Hikmah

Tiga Ciri Hamba yang Dikehendaki Baik

Kam, 16 Februari 2017 | 09:35 WIB

Tiga Ciri Hamba yang Dikehendaki Baik

Gambar ilustrasi.

Setiap manusia tentu ingin menjadi orang yang baik. Karena sejatinya kehidupan akan membaik ketika manusia pun juga memulai kebaikan dari dirinya sendiri terlebih dahulu. 

Kebaikan yang selalu mereka dambakan, bukanlah tak berarti. Melainkan kebaikan itulah yang akan membantu mereka meraih ridho Allah Ta'ala. Karena Allah adalah dzat Yang Maha Baik, maka Allah juga mencintai hamba yang baik. 

Dalam kitab Nashoihul Ibad, Karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang merupakan syarah atas kitab Syekh Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Asqolani (Ibnu Hajar Al-Asqolani) dijelaskan, terdapat 3 kriteria seorang hamba yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik. Syekh Nawawi berkata:

اذا أراد الله بعبد خيرا فقهه في الدين 

Ketika Allah menghendaki seorang hamba untuk menjadi orang baik, maka Allah menguatkan agamanya. 

Ciri yang pertama adalah agama seorang hamba tersebut dikuatkan oleh Allah. Dikuatkanlah keimanannya. Sehingga hamba tersebut tetap teguh menapaki jalan kebaikan, meskipun godaan malang melintang. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

من يرد الله به خيرا يوفقه في الدين

Barang siapa yang dikehendaki menjadi baik maka dikuatkanlah ia dalam perkara agama.

Lebih lanjut dalam kitab Nashoihul Ibad dikatakan:

و زهده في الدنيا

Dizuhudkanlah hamba tersebut didalam perkara dunia.

Hamba yang baik, adalah hamba yang tidak tergiur sedikitpun akan gemerlap dunia. Ia berpikir bahwa dunia hanyalah tempat singgah semata. Hanya perkara yang fana. Hamba yang baik hanya mengingat satu perkara, yaitu janji Allah akan kehidupan akhirat yang kekal adanya. Ia ingat betul akan peringatan Rasulullah tentang perkara dunia, bahwa:

حب الدنيا رئس كل خطيأت

Cinta dunia adalah pokok dari segala keburukan.

Imam Nawawi menjelaskan ciri ke tiga dengan kalamnya:

و بصره بعيوب نفسه

Dan diperlihatkanlah aib-aib dalam dirinya sendiri.

Hamba yang baik tidak sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna. Mencari-cari aib sesamanya. Membicarakan keburukan orang lain. Terlebih, merasa dirinya lebih baik dan memandang orang lain terlalu buruk. Sungguh, hal tersebut jauh dari diri seorang hamba yang baik. Hamba yang baik adalah hamba yang tidak pernah membicarakan keburukan orang lain. 

Ia oleh Allah disibukkan dengan aib-aib pribadinya. Ia disibukkan dengan berintrospeksi diri, Muhasabatun Nafsi. Mencari-cari kekurangan diri sendiri untuk kemudian ia perbaiki agar kelak ia benar-benar menjadi hamba yang baik. Hal ini senada dengan perkataan ulama ahli hikmah:

طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس

Beruntunglah bagi orang yang disibukkan dengan aib pribadinya dari pada aib-aib manusia.

Terlepas dari itu semua, Ba'dul Hukama', sebagian ulama ahli hikmah juga menerangkan bahwa sesungguhnya manusia sudah bisa meraba-raba nasibnya apakah ia ditakdirkan manjadi orang baik atau sebaliknya yaitu dengan melihat aktifitas sehari-harinya. Apakah ia dimudahkan dalam kebaikkan ataukah tidak. Jika iya, maka ia benar-benar ditakdirkan menjadi orang baik. Karena mereka (ulama ahli hikmah) berkata:

كل ميسر لما خلق له

Tiap-tiap manusia itu dimudahkan untuk apa ia diciptakan.

Jadi, ketika seorang hamba selalu diliputi dengan kebaikan-kebaikan, maka beruntunglah manusia itu. Ia ditakdirkan menjadi orang baik. Jika sebaliknya, na’udzubillah min dzalik.

(Ulin Nuha Karim)

Disarikan dari pengajian yang diampu oleh Pengasuh Pondok Pesantren Sirojuth Tholibin Grobogan, Jawa Tengah, KH Muhammad Shofi Al-Mubarok.