Syariah

Hukum Imam Shalat Jumat Membaca Selain Surat yang Dianjurkan Nabi

Jum, 27 September 2019 | 02:00 WIB

Secara umum shalat Jumat tidak berbeda dengan shalat yang lain dari sisi rukun, syarat, kesunahan dan tata cara pelaksanaannya. Di antara titik kesamaannya adalah kesunahan bagi imam membaca surat setelah membaca surat al-Fatihah di setiap rakaatnya. Hanya saja, ada anjuran khusus perihal surat yang dibaca imam dalam shalat Jumat.
 
Fuqaha menegaskan disunahkan bagi imam shalat Jumat membaca surat al-Jum’ah di rakaat pertama, dan surat al-Munafiqun di rakaat kedua; atau surat al-A’la di rakaat pertama, dan surat al-Ghasyiyah di rakaat kedua.
 
Kesunahan tersebut berdasarkan hadits:
 
عَنِ ابْنِ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: اسْتَخْلَفَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَلَى الْمَدِينَةِ، وَخَرَجَ إِلَى مَكَّةَ، فَصَلَّى لَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ الْجُمُعَةَ، فَقَرَأَ بَعْدَ سُورَةِ الْجُمُعَةِ، فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ: إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ، قَالَ: فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ، فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّكَ قَرَأْتَ بِسُورَتَيْنِ كَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَقْرَأُ بِهِمَا بِالْكُوفَةِ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: «إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
 
“Dari Ibni Abi Rafi’ beliau berkata; Marwan meminta Abu Hurairah menggantikannya (menjadi Imam) di kota Madinah, Marwan keluar menuju Mekah, lalu Abu Hurairah shalat untuk kita, beliau membaca setelah surat al-Jum’ah di rakaat terakhir, surat Idza Ja’aka al-Munafiqun. Marwan berakata; aku menemui Abu Hurairah saat ia pulang, aku katakan kepadanya; sesungguhnya engkau membaca dua surat yang dibaca Ali saat di Kufah. Abu Hurairah berkata; sesungguhnya aku mendengar Rasulullah membaca kedua surat tersebut pada hari Jumat” (HR. Muslim).
 
Dalam riwayat yang lain, Imam Muslim menyebutkan:
 
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ اسْتَخْلَفَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ، بِمِثْلِهِ، غَيْرَ أَنَّ فِي رِوَايَةِ حَاتِمٍ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ فِي السَّجْدَةِ الْأُولَى وَفِي الْآخِرَةِ إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ.
 
“Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ beliau berkata; Marwan meminta Abu Hurairah menggantikannya seperti hadits sebelumnya, hanya dalam riwayat Hatim terdapat keterangan; lalu Abu Hurairah membaca surat al-Jum’ah di rakaat pertama, dan surat Idza Ja’aka al-Munafiqun di rakaat terakhir” (HR. Muslim).
 
Adapun anjuran membaca surat al-A’la dan al-Ghasyiyah disebutkan dalam riwayat al-Nu’man bin Basyir:
 
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
 
“Dari al-Nu’man bin Basyir beliau berkata; Rasulullah membaca dalam shalat dua hari raya dan Jumat surat Sabbihismarabbikal A’la dan surat Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah” (HR. Muslim).
 
Al-Imam al-Nawawi menegaskan bahwa pendapat yang benar adalah dua paket surat di atas disunahkan dalam shalat Jumat, keduanya telah dibaca oleh Nabi. Sesekali Nabi membaca surat al-Jum’ah dan al-Munafiqun, dalam kesempatan yang lain beliau membaca surat al-A’la dan al-Ghasyiyah. Al-Nawawi mengkritik pendapat Imam al-Rafi’i yang menyebut bahwa dalam permasalahan ini terdapat perbedaan antara qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid. Menurut kesimpulan al-Rafi’i, versi qaul al-Jadid yang sunah dibaca adalah Surat al-Jum’ah dan al-Munafiqun, sementara versi qaul al-Qadim surat al-A’la dan al-Ghasyiyah.
 
 
Al-Imam Al-Nawawi menegaskan:
 
يستحب أن يقرأ في الركعة الأولى من صلاة الجمعة بعد (الفاتحة) : سورة (الجمعة) . وفي الثانية: (المنافقين) . وفي قول قديم: إنه يقرأ في الأولى: (سبح اسم ربك الأعلى) . وفي الثانية: (هل أتاك حديث الغاشية)
 
“Disunahkan membaca di rakaat pertama dari Shalat Jumat setelah al-Fatihah, surat al-Jum’ah, dan di rakaat kedua, surat al-Munafiqun. Dalam qaul al-Qadim disebutkan, dianjurkan membaca di rakaat pertama, surat Sabbihismarabbikal A’la, dan di rakaat kedua surat Hal Ataka Haditsul Ghasyiyah.”
 
 قلت: عجب من الإمام الرافعي - رحمه الله كيف جعل المسألة ذات قولين، قديم وجديد؟ ! والصواب: أنهما سنتان. فقد ثبت كل ذلك في (صحيح مسلم) من فعل رسول الله - صلى الله عليه وسلم -، فكان يقرأ هاتين في وقت، وهاتين في وقت.
 
“Aku berkata; mengherankan dari Imam al-Rafi’i mengapa beliau menjadikan persoalan ini dua qaul, qadim dan Jadid. Pendapat yang benarm bahwa dua paket surat tersebut disunahkan. Sesungguhnya masing-masing telah ditetapkan dalam Shahih Muslim dari perilaku Rasulullah, Nabi membaca surat al-Jum’ah dan al-Munafiqun dalam satu waktu, dan dalam waktu yang lain membaca surat al-A’la dan al-Ghasyiyah” (Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, juz 2, hal. 45).
 
Disebutkan dalam Hasyiyah al-Jamal, kesunahan membaca dua paket surat yang dianjurkan Nabi tidak mempertimbangkan jumlahnya makmum. Kesunahan tersebut tetap berlaku meski jamaah Jumat berjumlah sangat banyak sampai tidak terhingga. 
 
Namun Syekh Ali Syibramalisi memberi catatan, bila diduga memberi mudarat kepada sebagian makmum, misalnya karena menahan kencing, maka tidak lagi disunahkan, namun sebaiknya imam memilih bacaan surat yang relatif lebih pendek. Sebab hal tersebut berpotensi mengakibatkan Imam ditinggalkan jamaahnya dan menjadikannya shalat sendirian.
 
Syekh Sulaiman al-Jamal menegaskan:
 
(قوله: وأن يقرأ في الأولى الجمعة إلخ) أي ولو صلى بغير محصورين اهـ. ش م ر وعمومه شامل لما لو تضرروا أو بعضهم لحصر بول مثلا وينبغي خلافه؛ لأنه قد يؤدي إلى مفارقة القوم له وصيرورته منفردا اهـ. ع ش عليه.
 
“Ucapan Syekh Zakariyya; dan dianjurkan membaca surat al-Jum’ah dan seterusnya; meski Imam shalat dengan jamaah yang tidak terhitung. Keumuman ini mencakup permasalahan makmum atau sebagian dari mereka yang mengalami mudarat semisal karena menahan kencing, namun seyogyanya tidak demikian, sebab hal tersebut terkadang mengakibatkan berpisahnya jamaah dengan Imam dan menjadikannya shalat sendirian” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 2, hal. 36).
 
Dalam prakteknya masih ditemukan Imam shalat Jumat membaca selain dua paket surat di atas, misalnya karena tidak hafal, memberi kenyamanan kepada makmum dan sebagainya. Biasanya imam memilih surat dengan durasi yang lebih pendek agar jamaah tidak resah. Bagaimana hukumnya?
 
Membaca selain Surat al-Jum’ah & al-Munafiqun atau surat al-A’la & al-Ghasyiyah adalah perilaku yang menyalahi Sunnah (khilaf al-Sunnah). Dalam teori ushul fiqh, perbuatan yang menyelisihi sunah Nabi hukumnya makruh bila ada dalil yang secara khusus melarangnya, dan disebut khilaf al-Aula bila tidak ada dalil yang melarangnya secara spesifik.
 
Syekh Sulaiman al-Jamal mengatakan:
 
وما ذكر من الكراهة في الثاني هو ما جزم به النووي في كتبه لكنه خالف في المجموع فقال نص الشافعي على أنه يستحب أن لا تسمى العشاء عتمة وذهب إليه المحققون من أصحابنا وقالت طائفة قليلة يكره
 
“Keterangan yang disampaikan Mushannif mengenai kemakruhan adalah pendapat yang diyakini Imam al-Nawawi di dalam kitab-kitabnya, akan tetapi al-Nawawi menyelisihi dalam kitab al-Majmu’, beliau berkata; Imam al-Syafi’i menegaskan disunahkan tidak menamai Isya’ dengan sebutan ‘Atamah, ini adalah pendapat yang didukung ulama muhaqqiqin dari Ashab kita. Berkata sekelompok minoritas, hukumnya makruh.”
 
(قوله: أن لا تسمى العشاء عتمة) أي فتكون التسمية خلاف الأولى أخذا من قوله وقالت طائفة إلخ ومع ذلك فالمعتمد ما قاله الأقلون ولا ينافيه قول المجموع يستحب أن لا تسمى العشاء عتمة؛ لأن خلاف السنة إن ورد فيه نهي بخصوصه كان مكروها كما هنا وإلا كان خلاف الأولى اهـ ع ش
 
“Ucapan Syekh Zakariyya; disunahkan tidak menamai Isya’ dengan sebutan ‘Atamah; maka menyebutnya ‘Atamah hukumnya khilaf al-Aula, karena mengambil dari ucapan Syekh Zakariyya; berkata sekelompok minoritas dan seterusnya. Namun demikian, pendapat yang dibuat pegangan adalah pendapat ulama minoritas, tidak bertentangan dengannya ucapan kitab al-Majmu’; disunahkan tidak menamai Isya’ dengan ‘Atamah;, karena menyelisihi sunah bila terdapat larangan khusus hukumnya makruh seperti permasalahan ini, bila tidak demikian maka khilaf al-Aula” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 1, hal. 273).
 
Dalam konteks bacaan surat shalat Jumat tidak ada dalil khusus yang melarang membaca selain surat al-Jum’ah & al-Munafiqun atau surat al-A’la & al-Ghasyiyah. Oleh karenanya, meninggalkan dua paket surat yang dianjurkan Nabi hukumnya khilaf al-Aula (menyalahi yang lebih utama). 
 
Membaca dua paket surat dalam shalat Jumat sebagaimana diajarkan Nabi tujuannya adalah agar mendapat kesunahan yang lebih sempurna, oleh sebab itu bila Imam membaca surat yang lain, hukumnya boleh bahkan sudah cukup mendapat pahala kesunahan membaca surat di setiap rakaat secara umum.
 
Bila melihat sudut pandang fiqh dakwah, hendaknya para pemuka agama tidak kaku atau kasar sehingga mengakibatkan umat berpaling dari dakwahnya. Perlu tahapan-tahapan tertentu dalam menuntun masyarakat untuk menjadi muslim yang sempurna. Atas dasar prinsip ini, Imam Ahmad bin Hanbal menyunahkan bagi Imam meninggalkan doa qunut dalam shalat witir karena mengambil hati para makmum (lihat Muhammad bin Muflih al-Hanbali, al-Furu’, juz 2, hal. 171). 
 
Syekh Alauddin al-Kasani, ulama besar mazhab Hanafi dalam bab shalat tarawih menjelaskan imam shalat hendaknya mengukur durasi surat yang ia baca sekiranya tidak menjadikan jamaah berpaling dari jamaah. Al-Kasani menegaskan:
 
وأما في زماننا فالأفضل أن يقرأ الإمام على حسب حال القوم من الرغبة والكسل فيقرأ قدر ما لا يوجب تنفير القوم عن الجماعة؛ لأن تكثير الجماعة أفضل من تطويل القراءة 
 
“Adapun di masa kami, yang lebih utama adalah imam membaca surat menyesuaikan kondisi kesemangatan dan kemalasan kaum, maka ia hendaknya membaca surat dalam batas yang sekira tidak menyebabkan kaum lari dari jamaah, sebab memperbanyak jamaah lebih utama dari pada memanjangkan bacaan” (Syekh Alauddin Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Badai’ al-Shanai’, juz 1, hal. 289).
 
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa membaca surat al-Jum’ah & al-Munafiqun atau surat al-A’la & al-Ghasyiyah adalah disunahkan, meninggalkannya adalah menyelisihi keutamaan. Meski demikian, penting bagi imam memperhatikan kondisi makmumnya, agar bacaan panjangnya tidak menjadikan makmum malas mengikuti jamaah Jumat.
 
 
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.