Ilmu Al-Qur'an

Pola Penulisan Al-Qur’an, dari Nabi atau Ijtihad Sahabat?

Sel, 27 November 2018 | 11:00 WIB

Pola Penulisan Al-Qur’an, dari Nabi atau Ijtihad Sahabat?

Nabi memerintahkan para sahabat menulis Al-Qur’an namun beliau tidak menunjukkan pola tertentu dan tidak melarang menulis pola tertentu juga.

Pola penulisan mushaf dalam Al-Qur’an yang sekarang beredar adalah Rasm Utsmani. Kata “utsmanî” sendiri merujuk kepada nama khalifah ketiga, yaitu Utsman bin Affan, atas jasa dan kontribusinya dalam pembukuan dan pembakuan Al-Qur’an secara sempurna dan utuh. 
 
Pola penulisan mushaf ini, sebagaimana disinggung pada pembahasan yang lalu, tidak memiliki kaidah yang baku sesuai dengan penulisan bahasa Arab secara konvensional.
 

Sehubungan dengan itu, para ulama berbeda pendapat tentang pola penulisan Al-Qur’an ini, apakah pola penulisan ini sesuai petunjuk Nabi (tauqifî) atau hasil itijhad para sahabat? 
 
Dalam kitab Manahilul Irfân karya Syekh Abdul Adhim al-Zurqani dijelaskan bahwa perbedaan ini terbagi dalam tiga pendapat:
 
Pertama, pendapat mayoritas ulama, menurutnya pola penulisan Al-Qur’an dalam mushaf adalah bersifat tauqifî, yaitu sesuai petunjuk dan perintah Nabi. Hal ini didasarkan pada dua hal: (1) penulisan Al-Qur’an dilakukan oleh kuttab al-wahyi (para penulis Al-Qur’an) di masa Nabi ﷺ. Apa yang ditulis oleh mereka tentu telah mendapatkan persetujuan dari Nabi; (2) tulisan ini tetap ada dan terus berlanjut pada masa Abu Bakar, dan pada masa Utsman bin Affan hingga sampai masa para tabi’in (generasi yang menjumpai sahabat) dan tabi’it tabi’in (generasi yang menjumpai tabi’in). Dengan demikian, penulisan ini merupakan kesepakatan sahabat. Tidak mungkin para sahabat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan penetapan Nabi, baik menambah huruf maupun menguranginya tanpa petunjuk Nabi.
 
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, “Haram hukumnya menyalahi penulisan Rasm Utsmanî, baik dalam penulisan huruf, ya’, alif, dan wawu.”
 
Kedua, sebagian ulama, termasuk Imam al-Baqillanî dan Ibnu Khaldun, berpendapat bahwa penulisan Al-Qur’an dalam mushaf itu merupakan hasil ijtihad para sahabat Nabi. Tidak bersifat tauqifî. Hal ini didasarkan pada dua fakta: (1) tidak ditemukan nash (dalil) baik berupa ayat Al-Qur’an maupun sunnah, yang menunjukkan keharusan menulis Al-Qur’an sesuai Rasm Utsmanî; (2) seandainya pola penulisan mushaf itu bersifat tauqifî, sesuai petunjuk Nabi, kenapa menggunakan istilah “rasm ustmanî” bukan “rasm nabawî”?.
 
Imam al-Baqillanî menyatakan bahwa sunnah menuliskan Al-Qur’an dengan pola yang mudah, sebab Nabi memerintahkan para sahabat menulis Al-Qur’an namun beliau tidak menunjukkan pola tertentu dan tidak melarang menulis pola tertentu juga.
 
Oleh sebab itu, bentuk dan model penulisan itu tidak lain hanyalah suatu tanda atau simbol. Segala bentuk serta model penulisan Al-Qur’an yang menunjukkan arah bacaan yang benar, dapat dibenarkan. Sedangkan rasm utsmani yang menyalahi rasm imla’î  (menurut kaidah penulisan Arab konvensional) yang dikenal masyarakat, menyulitkan banyak orang dan dapat mengakibatkan kesulitan dan keserupaan bagi pembaca.
 
