Hikmah

Renungan Tobat Ramadhan

Kam, 30 April 2020 | 15:15 WIB

Renungan Tobat Ramadhan

Tobat bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, bahkan bagi orang yang merasa dirinya tidak pernah melakukan dosa.

Ramadhan kali ini sangat berbeda dengan Ramadhan sebelumnya. Kita dihadapkan dengan keadaan yang asing lagi aneh. Dalam keadaan seperti ini, kita perlu merenung dan mengambil hikmah dari keadaan yang sedang kita hadapi, dan bergerak maju untuk mengenali segala dosa dan kekurangan yang ada pada diri kita. Untuk itu, kita perlu merenungi pintu tobat yang ada di depan kita, dan memasukinya.

 

Renungan tobat ini akan diawali dengan kisah sederhana yang disampaikan Sayyid Abdul Aziz al-Darani. Berikut kisahnya:

 

وغضب بعض الملوك علي وزيره فأرد أن يصرفه عن خذمته ويبعده عن حضرته, فقال له الوزير: إن كان ولابد فرد عليّ ما أنفقته في خذمتك, فقال: ما هو؟ قال: شبابي رده عليّ فقد أنفقته في خذمتك فأعجب الملك ذلك ورضي عنه

 

“Seorang raja marah pada menterinya, ia ingin memecatnya dari pengabdiannya dan menyingkirkannya dari kekuasaannya. Kemudian menteri itu berkata pada raja: ‘Jika pemecatan ini terjadi, kembalikan padaku segala yang kukorbankan untuk mengabdi kepadamu.’ Raja bertanya: ‘Apa itu?’ Sang menteri menjawab: ‘Masa mudaku. Tolong kembalikan semua masa mudaku yang telah kuhabiskan untuk mengabdi kepadamu.Sang raja terkejut mendengar jawaban itu dan tidak jadi marah pada menterinya” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 154)

 

Apa maksud Sayyid Abdul Aziz al-Darani memasukkan kisah di atas dalam kitabnya? Kita akan uraikan perlahan-lahan.

 

Dengan memasukkan kisah di atas, Sayyid Abdul Aziz al-Darani ingin menekankan pentingnya masa muda, bahwa tobat tidak melulu harus dilakukan ketika sudah tua. Tobat harus dilakukan sejak dini, setiap saat, dari mulai baligh sampai ajal menjemput. Jangan anggap masa lalu adalah masa yang sangat jauh dari sekarang. Sedetik saja waktu berlalu, itu telah menjadi masa lalu, tidak dapat diulang kembali.

 

Karena itu, Allah dan nabi-Nya tidak pernah mensyaratkan “tua” sebagai salah satu syarat diterimanya tobat. Tobat bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja, bahkan bagi orang yang merasa dirinya tidak pernah melakukan dosa. Dia harus tobat dari perasaannya itu, karena tidak ada manusia yang tidak membawa beban dosa selain para nabi.

 

Di halaman sebelumnya, Sayyid Abdul Aziz al-Darani mengutip sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar dan seorang pemuda. Dalam riwayat itu dikatakan:

 

ونظر عمر بن الخطّاب رضي الله عنه إلي غلام يتردد في الأسحار إلي المساجد وعليه حبة صوف فقال له: يا غلام لقد أسرعت, فقال: يا أمير المؤمنين ليس كل ثمر يدرك النضج

 

“(Sayyidina) Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh pernah melihat seorang pemuda yang merutinkan dirinya mendatangi masjid di waktu sahur, ia mengenakan pakaian shuf. Sayyidina Umar berkata kepadanya: ‘Wahai pemuda, sungguh kau telah terburu-buru.’ Pemuda itu menjawab: ‘Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, tidak semua buah menjumpai masa matangnya” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 152).

 

Ada cara pandang menarik yang disampaikan pemuda itu. Dia menyadari betul bahwa tidak semua buah bertemu masa matangnya. Artinya, tidak semua usia bertemu masa senjanya. Kesadaran inilah yang membuatnya tidak membuang-buang waktu untuk berdekatan dengan Tuhannya. Sayyidina Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “mâ min syai’in ahabbu ila Allah min syâbb tâ’ib—tidak ada yang lebih disukai Allah daripada seorang pemuda yang bertobat” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 152).

 

Pertanyaan Sayyidina Umar harus dipahami sebagai caranya mendidik dan memberi pelajaran, seakan-akan ia sedang mengukur kedalaman istiqamah pemuda tersebut. Sayyidina Umar sudah melakukan kegiatan mendatangi masjid di waktu sahur sejak lama. Jika ia tidak melakukannya, tentu ia tidak akan tahu kebiasaan pemuda tersebut. Karena itu, pertanyaannya adalah bentuk pendidikan. Ia ingin menjaga istiqamah pemuda tersebut. Bagi orang yang telah bertahun-tahun lamanya melakukan kegiatan tersebut, mungkin Sayyidina Umar telah melihat banyak pemuda yang muncul dan pergi. Untuk beberapa saat mereka sangat rajin, di saat lainnya mereka tak lagi terlihat batang hidungnya.

 

Kembali ke pembahasan awal. Bulan Ramadan adalah bulan ampunan. Karena itu, Sayyid Abdul Aziz al-Darani mendorong umat Islam, khususnya para pemuda untuk memasrahkan dosa-dosanya kepada Allah, dengan tobat yang sungguh-sungguh. Rasulullah SAW bersabda:

 

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدّم من ذنبه

 

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu” (HR. Imam al-Bukhari).

 

Kemudian, Sayyid Abdul Aziz al-Darani menyampaikan nasihatnya kepada kita. Katanya:

 

يا من يطمع أن يلحق بالعاملين وهو راقد في مهاد الغافلين, فارق أوطان غفلتك فلعلك تصحو من سكرة فترتك

 

“Wahai orang yang menggebu-gebu untuk mendapatkan (pahala atau kemuliaan) orang-orang yang beramal, sementara ia tidur terlelap dalam bantal orang-orang yang lalai. Jauhilah rumah kelalaianmu, semoga saja kau bisa sembuh dari masa-masa mabuk (yang melalaikanmu itu)(Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 155).

 

Manusia sering kehilangan kesadaran bahwa Tuhan sedang mengawasinya, dan memberikannya banyak anugerah. Meski demikian, setiap manusia memiliki hasrat untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tapi antara keinginan dan penerapannya tidak seimbang. Keinginan hanya tinggal keinginan, yang kemudian berlalu begitu saja. Karena itu, Sayyid Abdul Aziz al-Darani menegur manusia dengan ungkapan, “wahai orang-orang yang menggebu-gebu untuk mendapatkan pahala/kemuliaan orang-orang yang beramal, sementara ia sendiri tidur terlelap dalam bantal kelalaian.”

 

Kelalaian inilah yang membuat keinginan manusia untuk beramal baik dan bertobat kepada-Nya selalu tertunda, dan akhirnya keinginan tersebut menjadi masa lalu. Apakah kita juga demikian?

 

Wallahu a’lam...

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen