Ilmu Hadits

Cara Memahami Hadits-hadits yang Bertentangan

Ahad, 17 Desember 2017 | 03:30 WIB

Cara Memahami Hadits-hadits yang Bertentangan

Ilustrasi (via wejdan.org)

Dalam kajian hadits, seseorang akan sangat banyak membaca riwayat dalam satu kitab. Untuk satu tema saja, bisa terdapat sekian banyak lafal hadits yang diriwayatkan oleh berbagai perawi hadits. Belum lagi dengan hadits yang ditemukan dalam kitab lainnya.

Ketika membaca kitab-kitab hadits, seseorang bisa bingung ketika ada hadits-hadits yang saling bertentangan. Sebagai contoh, hadits tentang larangan melakukan ziarah kubur bagi perempuan. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa Nabi melaknat perempuan yang berziarah kubur, sebagai contoh:

عَنْ ابن عباس ،أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَائراتِ القُبُور

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Muhammad SAW melaknat perempuan yang berziarah kubur.”

Hadits tersebut diriwayatkan dalam Sunan an-Nasa’i dan Sunan Abu Dawud melalui sahabat Abdullah bin Abbas. Selain itu ada pula riwayat lain dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam at Tirmidzi dan beberapa ulama lainnya.

Jika hanya membaca riwayat hadits tersebut, seseorang bisa sampai kepada kesimpulan bahwa ziarah kubur itu terlarang bagi perempuan. Inilah yang menjadi kesulitan dari para pelajar yang hanya membaca hadits tertentu tanpa mengetahui redaksi dari riwayat lainnya. Padahal terkait larangan ziarah kubur bagi perempuan itu, banyak hadits yang menyatakan kebolehannya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْمَوْتُ

Artinya: Dari Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah, karena ia dapat mengingatkan akan kematian.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam al Hakim. Hadits ini menyatakan kebolehan ziarah kubur, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Jika sebelumnya Nabi menyebutkan pernah melarang, namun sekarang sudah dibolehkan.

Dari kedua hadits tersebut, para ulama menyimpulkannya sebagai hadits yang shahih, sehingga bisa menjadi dasar hukum. Nah, bagaimana jika ada hadits-hadits yang bertentangan seperti itu? 

Para ahli hadits menyebutkan cara memahami hadits-hadits tersebut adalah ilmu mukhtalaful hadits, atau ilmu tentang hadits-hadits yang saling bertentangan. Terkait cara dan contoh dalam ilmu ini, Anda bisa merujuk karya terkait hadits-hadits bertentangan seperti Ikhtilaful Hadits karya Imam as-Syafi’i dan Ta’wil Mukhtalafil Hadits karya Imam Ibnu Qutaibah.

Ulama menyebutkan beberapa cara untuk mengurainya. Berikut penjelasannya:

Pertama, mengumpulkan riwayat (al-jam’u). Langkah ini diupayakan untuk bisa mengurai masalah perbedaan lafal yang ada, apalagi riwayat-riwayat yang bertentangan ini status hukumnya termasuk hadits yang sahih. Suatu hadits akan dikaji dan dibandingkan satu sama lain, baik dari segi kebahasaan maupun kaitannya dengan hadits lainnya.

Saat mempelajari hadits, maka sebisa mungkin untuk tidak berkesimpulan dahulu sebelum menemukan hadits lain yang ternyata memberikan riwayat lain yang memiliki maksud berbeda dari hadits tersebut. Informasi tunggal, dalam hadits yang sangat begitu banyaknya, kurang baik jika dipahami sepotong-potong, tanpa mempertimbangkan adanya hadits-hadits lain.

Kedua, mengetahui kemungkinan nasikh dan mansukh dari suatu hadits. Menurut ulama, semisal larangan Rasulullah SAW terkait satu hal bisa dibolehkan jika ada keterangan baru yang menyebutkan kebolehannya. 

Oleh sebagian ulama, hadits di atas tentang larangan ziarah kubur di atas termasuk dalam nasikh dan mansukh hadits. Selain melalui pernyataan Nabi sendiri, keterangan nasikh dan mansukh ini bisa diketahui dari keterangan sahabat, catatan sejarah atau ijma’ ulama terkait hal itu.

Ketiga, melakukan tarjih riwayat hadits. Hadits satu dan yang lain, selagi masih bisa diupayakan untuk membandingkan tingkat kesahihan, atau membandingkan riwayat satu dengan yang lain dalam lafalnya. Hal ini tentu dalam tingkatan yang dilakukan para ahli hadits yang sangat mumpuni.

Ketika para ulama tidak menemukan jalan keluar dari tiga metode di atas, para ulama mengambil sikap untuk tidak memberikan kesimpulan terlebih dahulu, atau tawaqquf, sampai ada keterangan lebih lanjut dari orang yang sudah meneliti pertentangan tersebut. Tapi hal ini konon jarang terjadi.

Mengetahui bahwa ternyata dalam periwayatan hadits banyak sekali adanya pertentangan, perlu dipahami bahwa dalam belajar agama, utamanya hadits, tidak dapat hanya sekedar mengenal satu hadits saja, melainkan juga harus mengetahui lainnya. 

Dengan demikian, kesimpulan hukum agama tentang satu hal tidak diambil terburu-buru, apalagi didakwahkan seakan-akan agama menjadi kaku. Ulama terdahulu telah mengajarkan kepada kita, bahwa dalam mempelajari agama, tidak bisa hanya mengandalkan informasi tunggal yang tidak dicermati benar-benar. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)