Ketiga, pendapat ini sepertinya ingin mengakomodasi dua pendapat di atas dengan melihat kebutuhan dan kondisi sosialnya. Di satu sisi memperbolehkan bahkan mengharuskan menulis Al-Qur’an dengan menggunakan pola imla’î, dalam rangka memudahkan masyarakat umum. Artinya, bagi mereka yang tidak mengerti, tidak boleh menulis Al-Qur’an dengan Rasm Utsmanî agar tidak jatuh pada keserupaan dan perubahan. 
 
Di sisi yang lain dianjurkan menulis dengan pola Rasm Utsmani untuk menjaga dan melestarikan sebagai warisan yang berharga bagi generasi selanjutnya. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Nawawi dan Imam al-Zarkasyi.
 
Sehubungan dengan ini, Imam al-Zurqanî berkata:
 
 وهذا الرأي يقوم على رعاية الاحتياط للقرآن من ناحيتين: ناحية كتابته في كل عصر بالرسم المعروف فيه إبعادا للناس عن اللبس والخلط في القرآن وناحية إبقاء رسمه الأول المأثور يقرؤه العارفون ومن لا يخشى عليهم الالتباس. ولا شك أن الاحتياط مطلب ديني جليل خصوصا في جانب حماية التنزيل
 
“Pendapat ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi Al-Qur’an dari dua aspek: pertama, yaitu penulisan Al-Qur’an dengan penulisan yang dikenal (masyarakat umum), agar terhindar dari keserupaan dan kekacauan dan kesalahan dalam membacanya. Kedua, upaya pelestarian rasm-nya yang orisinil, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mengerti (arif), yang tidak dikhawatirkan terjadi kekacauan dalam membacanya. Tidak diragukan lagi bahwa berhati-hati merupakan tuntutan agama yang agung, utamanya dalam hal menjaga Al-Qur’an”.
 
Oleh karena itu, dari tiga pendapat di atas, penulis menyimpulkan sebagai berikut: 
 
1. Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Muslim di seluruh dunia. Penulisan Al-Qur’an dengan pola Rasm Utsmani, jika tidak dikatakan sebagai petunjuk Nabi, ia merupakan suatu kesepakatan para sahabat. Kesepakatan sahabat memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yang wajib diikuti oleh kaum Muslim. Termasuk pola penulisan Al-Qur’an.
 
2. Penulisan Al-Qur’an dengan pola Rasm Utsmani merupakan sunnah yang harus dikuti. Hal ini dinyatakan dalam kitab al-Minhaj fi fiqh al-Syafi’i, “Kalimat (الربوا) ditulis dengan wawu dan alif sebagaimana dalam Rasm Utsmani. Dalam Al-Qur’an tidak ditulis dengan ya’ dan alif, karena Rasm Utsmani adalah sunnah yang harus diikuti.”
 
3. Pola penulisan Al-Qur’an sesuai dengan Rasm Utsmani adalah sebuah keniscayaan, utamanya penyatuan pola penulisan Al-Qur’an bagi seluruh ummat Muslim dengan rasm utsmani, agar seragam sesuai dengan penulisan awal dan agar terhindar dari fitnah. Sehingga tidak ada ungkapan-ungkapan yang muncul, “Mushaf kami lebih bagus dari mushaf kalian, rasm kami lebih baik daripada rasm kalian!” 
 
4. Boleh menulis Al-Qur’an tanpa menggunakan Rasm Utsmani apabila digunakan untuk kepentingan pembelajaran bagi orang masyarakat awam, umumnya di kalangan sekolah-sekolah yang masih butuh pengetahuan tentang bahasa Arab.
 
5. Pola penulisan Al-Qur’an dengan rasm utsmani memiliki banyak keistimewaan, salah satunya adalah memiliki petunjuk pada makna yang tersembunyi, seperti dalam surat al-Dzarîat ayat 47, pada lafadz (بأييد).
 
والسماء بنيناها بأييد
 
Dalam lafadz tersebut ditambah huruf ya’ setelah huruf ya’, karena mempunyai petunjuk atas keagungan kekuatan Allah ﷻ, yang dapat menciptakan langit, kekuatan ini tidak sama dengan kekuatan makhluknya. Dalam kaidah dikatakan: ziyâdatul mabnâ tadullu ‘alâ ziyâdatil ma‘nâ (penambahan konsonan huruf menunjukkan atas penambahan makna).
 
 
Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo