Dalam hadits dhaif, ada dua pembagian besar yang dilakukan oleh para ulama. Pembagian ini didasarkan pada sebab-sebab suatu hadits dihukumi dhaif (lemah), yaitu: pertama, karena terputusnya sanad (al-mardรปd bi sabab saqtun fi al-isnad) dan kedua, karena cacatnya rawi (al-mardรปd bi sabab แนญaสฝn fi ar-rawi). (Lihat: Mahmรปd al-แนฌaแธฅแธฅรขn, Taysรฎr Muแนฃแนญalah al-แธคadรฎts, [Riyadh: Maktabah Maarif, 2010], h. 76-155.)
Kategori sebab yang pertama yakni terputusnya sanad, memunculkan berbagai pembagian dalam hadits dhaif, seperti: Muallaq, Mursal, Muสฝdhal, Munqathi, Mudallas, Muสฝanสฝan dan Mursal Khafi.
Sedangkan kategori kedua, yaitu karena cacatnya perawi yang meriwayatkan hadits tersebut, juga memunculkan berbagai pembagian, yaitu Maudhu (palsu), Mungkar, Maโruf, Syadz, Muallal, Mukhalafah li as-Siqqah, Mudraj, Muththarrib, Maqlub, dan beberapa jenis yang lain.
Ada beberapa sebab terjadinya daif dalam kategori kedua ini:
Pertama, sering berbohong (muttaham bi al-kadzab): yakni rawi tersebut diketahui sering berbohong dalam ucapannya sehari-hari tetapi tidak diketahui apakah ia berbohong atau tidak dalam meriwayatkan hadits. Konsekuensi dari sebab ini adalah menjadikan hadits yang diriwayatkan menjadi hadits matruk.
Kedua, fasiq: perawi tersebut pernah melakukan suatu dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
Ketiga, pelaku bidโah: rawi melakukan bid'ah, baik dalam keyakinan maupun perbuatan.
Keempat, tidak dikenali (jahรขlah al-สฝain): perawi tidak dikenal atau tidak diketahui perilakunya.
Empat sebab yang telah disebutkan di atas merupakan sebab kecacatan rawi dalam segi สฝadalah (keadilan). Sedangkan sebab berikut adalah sebab kecacatan rawi dalam segi kedhabitan:
Pertama, sering melakukan kesalahan (fahsy al-ghalaแนญ): Hafalan sangat buruk, lebih banyak salah daripada benarnya dalam meriwayatkan hadits
Kedua, sering lupa (ghaflah)
Ketiga, jelek hafalannya (sรปโ al-แธฅifdz): Jeleknya hafalan rawi sehingga ia sering salah dalam dalam meriwayatkan hadits.
Keempat, ragu-ragu (wahm): Rawi sering salah sangka dalam periwayatan, semisal mengira atsar yang mauquf menjadi hadits marfu', mengira hadits munqathi' adalah muttasil.
Kelima, berbeda dengan riwayat orang-orang yang terpercaya (mukhalafah al-tsiqqah). (Lihat: Mahmรปd al-แนฌaแธฅแธฅฤn, Taysรฎr Muแนฃแนญalah al-แธคadรฎts, [Riyadh: Maktabah Maarif, 2010], h. 76-155.)
Oleh karena itu, karena hadits menjadi landasan hukum setelah Al-Qurโan maka ia harus dipastikan kesahihannya, terlebih harus dipastikan siapa yang meriwayatkan hadits tersebut, apakah periwayat tersebut memiliki sifat yang sama sebagaimana sebab-sebab dalam kategori di atas. Jika benar, maka hadits yang diriwayatkan bisa termasuk dalam kategori dhaif atau bahkan maudhu' (palsu).
Sebab dan kriteria di atas juga bisa kita gunakan untuk menilai suatu berita yang dibawa oleh seseorang. Jika pembawa berita tersebut ternyata memiliki sifat atau kriteria yang sesuai dengan kecacatan rawi di atas, maka perlu juga kita pertanyakan keabsahan berita yang dibawanya. Wallahu Aโlam.
Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah