat Pandemi dan Pesan Optimisme Imam as-Suyuthi

Rab, 22 Desember 2021 | 09:30 WIB

Mutasi saat Pandemi dan Pesan Optimisme Imam as-Suyuthi

Imam as-Suyuthi mengalami hidup pada masa pandemi yang terjadi secara global.

Banyak masyarakat yang resah dengan adanya varian baru saat pandemi Covid-19. Baru-baru ini, muncul hasil mutasi virus penyebab Covid-19 yang bernama varian Omicron dan dianggap serius oleh para ahli karena memiliki tingkat penularan lebih besar. Seolah berperang dengan manusia, virus tersebut menyusun strategi baru agar tetap eksis di saat upaya-upaya kesehatan berusaha meredamnya.

 

Sebagai bagian dari perubahan alam yang mengikuti sunnatullah, kejadian mutasi dari mikroba penyebab penyakit bukan terjadi saat ini saja. Sejak munculnya pandemi di masa lalu, perubahan sifat mikroba penyebab penyakit sudah lazim terjadi. Efeknya memang ada yang menyulitkan penanganan penyakit, tetapi ada pula yang menjadi lebih jinak sehingga mudah untuk dihilangkan.

 

Bagaimana umat Islam menyikapi fenomena mutasi virus penyebab penyakit saat pandemi? Adakah tuntunan dari ulama terdahulu yang perlu diterapkan dan masih relevan di masa sekarang? Apakah fenomena alamiah mutasi mikroba itu terekam dalam kitab klasik karya ulama Islam?

 

Imam as-Suyuthi ternyata telah mencermati adanya fenomena mutasi saat pandemi dan menuliskannya. Dalam kitabnya yang berjudul al-Maqamah ad-Durriyah, Beliau mendokumentasikan fenomena pandemi yang dialami pada masa hidupnya. Kitab tersebut menjadi saksi bahwa mutasi mikroba penyebab pandemi ternyata sudah terjadi sejak zaman dahulu meskipun mikrobanya sendiri belum dikenali oleh manusia pada masa itu.

 

Imam as-Suyuthi mengalami hidup pada masa pandemi yang terjadi secara global. Beliau waktu itu hidup di Mesir dan merekam dengan baik kejadian demi kejadian dalam rangkaian pandemi di Mesir dan sekitarnya. Fenomena itu Beliau ceritakan saat membahas thaun pada tahun 897-898 H sebagai berikut:

 

“Telah diingatkan bahwa ada sesuatu yang terjadi dan hal ini berbeda dari kebiasaan thaun. Saat ini thaun menimbulkan kematian terhadap orang-orang yang sempat selamat dari thaun sebelumnya. Kebiasaan yang umum adalah orang yang sempat selamat itu tidak akan meninggal karena thaun, walaupun terkena kembali, maka orang tersebut akan selamat atau sembuh.” (Imam Suyuthi, al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 216).

 

Dalam catatan kaki, penahkik kitab itu, yaitu dr. Muhammad Ali al-Bar, menjelaskan tulisan Imam as-Suyuthi tersebut:

 

“Telah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yang pernah terkena cacar dan thaun kemudian selamat, maka penyakit tersebut tidak akan menimpanya kembali karena dia telah memiliki kekebalan dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan kaidah kedokteran modern yaitu vaksin dan imunisasi. Kedua upaya tersebut memanfaatkan mikroba yang telah dilemahkan atau yang mati dan menyuntikkannya ke dalam tubuh agar tubuh memiliki kekebalan. Akan tetapi, mikroba dapat mengubah antigen yang dimiliki (atau dikenal dengan mutasi) sehingga kekebalan yang telah ada sebelumnya pada orang yang pernah terpapar tidak bermanfaat lagi. Dapat dinyatakan bahwa mikroba thaun pada tahun ini bersifat baru sehingga berbeda sifat-sifatnya apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.” (Catatan kaki untuk kitab Al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus tanpa tahun: hal 216)

 

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sifat mikroba penyebab pandemi yang terjadi pada tahun 898 H ternyata berbeda dengan penyebab pandemi di tahun sebelumnya yaitu 897 H. Meskipun hanya berselang satu tahun, ternyata mikroba penyebab pandemi dapat bermutasi menjadi lebih kebal.

 

Dalam bagian kitab selanjutnya di halaman 223, Imam as-Suyuthi melanjutkan penjelasannya dengan menulis:

 

“Sebagian besar yang terkena dan meninggal adalah penderita yang selamat pada serangan tahun lalu.”

 

Maksud dari pernyataan tersebut adalah korban meninggal dunia karena pandemi pada tahun 898 H adalah orang-orang yang pada tahun 897 H terpapar thaun dan selamat. Pada tahun 898 H, orang-orang yang telah terpapar dan selamat itu terpapar kembali dengan pandemi yang sama sehingga meninggal dunia. Padahal menurut kaidah kedokteran pada waktu itu, orang yang pernah terpapar pandemi dan selamat, maka apabila terpapar kembali akan sembuh serta tidak menimbulkan bahaya. Namun, kenyataan menunjukkan hasil yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa mutasi yang terjadi pada waktu itu membuat mikroba menjadi lebih kebal dan lebih ganas.

 

Meskipun saat itu mutasi mikroba penyebab pandemi menyebabkan situasi menjadi lebih genting, Imam as-Suyuthi tetap memberikan saran agar kaum Muslimin tenang menghadapinya. Beliau mengulang-ulang nasihatnya dengan bahasa-bahasa yang indah dalam sebagian besar isi kitab tersebut.

 

Pada halaman 218 dan 222 Beliau menuliskan doa dengan semangat optimisme sebagai berikut:

 

“Kita mohon perlindungan kepada Allah agar pada tahun ini tidak mengirimkan thaun kepada kita dan juga agar melimpahkan kesehatan, meliputi kita dengan kelembutan-Nya yang mencukupi, yang menyembuhkan, yang luhur dan sempurna.”

 

Tidak lupa, Beliau juga memberikan nasihat yang sangat berharga untuk kaum muslimin sebagai berikut:

 

“Ahli fikih mengatakan, sekarang waktu yang tepat untuk bersyukur dengan benar dan hendaklah niat menyucikan diri dan menjauhi dosa selalu diingat. Maka sadarlah kalian dari kelalaian, tinggalkanlah bermain-main, berbuat sia-sia dan bersenang-senang yang tiada berguna. Jadilah kaum yang selalu berpuasa dan gemar bersedekah.” (Kitab Al-Maqamah ad-Durriyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun karya Imam Suyuthi, Penerbit Darul Qalam, Damaskus, tanpa tahun, hal. 224).

 

Energi doa yang dipanjatkan lengkap dengan tawasul amal saleh hendaknya juga diimbangi dengan upaya lahiriah berupa kewaspadaan. Imam as-Suyuthi tidak lupa mengingatkan pentingnya sikap berhati-hati dalam menghadapi pandemi dengan syair yang tercantum di halaman 218 kitab tersebut:

 

“Terkadang orang yang berhati-hati itu mendapatkan beberapa hajatnya.

 

Terkadang jika disertai dengan ketergesa-gesaan, dia tergelincir.”

 

Syair tersebut sangat pas dengan kondisi pandemi saat ini. Melandainya kasus Covid-19 perlu dijaga dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dan vaksinasi. Ulama telah mengajarkan optimisme kepada umat Islam dalam menghadapi pandemi. Sebagai seorang Muslim yang mencintai ulama terdahulu, selayaknya kita meneladani sikap yang telah diajarkan oleh Imam as-Suyuthi dengan tidak lupa bahagia agar imun tetap terjaga, tetap waspada, berdoa dan beramal saleh.

 

Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti di Bidang Farmasi