Ilmu Hadits

Sunnah dan Bidah Menurut Hadratussyekh KH M Hasyim Asyari

Sen, 19 Desember 2022 | 11:00 WIB

Sunnah dan Bidah Menurut Hadratussyekh KH M Hasyim Asyari

Pembagian sunnah dan bidah berangkat dari kategorisasi dalam memahami kedua kata tersebut. (Ilustrasi: NU Online)

Hadratussyekh Hasyim Asyari adalah tokoh pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus Rais Akbar organisasi keislaman dengan jumlah anggota terbanyak sedunia. Ada banyak aktivitas yang beliau jalani sepanjang hidup.


Di antaranya ialah menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, mengurus organisasi NU, dan di tengah kesibukan tersebut beliau menyempatkan diri untuk menulis berbagai karya yang banyak berfokus pada penguatan akidah warga jamiyyah beliau.


Salah satu di antaranya ialah Kitab Risalah Ahli Sunnah wa al-Jamaah fi Hadits al-Mauta wa Asyrat al-Sa’ah wa Bayan Mafhum Ahl Sunnah wa al-Jamaah yang kalau diterjemahkan menjadi: Risalah Ahlussunnah wal Jamaah: Analisis Tentang Hadits Kematian, Tanda-Tanda Kiamat, dan Pemahaman tentang Sunnah dan Bidah.


Terjemahan buku ini telah diterbitkan oleh Lembaga Ta’mir Masjid Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada tahun 2011.


Salah satu tema menarik yang dipaparkan oleh Hadratussyekh dalam kitab ini ialah tentang sunnah dan bid’ah. Sebuah tema yang sejak lampau ditulis oleh beliau namun masih saja menjadi perdebatan hingga sekarang.


Dalam menjelaskan kata “sunnah” Hadratussyekh menunjukkan makna lafzhi (kebahasaan), ‘urfi (keumuman) dan ishtilahi (keistilahan syariat) dari kata tersebut. Di mana secara lafzhi, sunnah berarti jalan walaupun itu jalan yang tidak diridhai.


Secara ‘urfi sunnah ialah ajaran yang diikuti secara konsisten oleh para pengikut, baik ajaran tersebut berasal dari Nabi atau para wali sehingga pengikut sebuah ajaran tertentu kita sebut sebagai sunni.


Berikutnya, secara istilah syariah, sunnah diartikan sebagai jalan yang diridhai oleh Allah yang ditempuh dalam agama, yaitu yang ditempuh oleh Rasulullah saw dan kalangan lainnya, yang paham terhadap agama, dan kalangan para sahabat. Pengertian ini mengacu pada hadits:


عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ بعدي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ


Artinya: “Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan menunjuki kepada kebenaran) setelahku, gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat,” (HR Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)


Tiga sudut pandang pemaknaan kata “sunnah” tersebut dikutip oleh Hadratussyekh dari Kitab Al-Kuliyyat karya Imam Abu al-Baqa Ayyub ibn Musa Kafawi.


Berikutnya, dalam memaknai kata “bid’ah” Hadratussyekh mengutip pendapat Syekh Ahmad Zarruq al-Burnusi al-Fasi dalam Kitab ‘Uddah al-Murid al-Sadiq, di mana secara syariat bid’ah dimaknai sebagai memperbaharui perkara dalam agama yang menyerupai ajaran agama itu sendiri, padahal bukan bagian dari agama, baik bentuk maupun hakikatnya. Syekh Zarruq mengutip sebuah hadits Nabi:


مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا فَهُوَ رَدٌّ


Artinya: “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) maka perkara tersebut tertolak,” (HR Bukhari dan Muslim).


Juga hadits Nabi:


وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ


Artinya: “Setiap hal yang dibuat-buat dalam agama adalah bid’ah,” (HR Nasa’i dan Ibnu Majah).


Berikutnya, Hadratussyekh menyebutkan bahwa para ulama telah menjelaskan bahwa pengertian kedua hadits di atas dikembalikan pada masalah hukum meyakini sesuatu (amalan) yang tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah, sebagai bisa mendekatkan diri kepada Allah swt bukan mutlak semua pembaharuan (dalam agama) karena mungkin saja pembaharuan tersebut terdapat landasan ushul-nya dalam agama, atau terdapat contoh furui’yah-nya, maka diqiyaskanlah terhadapnya.


Dengan demikian bisa kita pahami bahwa tidak semua pembaharuan dalam ibadah itu kita pahami sebagai bid’ah yang sesat sebagaimana dimaksudkan dalam hadits di atas.


Adakalanya sebuah pembaharuan justru menjadi hal yang sunnah atau bahkan wajib semisal mempelajari ilmu nahwu dan sharaf dengan mengaji syair-syair zaman Jahiliyah yang menunjukkan ketinggian bahasa Arab merupakan pembaharuan yang mesti dilakukan oleh ulama seperti Bapak Ilmu Nahwu Abul Aswad Ad-Du’ali yang menyusun ilmu Gramatika Arab agar umat bisa memahami bahasa Al-Qur’an dan hadits Nabi.


Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.


Ustadz Mohammad Ibnu Sahroji atau Ustadz Gaes