Hikmah

Saat Gus Dur Dipanggil Sang Kakek ke Tebuireng

Sel, 6 Maret 2018 | 02:21 WIB

Siang itu, di rumah sederhana penuh kehangatan dan keakraban, dua orang sahabat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) membincang segala seuatu dengan renyah penuh humor-humor segar.

Gus Dur yang ditemani istrinya Sinta Nuriyah duduk lesehan bahkan terkadang tiduran di rumah Gus Mus. Konon, seperti diriwayatkan oleh KH Husein Muhmmad Cirebon, pertemuan kedua sahabat tersebut terjadi sekitar seminggu sebelum Gus Dur berpulang atau wafat.

Gus Dur memang kerap mampir di kediaman Gus Mus. Pertemuan terakhir dengan Gus Mus di Leteh, Rembang itu memang sedikit mengundang tanda tanya. Hal itu muncul mengingat Gus Dur masih dalam kondisi sakit. Bahkan, selama 10 hari, Gus Dur sulit makan.

Namun, di rumah Gus Mus, Gus Dur justru begitu semangat melahap makanan sederhana yang disediakan oleh Gus Mus dan keluarga. Hal ini membuat Sinta Nuriyah sedikit terkesiap karena selama hampir dua minggu Gus Dur sulit makan. 

Dalam momen berharga tersebut, Gus Mus mengungkapkan, seperti biasa Gus Dur datang ke rumahnya sekadar ingin bertemu, istirahat, dan lesehan di atas tikar sambil ngobrol ke sana kemari, kadang sambil tiduran. 

Jika kami bertemu, Gus Dur akan bercerita tentang situasi bangsa dan negara, keadaan NU, keadaan para kiai, dan satu hal yang tidak pernah ditinggalkan Gus Dur: bercerita hal-hal unik, menarik, dan lucu-lucu yang membuat kami dan semua orang tertawa terbahak-bahak. Gus dur selalu saja membawa cerita unik, lelucon atau humor-humor baru, seperti tak pernah habis. (Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)

Seperti itulah ungkapan Gus Mus setiap ngobrol santai bersama Gus Dur. Suasana obrolan didukung oleh interior ruang tamu di rumah Gus Mus yang terlihat begitu hangat dan santai. Dua sahabat tersebut larut dalam cerita-cerita menyegarkan tanpa kering substansi.

Pembawaan Gus Dur yang santai juga diungkapkan oleh Ahmad Tohari (Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa, 2017). Awal mengenal Gus Dur lewat tulisan-tulisannya di media massa pada 1970-an, Ahmad Tohari melihat bahwa Gus Dur adalah sosok cerdas dan serius. Setidaknya, pria kelahiran Banyumas tersebut melihat dari gagasan dan kaca mata berlensa tebal yang dipakai Gus Dur.

Penilaian cerdas sudah pasti iya, namun penilaian serius melenceng jauh. Karena setelah ia bertemu dan bertatap muka langsung dengan Gus Dur pada tahun 1980-an, Ahmad Tohari justru merasakan kehangatan dan sikap santai seorang Gus Dur. Belum lagi guyonan-guyonan cerdas yang keluar dari mulutnya membuat siapa saja dapat merasakan suasana cair ketika berhadapan dengan Gus Dur.

Obrolan bareng Gus Mus hampir selesai. Walaupun Gus Dur mengatakan bahwa mampirnya dia hanya sebentar, tetapi tak terasa hampir dua jam berlalu dua sahabat itu bercengkerama. Sedang asyik-asyiknya ngobrol dan bercanda ria, tiba-tiba Gus Dur bilang, “Gus Mus, aku harus segera berangkat ke Tebuireng, aku dipanggil Si Mbah.”

Gus Mus paham betul apa yang dimaksud ‘Si Mbah’ oleh Gus Dur. Ia adalah Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur. Gus Dur kemudian bangkit dan mohon pamit kepada Gus Mus dan keluarganya untuk meneruskan perjalanan ke Jombang memenuhi panggilan kakeknya yang ‘dibisikkan’ kepadanya itu.

Jika Si Mbah sudah memanggil, Gus Dur akan segera datang, tanpa berbicara papun. Begitu pula jika ibunya memanggil. Di tengah perjalanan menuju Tebuireng, tetiba Gus Dur juga ingin menyambangi atau berziarah ke makam Mbah Wahab Chasbullah Tambakberas, guru pertama yang mengajari Gus Dur kebebasan berpikir.

Setelah itu, Gus Dur langsung menuju ke makam kakek, ayahnya dan anggota keluarga lainnya di Tebuireng. Gus Dur berjalan kaki menuju makam. Seperti biasa, Gus Dur membaca tahlil dan berdoa dengan khusyu beberapa saat. Konon diceritakan, Gus Dur tidak hanya sekadar berdoa, tetapi ia sedang berbicara dengan sang kakek. Wallahu a’lam bisshowab. (Fathoni Ahmad)