Syariah

Bolehkah Imam atau Khatib Jumat dari Kampung Lain?

Jum, 28 Desember 2018 | 01:00 WIB

Bolehkah Imam atau Khatib Jumat dari Kampung Lain?

Ilustrasi (wikipedia)

Di sebagian tempat, imam atau khatib Jumat dilakukan oleh orang yang bukan dari kampung setempat, namun dari kampung lain. Faktor yang melatarbelakanginya beragam, ada yang karena keterbatasan imam/khatib di daerah pelaksanaan Jumat, meratakan jatah, mengambil keberkahan dengan yang lebih senior, dan lain sebagainya. Bolehkah imam/khatib Jumat berasal dari kampung lain?
 
Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i, tidak ada aturan imam/khatib Jumat berasal dari kampung setempat. Yang menjadi prinsip adalah keberadaan imam/khatib adalah orang yang sah menjadi imam shalat, sebagaimana berlaku dalam shalat-shalat selain Jumat. Sehingga boleh bertindak sebagai imam/khatib Jumat, anak kecil, hamba sahaya dan musafir. Demikian pula boleh dari orang yang berdomisili sementara di tempat Jumat (muqim ghairu mustauthin).
 
Kebolehan imam/khatib Jumat dari luar kampung setempat disyaratkan jumlah jamaah Jumat sudah memenuhi standar minimal 40 orang yang mengesahkan Jumat, tanpa menghitung imam/khatib. Sehingga tidak sah bila jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat hanya 39 orang, sementara imam/khatib dari luar kampung pelaksanaan Jumat, sebab keberadaannya tidak dapat mengesahkan Jumat. 
 
Karena prinsipnya adalah sebagaimana imam shalat, maka menjadi tidak sah imam/khatib dari orang gila, non muslim dan orang yang shalatnya wajib diulang (seperti shalat dengan tayamum di tempat yang umumnya ditemukan air). Demikian pula tidak sah menjadi imam/khatib, seseorang yang tidak fasih membaca surat al-Fatihah dan dia teledor dalam belajar, kecuali bila tidak teledor, maka tetap sah.
 
Bila melihat kepada pertimbangan keutamaan, hendaknya imam/khatib Jumat berasal dari kampung setempat (muqim mustauthin). Sebab ada sebagian pendapat dari mazhab Syafi’i yang tidak mengesahkan imam/khatib dari luar kampung pelaksanaan Jumat. Menurut pendapat ini, imam/khatib disyaratkan harus orang yang dapat mengesahkan Jumat, yaitu muqim mustauthin (orang muqim yang permanen). Oleh sebab itu, dianjurkan untuk keluar dari ikhtilaf ini, sebagai bentuk dari pengamalan kaidah fiqh:
 
الخروج من الخلاف مستحب
 
“Keluar dari ikhtilaf Ulama disunahkan.”
 
Penjelasan di atas merujuk kepada beberapa referensi sebagai berikut:
 
ـ (وتصح) الجمعة (خلف العبد والصبي والمسافر في الأظهر) أي خلف كل منهم (إذا تم العدد بغيره) لصحتها منهم كما في سائر الصلوات وإن لم تلزمهم والعدد قد وجد بصفة الكمال وجمعة الإمام صحيحة والاقتداء بمن لا تجب عليه تلك الصلاة فيها جائز
 
“Sah Jumat di belakang imam hamba, anak kecil dan musafir menurut pendapat al-Azhhar. Hal ini bila bilangan Jumat sempurna dengan selain imam, sebab Jumat sah dari mereka sebagaimana dalam shalat-shalat yang lain, meski mereka tidak berkewajiban Jumat. Bilangan Jumat telah wujud dengan sifat sempurna, Jumatnya imam sah. Bermakmum kepada orang yang tidak wajib melaksanakan Jumat adalah boleh.” 
 
 والثاني لا تصح لأن الإمام ركن في صحة هذه الصلاة فاشترط فيه الكمال كالأربعين بل أولى إلى أن قال أما إذا تم العدد بواحد ممن ذكر فلا تصح جزما
 
“Menurut pendapat kedua, tidak sah, sebab Imam adalah rukun dalam keabsahan shalat Jumat ini, maka disyaratkan sempurna seperti 40 Jamaah, bahkan lebih utama. Adapun bila jumlah jamaah Jumat sempurna dengan jenis imam yang telah disebutkan, maka Jumat tidak sah tanpa ada perbedaan pendapat.” (Syekh al-Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 284).
 
Referensi yang berkaitan dengan khatib adalah sebagai berikut:
 
وسادسها تقدم خطبتين على الصلاة للاتباع رواه الشيخان ممن تصح خلفه الجمعة ولو صبيا زاد على الأربعين بخلاف من لا تصح خلفه كمجنون وصبي من الأربعين وكافر
 
“Syarat yang keenam, mendahuluinya dua khutbah atas shalat Jumat, karena mengikuti Nabi, sebagaimana hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim. Khutbah disyaratkan dari orang yang sah menjadi imam Jumat, meski anak kecil yang melebihi dari empat puluh jamaah. Berbeda orang yang tidak sah menjadi imam Jumat, seperti orang gila, anak kecil yang merupakan bagian dari empap puluh Jamaah dan non-Muslim.” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Syarh al-Tahrir, juz 1, hal. 264).
 
Mengomentari referensi di atas, Syekh al-Syarqawi mengatakan:
 
ـ (قوله ممن تصح خلفه) أي صادرتين ممن تصح إلخ وهذا يفيد اعتبار كونه ممن لا تلزمه الإعادة كمتيمم على وجه لا يسقط تيممه الصلاة وكونه غير أمي قصر في التعلم فإن لم يقصر فيه صحت خطبته لصحة الصلاة خلفه وعده من الأربعين
 
“Ucapan Syekh Zakariyya, dari orang yang sah menjadi imam Jumat, ini memberi kesimpulan pensyaratan khatib dari orang yang tidak berkewajiban mengulang shalatnya seperti orang tayamum dalam kondisi yang tayamumnya tidak menggugurkan shalat, dan pensyaratan khatib bukan dari ummi (orang yang tidak fasih membaca al-Fatihah) yang teledor dalam belajar. Bila ia tidak teledor dalam belajar, maka sah khutbahnya, sebab sah bermakmum dengannya dan ia tergolong dari empat puluh jamaah Jumat.” (Syekh Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi, Hasyiyah al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Tahrir, juz 1, hal. 264).
 
Namun demikian, masih juga terdapat pertimbangan lain berkaitan dengan afdhaliyah (keutamaan), seperti imam lebih alim, lebih bagus bacaannya, dan lain sebagainya. Walhasil, permasalahan ini adalah hal yg detable (mukhtalaf fihi), masing-masing orang boleh mengamalkan pendapat ulama sebagaimana penjelasan di atas, tanpa harus menyalahkan pihak lain.
 
Demikian penjelasan mengenai imam/khatib Jumat dari kampung lain. Semoga bermanfaat.
 
(Ustadz M. Mubasysyarum Bih)
 

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua