Ilmu Hadits

Perempuan-perempuan Pekerja dalam Kajian Hadits

Sen, 12 Juli 2021 | 23:00 WIB

Perempuan-perempuan Pekerja dalam Kajian Hadits

Saat itu Nabi jelas-jelas mengetahui bahwa Ummu Ma’bad bekerja. Jika Nabi melarang perempuan bekerja, Nabi pasti akan melarang, bukan malah mengatakan bahwa hasil tanamannya bisa bernilai pahala.

Akhir-akhir ini gerakan domestifikasi perempuan mulai digaung-gaungkan sejumlah kelompok. Mereka menyatakan bahwa fitrah perempuan adalah berdiam diri di rumah. Bahkan muncul berbagai satire, misalnya “Wanita betah di rumah itu bukan kuper tapi sunnah.” “Wanita yang bekerja ke luar rumah, setiap langkah kakinya adalah neraka.”


Salah satu ayat yang sering dijadikan sandaran adalah Surat Al-Ahzab ayat 33:


وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى


Artinya,“Tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu.” (Surat Al-Ahzab ayat 33)


Terdapat beragam penafsiran dari para ulama, salah satunya apakah ayat ini ditujukan untuk seluruh perempuan atau dikhususkan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW. Sebab ayat sebelumnya dengan jelas menggunakan panggilan “wahai istri-istri Nabi”


يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا


Artinya, “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik (Surat Al-Ahzab ayat 32).


Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengutip perkataan Thahir bin Asyur, perintah ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban. Sedang bagi perempuan-perempuan muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni tidak wajib, tetapi sangat baik.


Sedangkan Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa perintah pada ayat ini berlaku untuk umum. Perempuan muslimah dilarang keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Sejalan dengan Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa perempuan dilarang keluar rumah jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama.


Perlu kita ketahui pula bahwa istri-istri Rasulullah diperintahkan tinggal di rumah untuk mengkaji Al-Qur’an dan ilmu. Terlebih suami mereka adalah Rasulullah SAW, sumber ilmu dan teladan bagi umat Islam. Sebagaimana lanjutan ayat di atas:


وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا


Artinya ingatlah apa yang dibaca di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Maha Lembut, Maha Mengetahui (Surat Al-Ahzab ayat 34).


Jika ayat-ayat di atas hanya dipahami sebagai larangan perempuan keluar rumah, maka konsekuensinya ayat-ayat di atas bisa dijadikan dalil untuk melarang perempuan bekerja.


Agar komprehensif dalam memahami teks agama, kita perlu melihat hadits sebagai salah satu sumber tradisi masa nabi. Tidak ditemukan hadits yang secara eksplisit melarang perempuan bekerja, justru menurut nabi, perempuan yang bekerja, maka ia mendapatkan dua pahala.


Hal ini bisa dilihat dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Ibn Hibban, Abu Dawud dan At-Thabrani. Dikisahkan, Zainab bin Abdullah At-Tsaqafiyah adalah tulang punggung keluarga. Selain menafkahi suaminya, ia juga menafkahi anak-anak yatimnya. Ia pun meminta kepada suaminya untuk bertanya kepada Rasul. Namun sang suami malah memintanya untuk bertanya sendiri.


Zainab lalu menuju kediaman Rasulullah SAW, ternyata di depan pintu rumah beliau sudah ada seorang perempuan Ansor yang juga hendak menanyakan hal yang sama dengannya.


Kebetulan, Bilal melintas di hadapan mereka, Zainab pun memanggil Bilal dan berkata, “Tolong tanyakan kepada Nabi Muhammad SAW, apakah aku akan dapat pahala jika menafkahi suamiku dan anak-anak yatim di pangkuanku? Tapi tolong jangan beritahu siapa kami.”


Bilal pun masuk ke rumah Rasulullah SAW dan menanyakan pertanyaan Zainab. Nabi pun bertanya kepada Bilal identitas penanya. Setelah tahu sang penanya, barulah Nabi SAW menjawab,


قَالَ : نَعَمْ لَهُمَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ ، وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ


Artinya, “Ya, dia mendapatkan dua pahala, pahala nafkah keluarga dan pahala sedekah.” (Lihat Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, [Beirut, Dar Thuq Najah: 1422 H], juz II, halaman 121). Karena diriwayatkan oleh Al-Bukhārī, hadits ini bisa dipastikan kesahihannya.


Terdapat juga hadits lain riwayat Muslim yang mengisahkan seorang sahabat nabi yang bekerja di suatu kebun kurma.


فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ


Artinya, “Setiap biji yang ditanam seorang muslim dan hasilnya dimakan manusia maupun hewan, maka itu bernilai sedekah sampai hari kiamat.”


Saat itu Nabi jelas-jelas mengetahui bahwa Ummu Ma’bad bekerja. Jika Nabi melarang perempuan bekerja, Nabi pasti akan melarang, bukan malah mengatakan bahwa hasil tanamannya bisa bernilai pahala.


Selain mempertimbangakan teks-teks Al-Qur’an dan hadits, kita juga perlu melihat dari sisi sejarah karena sejarah adalah bagian penting dalam memahami hadits. Apakah perempuan di masa Nabi SAW hanya di rumah saja dan dilarang bekerja?


Mengikuti Ibadah Berjamaah

Para perempuan di masa Nabi Saw juga senantiasa mengikuti ibadah berjamaah, dari mulai shalat di masjid, i’tikaf, haji dan umrah, hingga menghadiri khotbah dan majelis-majelis ilmu.


Ummu Hisyam binti Haritsah bin Nu’man misalnya. Ia sering kali mengikuti khutbah dan shalat berjamaah bersama Nabi Muhammad SAW hingga perempuan ini hafal seluruh Surat Qaf langsung dari lisan Rasulullah SAW sebagaimana pengakuannya:


“Aku menghafal seluruh Surat Qaf, benar-benar dari lisan Rasulullah SAW secara langsung. Aku dengar dari khotbah-khotbah beliau,” (HR Muslim).


“Aku tidak mengambil (menghafal) Qaf wal Qur’anil Majid kecuali di belakang Nabi SAW sewaktu beliau membacanya pada saat Shalat Subuh.” (HR Ahmad).


Bekerja di Luar Rumah

Dalam berbagai literatur hadits dan sejarah, para perempuan di masa Nabi SAW juga bekerja dan memiliki keahlian tertentu. Beberapa yang terekam dalam sejarah di antaranya Zainab binti Jahsy (industri rumahan), Zainab Ats-Tsaqafiyah RA (industri rumahan), Malkah Ats-Tsaqafiyah RA (pedagang parfum), Sa’irah Al-Asadiyah RA (penenun), Asy-Syifa’ binti Abdullah Al-Quraisyiyah Ra (perawat), dan Ummu Ra’lah Al-Qusyairiyah RA (perias wajah).


Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah SAW juga dikenal sebagai pebisnis sukses pada masanya. Ia bahkan mampu mengelola bisnisnya hingga lintas negara.


Selain Khadijah, ada pula Qailah Ummu Bani Anmar. Dalam sebuah riwayat Ibnu Majah, disebutkan bahwa Qailah pernah mendatangi Nabi Muhammad SAW dan bertanya:


“Ya Rasulullah, aku seorang wanita yang biasa melakukan transaksi jual beli, apabila aku ingin membeli sesuatu aku menawarnya lebih kecil dari yang aku inginkan. Kemudian aku menaikkan tawaran, lalu menaikkannya lagi hingga mencapai harga yang aku inginkan. Apabila aku ingin menjual sesuatu, maka aku tawarkan lebih banyak dari yang aku inginkan, kemudian aku menurunkannya hingga mencapai harga yang aku inginkan.”


Rasulullah SAW pun bersabda, “Jangan kamu lakukan wahai Qailah, apabila kamu ingin membeli sesuatu maka tawarlah dengan harga yang kamu inginkan, baik kamu diberi atau tidak. Jika kamu menjual sesuatu maka tawarlah dengan harga yang kamu inginkan sehingga kamu memberikan atau menahannya.”


Yang perlu kita garisbawahi, pada masa itu belum ada jual beli online sehingga perempuan pedagang tentu saja bertransaksi di pasar.


Selain jual beli, ada pula perempuan yang biasa mengembalakan kambing.


Dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan, Ka’ab bin Malik memiliki budak perempuan yang biasa mengembalakan kambing miliknya di kawasan bernama Sal. Suatu hari ada kambing yang sakit dan sekarat, budak perempuan itu segera menajamkan batu kemudian menyembelih kambing itu dengan batu tersebut.


Kalaupun bukan bekerja, perempuan di masa Nabi Saw juga diperbolehkan keluar sendirian untuk sebuah urusan.


Dalam Shahih al-Bukhari juga termaktub bahwa Asma binti Abu Bakr biasa memanggul sebakul biji makanan di kepalanya. Ia mengambil biji-bijian itu dari kebun Zubair, suaminya.


Jarak kebun tersebut dan kediamannya sekitar dua per tiga farsakh (1 farsakh sekitar 5 sampai 5,5 km). Sedangkan ia menempuhnya dengan berjalan kaki.


Suatu ketika, tatkala Asma sedang memanggul biji tersebut, Rasulullah SAW dan beberapa orang laki-laki Ansar lewat. Rasulullah SAW kemudian memanggil kakak iparnya itu dan menawarkannya untuk naik ke unta dan ikut rombongan.


Namun Asma malu untuk ikut bersama rombongan lelaki. Ia juga menyebutkan bahwa suaminya pencemburu. Rasulullah SAW pun mengerti, kemudian beliau pergi sedangkan putri Abu Bakr ini tetap melanjutkan perjalanannya sendiri.


Kontribusi dalam Keilmuan Islam

Selain berjihad, beribadah dan bekerja, perempuan di masa Rasulullah SAW juga berkontribusi dalam bidang ilmu. Terutama istri-istri dan kerabat Nabi Muhammad SAW.


Aisyah misalnya, istri Rasulullah SAW ini, dikenal sebagai perempuan cerdas dan berilmu. Ia bahkan  menduduki urutan keempat dari al-muktsirun fi ar-riwayah (orang-orang yang paling banyak meriwayatkan hadits).


Banyak sahabat dan tabiin yang mendatanginya untuk menimba ilmu. Putri Abu Bakr ini bahkan memiliki 77 murid laki-laki dan 8 perempuan, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in.


Penulis sendiri belum mengetahui apakah Aisyah memiliki majelis khusus untuk mengajarkan murid-muridnya atau mereka yang mendatangi ummul mukminin ini ke kediamannya. Meskipun demikian, peranan yang besar ini cukup menjadi bukti bahwa perempuan di masa Nabi SAW juga berinteraksi, belajar, dan mengajar.


Berdiam di rumah bukan berarti menuntut perempuan untuk membatasi diri dan menghindari interaksi. Terlebih di masa kini, ada banyak sekali media untuk menjadikan perempuan tetap aktif dan produktif.


Baik di rumah saja maupun bekerja di luar rumah, keduanya bisa jadi sama baiknya. Bukan berarti perempuan yang bekerja di luar rumah lebih sukses dari ibu rumah tangga biasa. Sebaliknya, istri yang di rumah saja juga belum tentu lebih mulia dari yang bekerja di luar rumah. Semuanya tergantung pada kebermanfaatan yang dilakukan.


Dengan kecepatan perkembangan zaman, di masa kini, maksiat atau dosa pun bisa dilakukan di dalam rumah. Sebaliknya, kebaikan dan kebermanfaatan bisa dihasilkan di luar rumah. Oleh karena itu, hindarilah kemudharatan di mana pun berada.


Baik di rumah maupun di luar rumah, hendaknya para perempuan meniatkan diri untuk beribadah, menjauhi segala maksiat dan dosa, berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan kualitas diri, dan menjadi bermanfaat untuk sesama. Wallahu a’lam bis shawab.

Ustadzah Fera Rahmatun Nazilah, Pegiat Kajian Tafsir dan Hadits.