Ilmu Hadits

Jika ada Hadits yang Berbeda, Apakah Secara Otomatis Bertentangan?

Sen, 20 Mei 2019 | 09:00 WIB

Suatu hari, seorang sahabat menghadap kepada Nabi Muhammad SAW. Ia ingin meminta pendapat dan pengajaran nabi terkait hal apa yang paling utama. Rasulullah SAW menjawab dan memberikan saran bahwa hal yang paling utama adalah jangan marah.

Di lain hari, ketika ada seorang sahabat lain bertanya kepada nabi terkait hal yang paling utama, nabi bukan lagi menjawabnya dengan “jangan marah.” Tetapi dengan hal lain yang berbeda. Lantas, apakah jawaban nabi yang berbeda ini secara otomatis bertentangan?

Kiai Ali Mustafa Yaqub (wafat 2016) menyebutkan bahwa walaupun teks hadits dalam satu tema sangat beragam, namun ia memiliki kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. (Lihat Ali Mustafa Yaqub, At-Ṭuruqus Ṣhaḥīḥah fi Fahmis Sunnatin Nabawīyah, [Ciputat, Maktabah Darus Sunnah: 2016 H], halaman 131).

Kiai Ali Mustafa Yaqub meyakini bahwa hadits pada mulanya bermuara pada satu sumber, yaitu Rasulullah SAW. Terkadang Rasul menyampaikan suatu teks hadits yang tidak disampaikan kepada sahabat yang lain. Selain itu, kadang kala sebuah hadits dalam jalur riwayat yang satu berbeda dengan jalur riwayat lain. 

Hal ini bisa jadi karena Rasul menyampaikan hal yang berbeda dalam dua riwayat tersebut, karena Rasul melihat suatu kebaikan dalam riwayat yang pertama, tetapi tidak melihat kebaikan dalam riwayat lain.

Hal ini juga ditegaskan oleh Yusuf Al-Qaradhawi bahwa perbedaan riwayat dalam suatu hadits bukan berarti secara otomatis bertentangan. (Lihat Yusuf Al-Qaradhawi, Kaifa Nataʽāmal maʽas Sunnatin Nabawīyyah, [Kairo, Darus Syuruq: 2002 M], halaman 133).

Hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Kiai Ali Mustafa, bisa juga berhubungan dengan siapa yang dihadapi oleh Rasulullah SAW. Dalam beberapa kasus, Rasulullah menjawab pertanyaan yang disampaikan kepada beliau dengan jawaban yang berbeda, walaupun pertanyaan yang disampaikan sama.

Misalnya, dalam pertanyaan di atas, “Siapakah orang yang paling mulia.” Dalam satu kasus Nabi SAW mewasiatkan agar tidak marah, di kasus lain, Rasul memerintahkan untuk bersedekah dan lain sebagainya. Itu adalah salah satu contoh bagaimana perbedaan hadits itu dipengaruhi oleh siapa periwayatnya dan siapa mukhattabnya.

Selain itu, terkadang sumber perbedaan ini muncul dari kalangan sahabat atau tabiin yang meriwayatkan matan hadits. Inti matannya satu dari Rasulullah SAW, namun penyampaian redaksinya dari rawi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh kebolehan menyampaikan atau meriwayatkan hadits dengan bil maʽnā (menyampaikan hadits dengan maknanya). Terkadang juga hadits dari Rasulullah dalam suatu riwayat disampaikan dengan lebar dan dalam riwayat lain disampaikan dengan ringkas. (Lihat Ali Mustafa Yaqub, At-Ṭuruqus Ṣhaḥīḥah fi Fahmis Sunnatin Nabawīyah, [Ciputat, Maktabah Darus Sunnah: 2016 H], halaman 131).

Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 242 H) mengungkapkan bahwa jika tidak mengumpulkan seluruh jalur periwayatan hadits, maka kita tidak akan bisa memahaminya. Menurut Imam Ahmad, hadits yang satu dan yang lainnya itu saling menafsirkan. Hal ini juga ditegaskan oleh Qadhi Iyadh bahwa hadits yang jelas pengertiannya akan menjelaskan hadits lain yang musykil. (Lihat Al-Khaṭib Al-Baghdadi, Al-Jāmīʽ li Akhlāqir Rāwī wa Adabis Sāmīʽ, [Beirut, Maktabah Al-Maʽarif: 1989 M], juz IV, halaman 388).

Hal ini juga menunjukkan bahwa harus ada pemahaman penuh terhadap konteks situasi dan kondisi sosial pada saat Rasul SAW menyampaikan hadits saat itu. Analisis konteks sosio-historis sendiri penting untuk memahami bagaimana lahirnya suatu teks hadits.

Untuk memahami konteks ini, seseorang membutuhkan pengetahuan akan kehidupan Nabi SAW secara mendetail baik di Mekkah maupun Madinah; iklim sosial, ekonomi, politik dan hukum;  norma, hukum, adat, kebiasaan, institusi dan nilai yang berlaku di wilayah tersebut. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits.